Sumpah Presiden di atas diucapkan Jokowi saat dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Ada beberapa kata yang menarik untuk kita uraikan. Pertama kata "menjalankan." Kata tersebut berarti Presiden dengan jajarannya harus bekerja sungguh-sungguh. Mungkin itu pulalah yang membuat Presiden Jokowi menyebut kabinetnya sebagai kabinet kerja.
Namun di luar itu ada kalimat "sebaik-baiknya dan seadil-adilnya." Ini berarti Presiden Jokowi, didampingi Wakil Presiden JK, beserta kabinetnya harus menunjukkan prestasinya terbaik untuk bangsa dan negara selama kurun waktu lima tahun. Bagi rakyat, mewujudkan seluruh program Nawa Cita adalah sebuah prestasi.
Di luar arti kata-kata bekerja dan berprestasi, ada kata "berbakti.: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata berbakti berarti tunduk, setia, hormat dan menggunakan segenap tenaga dan pikiran untuk berprestasi sebaik-baiknya kepada nusa dan bangsa.
Kata berbakti inilah sebenarnya "sukma" dari sumpah seorang Presiden. Ini berarti dalam melaksanakan tugasnya serang Presiden harus rela menyerahkan segalanya untuk bangsa dan negara.
Dan tiga kata tersebut "bekerja, berprestasi dan berbakti" secara utuh mutlak diberikan oleh seorang Presiden.
Tetapi kita patut dikejutkan oleh beberapa kerja Jokowi baru-baru ini. Saat mengajukan nama BG sebagai calon Kapolri, hal itu memang pekerjaan Presiden yang diberikan wewenang oleh UUD 1945. Tetapi apakah itu merupakan perwujudan dari seorang Presiden yang ingin berprestasi atau berbakti? Mengingat kontroversi BG sebelum pengajuan namanya sebagai Kapolri.
Saat menandatangani usulan kenaikan uang muka pembelian mobil untuk pejabat tinggi, bukankah pekerjaan Presiden memang memahami apa yang akan menjadi kebijakannya? Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 5 ayat 2: Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Ini berarti apabila Presiden sudah menadatangani untuk menjadi peraturan pemerintah mengapa pula Menteri Keuangan atau pembantu Presiden lainnya yang disalahkan? Bukankah itu berarti Presiden tidak menyerahkan dirinya untuk bekerja dengan baik atau tidak berbakti bagi bangsanya?
Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden bertanggung jawab penuh atas seluruh kebijakan dan keputusan pemerintah. Adalah tugas Presiden juga untuk mengawasi seluruh operasional dan kinerja jajarannya, termasuk kabinet dan PNS yang menjadi tulang punggung pemerintahan. Untuk itu UUD 1945 Pasal 17 ayat 2 memberi wewenang kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
Dalam wawancara di beberapa media, Presiden Jokowi mengakui bahwa kinerja kabinetnya belum optimal. Presiden memohon masyarakat paham bahwa masa kerjanya baru berjalan 5 bulan. "Jadi beri saya waktu sehingga nanti hasilnya akan seperti apa, itu akan nampak dalam dua tahun, tiga tahun, Insya Allah. Kalau nanti dua tahun, tiga tahun belum kelihatan silakan nanti berkomentar, silakan nanti memberikan kritikan," pesan Presiden Jokowi di depan masyarakat Indonesia di Jepang.
Tentu saja rakyat akan memberi waktu kepada Jokowi selama 5 tahun ke depan untuk mewujudkan prestasi dan bakti terbaiknya. Tetapi kalau di langkah awal saja seorang Presiden sering melakukan kesalahan mendasar yang jauh dari upaya "bekerja, berprestasi dan berbakti" kepada bangsa, maka bisa saja rakyat melakukan koreksi.
Bukankah turunnya Soeharto disebabkan karena koreksi dari rakyat? Bukankah tidak terpilihnya Megawati juga merupakan perwujudan dari koreksi rakyat atas "kerja, prestasi dan berbakti" kepemimpinan seorang Megawati saat itu?
Satu hal yang juga menjadi bagian dari upaya untuk bekerja-berprestasi-berbakti seorang Presiden kepada nusa dan bangsa adalah menjalin hubungan harmonis dengan partai politik. Sejak era reformasi Indonesia memasuki era multi partai dan sangat sulit bagi sebuah partai mengajukan calon Presiden dan Wakil Presidennya sendiri.
Majunya Jokowi sebagai calon Presiden 2014-2019, karena ada dukungan dari KIH dengan pilar utamanya PDIP. Tanpa KIH tanpa PDIP, Jokowi hanya akan tetap menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Namun kita patut prihatin melihat belakangan ini terlihat hubungan kurang harmonis baik antara pribadi Jokowi dengan Megawati, Jokowi dengan PDIP dan KIH, bahkan dengan Wakil Presiden JK.
Saat Megawati mencalonkan Jokowi sebagai calon Presiden memang dengan tujuan untuk memenangkan pemilihan Presiden 2014-2019 yang sangat populer saat itu. Padahal salah satu keputusan kongres di PDIP adalah tetap mencalonkan Megawati sebagai calon Presiden 2014-2019. Namun dengan berani Megawati tidak menjalankan keputusan partai tersebut mengingat realitas popularitas politik Jokowi memang di atas kandidat lainnya.
Dan kita semua telah tahu bahwa sinerji organisasi partai politik KIH dan popularitas seorang Jokowi yang didukung relawan ternyata sukses mengantar Jokowi sebagai Presiden RI ke 7.
Karena itu ke depannya, sebagai Kepala Pemerintahan, Jokowi harus membangun kembali sinerji dengan partai politik, terutama partai pendukung yang tergabung dalam KIH. Jokowi tidak bisa menghindari realitas politik dalam mengelola negara, bahwa setiap kebijakannya memiliki implikasi politik yang besar.
Karena itu menjalin hubungan dan komunikasi yang indah serta harmonis baik dengan Wakil Presiden JK, KIH, khususnya Megawati, termasuk juga dengan KMP adalah bagian dari tugas Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan yaitu bukan saja bekerja dan berprestasi, melainkan juga berbakti kepada nusa dan bangsa.
Terciptanya suasana harmonis dan komunikasi, termasuk dengan partai politik, yang indah itulah yang sangat dirindukan oleh seluruh rakyat Indonesia saat ini. Tanpa suasana tersebut sangat sulit bagi Jokowi dan kabinetnya berprestasi. Tanpa prestasi dan adanya sukma berbakti dari Jokowi, bisa saja rakyat tidak sabar untuk menanti hingga 5 tahun masa kepemimpinan Jokowi.
Penulis adalah Sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: