Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menjadi Pemimpin Rakyat Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Senin, 13 April 2015, 12:08 WIB
Menjadi Pemimpin Rakyat Indonesia
ADA tiga hal menarik dari pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada pembukaan Kongres IV PDI-P di Bali, Kamis (9/4/2015)  lalu. Pertama tentang taat konstitusi, kedua tentang petugas partai dan ketiga tentang penumpang gelap.  Sangat jelas ketiga hal tersebut ditujukan kepada Presiden Jokowi.

Tentang taat konstitusi, hal ini berkaitan dengan pengajuan nama BG sebagai calon Kapolri oleh Jokowi. Setelah DPR menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri, ternyata Jokowi menarik pencalonannya dan mengajukan nama baru, Badrodin Haiti.  Jokowi sangat memperhatikan dinamika protes yang berkembang di masyarakat atas pencalonan BG dan akhirnya menarik kembali pencalonan tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah ada konstitusi yang dilanggar Presiden Jokowi karena membatalkan pencalonan BG sebagai calon Kapolri? Bukankah itu memang hak prerogatif Presiden ?
 
Tentang petugas partai, istilah ini pertama muncul saat  penetapan Jokowi sebagai calon Presiden dari PDIP tahun 2014 dan kembali dikemukakan Megawati saat kampanye 5 April 2014.  Saat itu dengan tegas Megawati berkata  bahwa Jokowi adalah  petugas partai yang diperintah jadi capres .
 
Pernyataan Megawati tersebut sempat menimbulkan kegalauan di masyarakat dan keraguan untuk memilih Jokowi sebagai Presiden RI.  Dan untuk menjawab kegalauan tersebut, saat berkampanye di Banjarmasin 25 Mei  2014, Jokowipun meluruskan arti petugas partai. "Sebagai petugas partai, saya cuma diminta menjalankan tiga hal. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam hal ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan," ujar Jokowi.

Dengan demikian peran Jokowi sebagai petugas partai adalah untuk mengamankan ideologi PDIP dan tidak berkaitan dengan wewenang seorang Presiden untuk mengelola pemerintahan. Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi tetap memiliki hak prerogratif sesuai dengan UUD 1945.
 
Pertanyaannya adalah apakah selama 6 bulan ini ada kecenderungan Jokowi sebagai Presiden RI dan juga Kabinet Kerja Jokowi-JK keluar dari ideologi PDIP? Kalaupun ada, kenapa tidak dikomunikasikan langsung baik melalui lobi politik di DPR dan Kabinet Kerja maupun antara Jokowi dengan seluruh pemimpin partai politik di KIH.
 
Tentang penumpang gelap, hal ini sebarnya masih samar-samar.  Karena Megawati tidak secara tegas menunjuk nama-nama yang telah menjadi penumpang gelap di Kabinet Kerja Jokowi-JK.
 
Tetapi rumor politik yang berkembang memperkirakan bahwa penumpang gelap tersebut dikenal sebagai Trio Singa”.  Yaitu Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN, Andi Wijayanto sebagai Menteri Sekkab, dan Luhut B. Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Banyak kader PDIP yang secara terbuka menyerang "Trio Singa" karena dianggap menjadi sumber renggangnya komunikasi politik terutama antara Jokowi dengan Megawati dan PDIP.
 
Memang terlihat jelas bukan saja komunikasi politik antara Jokowi-Megawati yang terlihat merenggang, tetapi juga antara Kabinet Kerja dengan mitra utama mereka di DPR, terutama dari partai koalisi KIH, yang tidak berjalan dengan baik.
 
Sehingga banyak program kementerian Kabinet Kerja yang malah menjadi bulan-bulanan saat pembahasan di DPR, karena mitra kerja mereka di DPR kurang diberi informasi yang lengkap dan waktu yang cukup untuk membahasnya. Kita malah melihat partai koalisi di KMP lebih sering melakukan pertemuan dan lobi untuk membahas dan mengambil sikap atas program-program yang diajukan Kabinet Kerja.
 
Pertanyaannya adalah, apakah buruknya komunikasi politik antara Jokowi dengan Megawati dan PDIP memang karena Trio Singa” atau karena cara kerja Jokowi sendiri yang telah membuat anggota Kabinet Kerja tidak bisa secara optimal melakukan komunikasi politik dengan koalisi KIH di DPR ?

Sebenarnya kita patut bertanya kembali kepada Jokowi, apa yang mendorong Jokowi saat menerima pencalonan dirinya sebagai  Presiden RI ke 7 dari PDIP? Apakah karena memang Jokowi adalah petugas partai yang ingin berkuasa, sehingga harus menerima apapun tugas dari partai? Atau Jokowi memang melihat dan yakin bahwa bersama PDIP, dia akan mampu melakukan perbaikan bagi kehidupan rakyat Indonesia.
 
Pertanyaan lain juga perlu kita ajukan ke Megawati dan PDIP.  Apakah pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI ke 7 karena ingin merebut kekuasaan semata, di mana saat itu popularitas Jokowi memang tertinggi. Atau karena memang Jokowi sebagai Presiden RI ke 7 dianggap PDIP mampu mewujudkan cita-cita dan ideologi Bung Karno yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam hal ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. 

Dalam hal ini baik Megawati dan Jokowi mestinya meneguhkan kembali kesepakatannya  bahwa Jokowi sebagai Presiden RI ke 7, bersama PDIP dan KIH, harus membawa perbaikan kepada kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat serta mewujudkan cita-cita dan ideologi Bung Karno di atas.
 
Kalau kedua pihak kembali membangun kesepakatan untuk kemajuan RI, barulah komunikasi politik yang lebih terbuka akan bisa dilakukan.  Tetapi kalau hanya karena kekuasaan semata, maka dapat dibayangkan bahwa kisruh komunikasi politik antara Jokowi-Megawati serta PDIP dan KIH, akan terus terjadi.  Dan ini bukan saja membawa bencana bagi Jokowi, PDIP dan KIH, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
 
Sebagai pemimpin, Jokowi memang berhasil dalam membangun perusahaan mebel, sebagai walikota Solo dan meskipun dalam waktu singkat dia berhasil mengawali perbaikan di Jakarta.  Saat itu kepemimpinan Jokowi yang menonjol adalah sebagai operational leadership”
 
Tetapi di tingkat nasional sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, selain model kepemimpinan operasional, Jokowi juga harus piawai dalam membangun jaringan dan kolaborasi (networking leadership). Karena begitu banyak stakeholders yang harus dirangkul Jokowi untuk membangun Indonesia.  Agar visi,  misi dan program Nawa Cita yang dicanangkan saat berkampanye lalu dapat diwujudkan dan suasana harmonis di elite politik dan masyarakat dapat terus ditumbuhkan.
 
Rakyat Indonesia tidak membutuhkan pemimpin atau partai politik yang hanya mengedepankan kekuasaan atau sikap menang-kalah.  Yang lebih dibutuhkan rakyat Indonesia adalah pemimpin atau partai politik yang mampu memperbaiki kehidupan mereka atau membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
 
Menurut Michael Maccoby dalam bukunya The Leaders We Need” dikatakan bahwa rakyat lebih membutuhkan kepemimpinan nasional yang inspiratif tetapi juga efektif dan persuasif. Karena itu rakyat lebih mendambakan pemimpin seperti Abraham Lincoln, yang berani menentang ketidakadilan terhadap perbudakan di Amerika Serikat dan menghapuskannya.  Rakyat  juga mendambakan pemimpin seperti Gandhi sebagai pemimpin spiritual rakyat India, Martin Luther King yang memiliki visi besar anti rasialisme di Amerika atau Nelson Mandela yang terus berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan. Mereka adalah pemimpin inspirasional, efektif dalam mewujudkan visinya serta lebih melakukan pendekatan persuasif.
 
Lao Tzu, ahli filsafat dan pendiri Taosime dari Tiongkok, pernah berkata : ”The best of all leaders are the ones who help people so that eventually they do not need them” (Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu).
 
Pernyataan Lao Tzu tersebut adalah wujud nyata dari ideologi negara yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam hal ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Itu pulalah yang didambakan dari seorang pemimpin rakyat Indonesia.


*Penulis adalah Sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA