Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Absennya Kepemimpinan di Olahraga

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Sabtu, 11 April 2015, 13:58 WIB
<i>Absennya Kepemimpinan di Olahraga</i>
"WARISAN Olahraga Terbesar adalah Persahabatan" (Wismoyo Arismunandar)

Lima bulan kepemimpinan Presiden Jokowi-JK langit biru dan sinar terang belum menghampiri dunia olahraga Indonesia. Bukan saja karena prestasi yang masih terpuruk melainkan juga manajemen olahraga yang tertatih-tatih dan penuh dengan intrik adu kekuasaan.

Prestasi dua cabang paling populer di negeri ini yaitu bulu tangkis dan sepak bola masih terseok seok. Dalam beberapa turnamen setingkat super series, cabang bulu tangkis mengalami kegagalan total di Jerman, All England, India. Beruntung ganda putera Hendra/Ahsan berhasil meraih gelar juara di Malaysia.  Di sepak bola timnas U-23 tahun gagal lolos ke Piala Asia di Qatar 2016 setelah dikalahkan 0-4 oleh Korea Selatan. Pada bulan Oktober 2014, timnas U-19 juga gagal di Piala Asia Myanmar.

Itu dari sisi pembinaan prestasi. Satu pilar lain dalam melihat aktivitas sebuah organisasi olahraga adalah dari sisi penyelenggaraan pertandingan. Masalahnya hanya sedikit organisasi olahraga di Indonesia yang mampu secara rutin dan bertingkat menyelenggarakan kompetisi mulai dari tingkat daerah hingga nasional, serta kompetisi di tingkat lapisan usia.  

Hanya beberapa induk organisasi yang rutin memiliki kompetisi dan membangun atlet tingkat nasional, antara lain bulu tangkis, tenis, renang, atletik, bola basket, karate, pencak silat dan sepak bola.  Bahkan cabang cabang tersebut sangat aktif mengikuti turnamen tingkat internasional. Dan dari sisi manajemen organisasi, organisasi PSSI yang sudah benar benar menjadi organisasi global.  Artinya baik struktur, personil, dan kompetisi di sepak bola harus mengikuti statuta induk organisasi global yaitu FIFA. PSSI juga yang relatif paling sering mencoba membangun tim nasional melalui pelatihan di luar negeri serta membangun sistem kompetisinya.

Sayangnya kompetisi sepak bola ISL untuk tahun 2015 harus ditunda. Terutama karena beberapa persyaratan dan pertikaian intern di klub masih belum diselesaikan.  Dengan sistem kompetisi penuh, itu berarti 304 pertandingan sepak bola tingkat nasional harus terhenti. Kalau satu pertandingan ISL rata rata disaksikan 13.000 penonton, maka sekitar 4 juta penggemar sepak bola kehilangan kesempatan menonton langsung tim sepak bola favorit mereka bertamding.  Belum lagi kalau rata rata per pertandingan perlu biaya sekitar Rp 100 juta, maka perputaran ekonomi sebesar Rp 30 miliar yang tersebar di beberapa daerah harus terhenti. Belum lagi nilai ekonomi yang memberikan keuntungan usaha bagi para pembuat kaos dan pedagang kecil lainnya.

Pada peristiwa lain, kita terkejut saat Menpora mencanangkan tekad meraih 70 medali emas untuk meraih posisi kedua di SEA Games 2015.  Padahal Satlak Prima yang sehari-hari menggeluti pemusatan latihan hanya memperkirakan sekitar 45-55 medali emas. Pertanyaannya adalah dari nomor dan cabang apa sajakah medali emas itu dapat diraih kontingen Indonesia ? Di samping itu kendala uang saku, peralatan latihan, dan uji coba masih terus terjadi karena lambannya pencairan dana dari pemerintah.

Menyusul pertikaian antara KOI dan KONI dalam kasus logo 5 ring yang sudah mendapatkan keputusan hukum tetap, secara tiba-tiba KOI mendaftarkan cabang olahraga hok petanquei untuk ikut SEA Games 2015 di Singapura.  Padahal cabang hoki dan petanque tidak pernah melaksanakan pemusatan latihan nasional di bawah koordinasi Satlak Prima.  Sementara KOI menyatakan bahwa pengajuan kedua cabang tersebut sesuai dengan wewenang yang tertuang dalam UU SKN Nomor 3 tahun 2005. Pertanyaannya adalah patutkah Indonesia mengirimkan atlet ke ajang internasional tanpa pernah melalui pelatihan yang terencana ?

Tahun 2018 Indonesia akan menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia yaitu Asian Games. Tapi hingga saat batas waktu yang ditetapkan oleh OCA yaitu 20 Maret 2015, Keppres tentang kepanitian Asian Games 2018 belum ditandatangani oleh Presiden. Permasalahan administratif ini jelas mencoreng wajah Indonesia di mata olahraga dunia karena mungkin saja pertama kali terjadi dalam dunia olahraga.

Padahal atlet atletnya selalu diminta berjuang keras untuk mengibarkan bendera merah putih sebanyak-banyaknya. Kalau memang kepanitian masih membutuhkan CEO profesioanal, banyak kandidat seperti Emirsyah Satar, Arwin Rashid dan Hasnul Suhaemi. Di mana mereka sudah sering membawa nama perusahan yang dipimpinnya menjadi sponsor klub maupun pertandingan tingkat internasional.

Saat mantan pelari 800, 1000 dan 1500 meter Inggris Sebastian Coe ditunjuk sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Olympiade 2012, dia menolak kalau ajang pesta terbesar di dunia ini hanya digunakan Inggris untuk memperbaiki kota London melalui perbaikan transportasi, perbaikan gedung perumahan dan kantor, peningkatan daya listrik atau memperbaiki sistem keamanan. Sebastian Coe ingin agar Olympiade memberikan inspirasi kepada anak-anak untuk berprestasi melalui olahraga.  

Visi Sebastian Coe tersebut diajukan ke pemerintah Inggris bahkan saat masih persaingan penetapan tuan rumah Olympiade 2012 masih berlangsung yaitu tahun 2005. Sementara British Olympic Association mempersiapkan proses pengajuan London sebagai tuan rumah Olympiade 2012 sejak 1997. Dan pemerintah Inggris kemudian melaksanakan visi Sebastian Coe dengan  meningkatkan pembangunan taman bermain untuk anak-anak di seluruh Inggris dan menjadikan Olympiade sebagai sumber inspirasi bagi anak anak di Inggris.

Situasinya bertolak belakang dengan Indonesia. Kesemrawutan manajemen di olahraga yang terjadi saat ini secara kasat mata memperlihatkan ketidakhadirannya kepemimpinan di olahraga. Baik yang memiliki visi, memahami pentingnya dunia olahraga bagi ekonomi, sosial dan kehidupan lebih baik untuk para atlet, serta dalam ketrampilan manajemennya. Yang selalu dikedepankan adalah kekuasaan dan wewenang, bukan kewajiban sebagai pemimpin di olahraga.

Ed Smith dalam bukunya "What Sport Tells Us About Life" menyatakan salah satu cara melihat sisi lain olahraga adalah tidak dari sisi hasil pertandingan. Karena nilai terbesar dari olahraga adalah dalam proses pengembangan diri dan pendidikan seumur hidup dari setiap orang. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa olahraga, karena itu berikanlah keleluasaan kepada masyarakatnya untuk berolahraga, menata organisasi olahraga, dan menciptakan atlet andal atau kompetisi yang berkualitas tinggi.

Wismoyo Arismunandar, mantan Ketua Umum KONI, melihat warisan terbesar olahraga adalah persahabatan. Tapi ada juga yang melihat seperti sebuah orkestra yang membutuhkan konduktor yang baik agar sebuah keharmonisan dapat disajikan ke penonton.  Sementara pelajaran lain dari olahraga adalah untuk membangun karakter kepemimpinan. Yang paling ekstrim adalah memandang olahraga layaknya sebuah peperangan yaitu hanya mencari kalah dan menang saja.

Kita tentu berharap Presiden Jokowi, yang telah menyediakan dirinya menjadi Ketua Panitia Pengarah Asian Games 2018, mempertegas visinya untuk dijadikan inspirasi bagi masyarakat dalam membangun Indonesia serta menumbuhkan persahabatan di negara ini. Visi Presiden Jokowi diharapkan mampu menyadarkan setiap unsur di olahraga untuk selalu mengedepankan kewajibannya membangun olahraga untuk masyarakat luas. Dan bukan semata-mata mengedepankan wewenang dan kekuasaannya, sementara kewajibannya sendiri berjalan tertatih tatih. Absennya kepemimpinan di olahraga harus segera diakhiri. Presiden Jokowi tentu saja yang bisa memulainya.

*Penulis adalah Sosiolog, dan tinggal di Jakarta
 

 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA