Kedua cabang itu memang memiliki "defining victory" yang paling jelas yaitu Emas Olympiade
Tradisi emas di Olympiade mulai diukirkan atlet Indonesia tahun 1992 oleh pasangan yang kemudian membangun keluarga bahagia, yaitu Alan Budikusuma dan Susy Susanti. Sayang, tradisi emas gagal dipertahankan Indonesia pada Olympiade 2012 di London.
Keberhasilan Indonesia menyandingkan dua emas di Olympiade Barcelona 1992 tidak lepas dari kepemimpinan Try Sutrisno yang kuat di tingkat pengurus PBSI dan kepemimpinan strategis teknokrat olahraga Almarhum M.F Siregar di tingkat pelaksanaan. Saat itu M.F Siregar baru saja diangkat menjadi Ketua Bidang Pembinaan PBSI.
Pada awalnya Ompung, panggilan populer M.F Siregar, sempat gamang. Dia bahkan belum paham tentang permainan bulu tangkis. Tetapi sebagai teknokrat, Ompung mau belajar dan berdialog dengan stakeholder bulu tangkis.
Dan saat berdialog dengan saya di Senayan, dia minta tolong bagaimana menjadikan tim pelatnas PBSI lebih fokus pada Olympiade 1992. Bersama rekan saya di IBM Indonesia, Satyo Fatwan, selama dua hari berturut-turut kami menjadi fasiltator "Strategic Planning Session", satu setengah tahun sebelum Olympiade 1992 dilangsungkan. Dengan peserta pengurus dan seluruh pelatih pelatnas.
Kesimpulan sesi strategis ini adalah semua peserta sepakat dengan "end of mind" bahwa tiga nomor akan masuk final, yaitu: tunggal putera, tunggal puteri dan ganda putera. Dan saat itu sudah direncanakan bahwa medali emas akan diraih oleh Ardy Wiranata dan Susy Susanti. Di ujung acara, lagu Indonesia Raya dikumandangkan, dan banyak peserta yang ikut menitikkan air mata membayangkan pertama kali Indonesia meraih emas Olympiade.
Sesi strategis tersebut tidak hanya dijadikan arsip oleh Ompung, melainkan ada komitmen tindak lanjut dari setiap orang insan pelatih dan pengurus PBSI. Ada komitmen tindak lanjut 30 hari, 60 hari, 90 hari, 120 hari sampai Olympiade 1992.
Didukung oleh Hadi Nazri, staff yang memahami luar dalam tentang bulu tangkis dan setiap atlet, maka setiap perkembangan atlet dengan data-data akurat dimonitor dan dilaporkan ke Ompung Siregar untuk memberikan feed back ke pelatih dan atlet itu sendiri.
Ketika tim Indonesia gagal di final Piala Thomas 1992 lawan Malaysia, banyak kritikan pedas ke arah Ompung. Tetapi Ompung tetap tegar, terutama saat diskusi dengan wartawan dan pengamat olahraga di Bandung, Dengan lantang Ompung menyatakan target dia adalah emas Olympiade 1992. Bukan Piala Thomas atau Uber. Dan Indonesia akan meraih dua medali emas di Olympiade 1992.
Semua orang terkejut, karena bagaimanapun Piala Thomas sudah menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi Ompung ingin tetap membangun semangat seluruh komponen di PBSI agar fokus ke Olympiade 1992 dan mengambil alih tanggung jawab kegagalan merebut Piala Thomas 1992 Kuala Lumpur.
Semangat pengurus PBSI, pelatih dan atlet kembali menyala dan menyatu untuk bersama bekerja keras dan cerdas meraih emas Olympiade 1992 Barcelona.
Menjelang keberangkatan ke Barcelona, secara mengejutkan Ompung mengalami serangan jantung dan harus dirawat di AS. Sehingga Ompung tidak bisa mendampingi tim bulu tangkis Indonesia. Tetapi setiap hari Ompung berdialog dengan mereka dan tetap memberikan semangat agar fokus meraih emas.
Kita semua tahu bahwa di Olympiade 1992 Barcelona, Indonesia berhasil masuk final di tiga nomor. Tunggal putera Alan Budikusma dan Ardy Wiranata, tunggal puteri Susy Susanti dan pasangan ganda Eddy Hartono dan Rudy Gunawan. Sesuai skenario juga, Hermawan Susanto berhasil mengalahkan lawan berat yang paling ditakuti dari Tiongkok yaitu Zao Jianhua di perempat final. Total Indonesia meraih dua emas, dua perak dan satu perunggu dari bulu tangkis.
Pelajaran utama yang kita bisa petik dari manajemen yang diterapkan Ompung adalah fokus pada "defining victory" serta pertegas kendali kepemimpinan yang kuat.
Komunikasi adalah cara utama yang dilakukan Ompung untuk memahami kendala dan tantangan dari setiap atlet. Yang tidak kalah penting, segala dukungan dari kepemimpinan pengurus PBSI Try Sutrisno juga sangat besar. Sehingga setiap komitmen tindak lanjut yang disepakati semua unsur dapat berjalan dengan baik.
Beberapa waktu lalu Indonesia gagal meraih gelar di All England 2015. Pasangan yang berhasil masuk final juga hanya satu yaitu di ganda campuran dan juara bertahan, Tantowi Ahmad dan Lilyana Natsir. Secara mengejutkan mereka begitu mudah kehilangan angka saat melawan pasangan Tiongkok Zhang Nan/Zhao Yunlei, dua set langsung 10-21, 10-21.
All England 2015 adalah salah satu pertandingan yang dijadikan patokan meraih nilai untuk lolos ke Olympiade 2016 di Rio de Janeiro. Karena itu Rexy Mainaki, sebagai Ketua Bidang Pembinaan PBSI harus fokus ke "training to win" yaitu Olympiade 2016.
Jangan bebani Rexy dan timnya dengan pemain-pemain yang masih berlatih untuk "training to compete" atau ke kompetisi tingkat regional seperti SEA Games. Pada tahun 2016, perebutan Piala Thomas dan Uber akan dilangsungkan di Tiongkok. Karena itu Rexy harus benar-benar menata dengan baik agar puncak prestasi atlet terjadi di Olympiade 2016.
Pada hari Selasa 10 Maret 2015 di Sabang, Presiden Jokowi mencanangkan Gerakan Nasional "Ayo Kerja".
Mohon Maaf Bapak Presiden, kalau di bulu tungkis dan angkat besi, gerakannya adalah Ayo Raih Emas di Olympiade. Pengurus olahraga dan atlet-atlet di kedua cabang ini sudah sejak lama bekerja keras dan cerdas untuk sebuah prestasi emas.
Pertanyaannya, apakah dukungan dana dari pemerintah untuk kedua cabang ini hanya sebesar untuk uang parkir seperti yang diuagkapkan oleh Deputi Menpora Gatot Dewa Broto beberapa waktu lalu? Dukungan sebesar itu sangat jauh dari kebutuhan berprestasi emas.
Kalau Presiden Jokowi berharap Indonesia Raya kembali berkumandang di Olympiade 2016, maka dana bernilai emas pulalah yang harus diberikan kepada bulu tangkis dan angkat besi.
Ayo Raih Emas Olympiade 2016!
*penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: