Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keterampilan Kepemimpinan Presiden

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Senin, 09 Maret 2015, 11:53 WIB
Keterampilan Kepemimpinan Presiden
jokowi/net
BARU seumur jagung pemerintahan Jokowi-JK, popularitasnya mengalami penurunan tajam.  Survei LSI bulan Januari 2015 memperkirakan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi sudah mencapai angka di bawah 45 persen.  Bahkan mayoritas publik, sekitar 53,7 persen,  menyatakan tidak puas atas kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-JK.

Sebenarnya penurunan popularitas di awal pemerintahan adalah suatu yang wajar. Popularitas Presiden AS Barack Obama juga mengalami hal yang sama. Polling yang dilakukan oleh Gallup Daily menunjukkan popularitas Obama turun dari 70 persen pada saat ia dilantik sebagai presiden bulan Januari 2009, menjadi 50 persen pada bulan Oktober 2009.

Presiden SBY  mengalami fenomena yang sama. Menurut survai LSI kalau di awal pemerintahan bulan November 2004 popularitas SBY mencapai angka 80 persen, maka di bulan Januari 2005 turun menjadi 69 persen.  Pernyataan "I don’t care" dikeluarkan oleh SBY menanggapi penurunan tersebut. Karena SBY lebih fokus kepada program lima tahun ke depan.

Meskipun penurunan popularitas Presiden adalah sesuatu yang biasa. Namun kali ini ada hal yang paling dikhawatirkan masyarakat yaitu kemampuan Jokowi dalam mengatasi multi masalah yang kompleks dalam waktu hampir bersamaan. Antara lain : percepatan pertumbuhan ekonomi, nilai rupiah terhadap dolar yang terus menurun, daya beli masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM, beras, dan kebutuhan pokok lainnya.  
Di samping itu, Jokowi juga mengalami tekanan dari beberapa negara lainnya  menyangkut hukuman mati yang akan tetap dijalankannya.

Tekanan politik paling keras malah terjadi dari partai pendukung yang tergabung dalam KIH agar calonnya dapat menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Seperti jabatan Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BIN.

Kita telah mengetahui bahwa Jokowi mengalami tekanan politik paling berat saat mengusulkan Komjen BG menjadi Kapolri. Suasana politik menjadi panas, terutama karena terjadinya kesenjangan harapan antara partai politik, Jokowi dan masyarakat luas. Beberapa elemen masyarakat melakukan aksi dukungan kepada Jokowi,  KPK, maupun Polri untuk terus memberantas korupsi.  

Dampak peristiwa tersebut hingga saat ini masih belum jelas ujungnya. Kriminalisasi terhadap personil KPK dan pendukungnya masih terus berlangsung.  Meskipun berulang kali Jokowi menegaskan agar hal itu harus dihentikan.

Hari Minggu 8 Maret 2015, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan mandat berupa Surat Keputusan Rakyat pada Tim 9 untuk menghentikan aksi kriminalisasi terhadap pimpinan dan pegawai KPK.  Banyak yang menengkawatirkan sikap ini bisa membawa ke arah "people power" sehingga dukungan rakyat kepada Jokowi semakin turun.

Namun beberapa peristiwa tersebut telah memberikan pelajaran paling berharga pada Jokowi. Pelajaran pertama, tidak selalu partai pendukung yang tergabung dalam KIH menerima keputusan Presiden Jokowi dengan jiwa besar. Beberapa anggota PDIP secara terbuka menyatakan Jokowi sudah tidak pantas menjadi Presiden. Atau ada juga yang meminta agar tiga pejabat di sekitar Jokowi untuk diganti.

Pelajaran kedua, tidak mudah menyeleraskan kerja dan pernyataan politik ke publik dengan Wakil Presiden JK.  Kita masih ingat bagaimana JK menyatakan akan melantik BG bila dia yang menjadi Presiden. Sementara Jokowi sudah memberikan tanda-tanda tidak akan melantik. Masyarakat pun menjadi bingung atas sikap JK ini.

Pelajaran ketiga, tidak mudah bagi Jokowi untuk benar-benar bisa memegang kendali pada lembaga-lembaga di mana DPR turut menentukan pimpinannya. Seperti Polri, TNI, KPK, KPU, MA, KPI dan beberapa lainnya.

Misalnya di lembaga Polri. Secara kasat mata masyarakat melihat Jokowi tidak berdaya karena perintah menghentikan kriminalisasi tidak dijalankan oleh Polri. Bahkan cenderung meluas ke beberapa pihak di luar KPK. Di mana penyidik Bareskrim Polri melakukan somasi kepada Komnas HAM.

Sementara itu kinerja Kabinet Kerja belum optimal. Saat membentuk kabinetnya, sangat jelas sedikit sekali pengetahuan Jokowi atas kemampuan, komitmen, keterampilan para menteri dalam menjalankan tugas sebagai menteri untuk mewujudkan visi Nawa Citanya. Masih banyak menteri yang hanya meniru model Jokowi dengan melakukan blusukan tetapi tanpa substansi.

Menurut Fred I. Greenstein dalam bukunya "Inventing the Job of President" yang melakukan penelitian tentang kepemimpinan beberapa Presiden di AS berkesimpulan bahwa diperlukan enam kualitas kepemimpinan seorang Presiden yang baik, yaitu Public Communication, Organizational Capacity, Political Skill, Policy Vision, Cognitive Style dan Emotional Intelligence.

Apabila kita ingin menggunakan konsep kurva "S" dalam kepemimpinan Jokowi, maka Jokowi sekarang ini berada dalam posisi "Early Stage", atau masih di bawah dan sedang merangkak ke atas. Dalam teori organisasi, posisi tersebut masih sangat rawan. Dan inilah yang masih dihadapi oleh Jokowi sekarang. Karena itu 6 kualitas kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden harus menjadi lebih efektif.

Dari pelajaran berharga terebut dan dalam upaya Jokowi untuk meningkatkan kualitas kepemimpinannya, maka salah satu langkahnya adalah dengan menerbitkan Perpres Nomor 26 tentang perluasan wewenang Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpin oleh Luhut B. Panjaitan.  

Kita tahu dalam perjalanan Jokowi di bidang politik dan bisnis, Luhut B. Panjaitan selalu menjadi penasehat terdekatnya. Luhut bahkan bersedia pasang badan saat kampanye Presiden lalu menghadapi beberapa purnawirawan Jenderal yang mendukung Prabowo.

"For many practical purposes, it is the White House operations boss--and not the vice president--who serves as the nation's deputy president".  Pernyataan itu dilontarkan oleh analisis politik Ben W. Heineman Jr menanggapi kemungkinan Denis McDonough, saat itu masih sebagai Deputy National Security Adviser, sebagai Chief of Staff di Gedung Putih.

Tentu saja perluasan wewenang Luhut bukan berarti ada upaya Jokowi untuk mengurangi wewenang Wakil Presiden JK dalam menjalankan pemerintahannya seperti yang terjadi di Gedung Putih AS.

Luhut lebih diharapkanmembantu Presiden Jokowi dalam beberapa bidang ketrampilan seorang Presiden, seperti membangun kembali kepercayaan publik dengan menata ulang proses komunikasi dengan publik (Public Communication), peningkatan kapasitas dan kompetensi organisasi kabinet yang mampu mewujudkan program Nawa Cita (Organizational Capacity) sekaligus memastikan bahwa perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi RI dijalankan dengan baik oleh jajarannya. Kemudian ketrrampilan dalam menjaga hubungan politik dengan DPR, KIH, KMP, MPR, DPD (Political Skills) serta peningkatan kecerdasan emosional(Emotional Intelligence) seorang Presiden.

Suasana politik di sekeliling Presiden Jokowi akan selalu dinamis. Karena itu perubahan peran dan wewenang di sekitar organisasi Presiden masih mungkin terus terjadi.  Sementara bagi rakyat, harapannya adalah agar Jokowi-JK dapat mewujudkan Program Nawa Cita, dan bukan sebuah Duka Cita bagi rakyatnya.  Semoga Presiden Jokowi mampu mengatasi segala tantangan politik dan ekonomi yang dihadapinya.

Penulis adalah Sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA