"Cross Over Rubicon River" adalah contoh tentang keputusan tegas Julius Caesar saat membawa pasukannya menyeberangi sungai Rubicon. Padahal telah diketahui bahwa barang siapa yang berani melakukan hal tersebut, berarti menyatakan perang terhadap Kerajaan Romawi. Resiko yang akan dihadapi adalah antara hidup atau mati.
Maka ketika Julius Caesar, seorang Jenderal bersama pasukannya melintasi Rubicon River pada 10 Januari 49 SM, secara otomatis dia dianggap menyatakan perang melawan Senat Romawi. Dan pilihannya yang dihadapi Julius Caesar adalah menang atau dimusnahkan. Inilah asal muasal ungkapan Cross Over Rubicon River" atau menyeberang Sungai Rubicon yang kemudian diartikan sebagai langkah yang tak mempunyai peluang mundur (Point of No Return).
Contoh lain diperlihatkan seorang panglima muslim, Thariq bin Ziyad. Pada tahun 711 SM Thariq menyerbu Iberian Peninsula dan membuat keputusan Point of No Return dengan cara berbeda. Saat mendarat di Iberian Peninsula, daratan Spanyol, dia memerintahkan kapal-kapal perangnya dibakar hingga musnah (Burn the boats). Sehingga seluruh pasukannya sudah tidak punya pilihan lain kecuali untuk maju berperang dan meraih kemenangan.
Ada juga cerita perang Julu di Tiongkok sekitar 207 SM. Adalah panglima perang Xiang Yu yang memerintahkan pasukannya membakar kapal dengan segala perlengkapan yang ada sesaat tiba di seberang sungai agar pasukannya memahami untuk tidak berharap kembali sebelum meraih kemenangan. "Break the kettles and sink the boats" itulah perintah sang Panglima kepada pasukannya yang juga berarti Point of No Return.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, seorang calon Presiden dan Wakil Presiden harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Karena itu Partai politik menjadi kapal yang akan membawa calon Presiden dan Wakil Presiden untuk meraih kedudukan sebagai orang No 1 dan No 2 di Indonesia.
Namun penentuan pemenang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ada di tangan rakyat. Karena itu suara rakyat adalah suara Tuhan atau "Vox Populi Vox Dei" dalam sistem politik demokrasi berarti kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya ada di tangan rakyat. Istilah tersebut kemudiam seolah-olah disakralkan dalam proses pemilihan Presiden.
Dalam kaitan suara rakyat adalah suara Tuhan maka Joko Widodo dengan tegas menyatakan akan tunduk pada konstitusi. Pernyataan itu perlu dilontarkan Joko Widodo sebagai tanggapan atas pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri bahwa Joko Widodo adalah petugas partai yang dicalonkan menjadi calon Presiden RI. Rakyatpun gembira karena pernyataan Joko Widodo tunduk pada konstitusi berarti Joko Widodo akan mendahului kepentingan rakyat dan tunduk pada hukum. Bukan kepada kepentingan partai politik.
Memperkuat pernyataannya untuk tunduk pada konstitusi dan mengedepankan kepentingan rakyat, maka Joko Widodo dan Jusuf Kala telah mencanangkan 9 agenda prioritas pemerintahannya yang dikenal dengan nama Nawa Cita.
Dari 9 agenda prioritas tersebut, yang paling dinantikan rakyat adalah agenda nomor 2. Yang selengkapnya adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Karena rakyat memang merindukan adanya pemerintahan yang bersih dan para koruptor ditindak dengan tegas.
Janji tersebut dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo saat melakukan proses penentuan calon menteri di Kabinet Kerja. KPK dan PPATK pun telah memberikan rekomendasi dan beberapa rekomendasi tersebut diakomodir oleh Presiden Joko Widodo sebagai pemegang hak prerogratif. Namun dalam proses pemilihan Jaksa Agung dan Kapolri, Presiden Joko Widodo telah lupa dengan janjinya tersebut. KPK tidak lagi dilibatkan dan Komjen Budi Gunawan, yang diduga memiliki rekening gendut, telah diusulkan Presiden Joko Widodo sebagai calon Kapolri.
Kelanjutan proses penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri telah kita ketahui semua. Yang pada intinya telah membangunkan rasa sangsi rakyat kepada integritas Presiden Joko Widodo untuk memberantas korupsi dan bertindak tegas koruptor. Presiden Joko Widodo juga tidak tegas menarik pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri meskipun KPK telah menetapkannya sebagai tersangka.
Situasi politik dan hukum semakin keruh ketika Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto secara tiba-tiba ditangkap polisi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Suara rakyat yang memprotes tindakan polisi tersebut ternyata dijawab oleh Presiden Joko Widodo dengan datar. Presiden Joko Widodo mengharapkan proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan UU yan ada. Serta institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing.
Mulai saat penentuan nama-nama menteri di Kabinet Kerja, penetapan Jaksa Agung, pencalonan Kapolri dan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh polisi, rakyat lebih merasakan Presiden Joko Widodo lebih mementingkan kapal yang membawanya sebagai calon Presiden. Akibatnya suara hati rakyat yang prihatin, rasa keadilan rakyat yang tidak dipenuhi, proses penangkapan Bambang Widjojanto yang jauh dari sikap beretika dan mengedepankan HAM, bahkan kekhawatiran rakyat atas pengembosan KPK telah diabaikan oleh Presiden Jokowi.
"Tunduk pada Konstitusi" sebenarnya kata kata lain dari "Point of No Return". Tunduk pada konstitusi adalah kapal sebenarnya Presiden Joko Widodo dalam 5 tahun ke depan. Karena di dalamnya bukan hanya berisi partai politik atau konglomerat, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai komandan nomor 1 di Indonesia, Presiden Joko Widodo harus berani melanjutkan peperangan melawan korupsi dengan seluruh rakyatnya. Presiden Joko Widodo harus berani menyatakan tidak pada perintah Partai Politik demi mengedepankan kepentingan rakyat dan negara. Presiden Joko Widodo bukan lagi petugas partai politik melainkan petugas negara Republik Indonesia.
Hiruk pikuknya elite di partai politik, DPR, dan pemerintahan belakangan ini sebenarnya sebuah potret sakit mental yang selama ini terjadi di Indonesia. Sayangnya potret sakil mental masih terus terjadi. Bukan potret proses revolusi mental ke arah perbaikan seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo.
Kita berharap Presiden Joko Widodo bisa seperti tokoh-tokoh "Point of No Returns" Julius Caesar, Thariq bin Ziyad dan Xiang Yu. Agar bangsa ini kembali tidak membuang waktu selama 5 tahun ke depan.
[***]
Penulis merupakan sosiolog, dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: