Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kontribusi Olahraga pada Ekonomi Kota

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Selasa, 09 Desember 2014, 05:44 WIB
<i>Kontribusi Olahraga pada Ekonomi Kota</i>
SETELAH tahun 1962 menjadi tuan rumah pesta olahraga Asia dan tahun 1963 tuan rumah Ganefo (Game of the New Emerging Forces), kota Jakarta selama 23 tahun atau antara 1973-1996 menjadi kota penyelenggara Pekan Olahraga Nasional (PON) 7 kali berturut-turut.  

Di samping itu Jakarta juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan pesta olahraga SEA Games yaitu pada tahun 1979, 1987, 1997, dan terakhir 2011 bersama Palembang.

Hampir 50 tahun sebagai penyelenggara pesta olahraga multi event, kompleks olahraga Jakarta hanya mengandalkan Gelora Senayan yang dibangun oleh Presiden Soekarno tahun 1962. Sejak itu, baik pemerintah pusat maupun Gubernur DKI Jakarta sama sekali tidak ada inisiatif membangun kompleks olahraga bertaraf internasional dan modern. Bahkan oleh pemerintah Orde Baru, Senayan telah banyak berubah dari pusat kegiatan olahraga menjadi pusat perbelanjaan, penginapan, kuliner, dan penyewaan gedung untuk pameran, pernikahan dan acara penting lainnya.

Satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang memiliki perhatian besar terhadap pembangunan fasilitas olahraga adalah Ali Sadikin. Baru 3 tahun menjabat, tidak kurang dari 50 lapangan olahraga terbuka, 70 lapangan tenis, 4 kolam renang besar, 25 lapangan basket, dan 12 gelanggang olah raga dibangun oleh Bang Ali.

Bang Ali juga membangun Gelanggang Olahraga Mahasiswa yang diberi nama Soemantri Brojonegoro di daerah Kuningan.  Pada tahun 1977 Bang Ali juga membangun kompleks Sekolah Olahraga tingkat SMP dan SMA beserta penginapannya bagi calon atlet nasional di Ragunan yang diresmikan oleh Wakil Presiden Hamengku Buwono IX. Beberapa atlet berprestasi internasional lulusan Sekolah Olahraga Ragunan antara lain Yayuk Basuki, Ivana Lie, Icuk Sugiarto, Susy Susanti, Alan Budikusuma, Kurniawan Dwi Yulianto dan lain lain.

 Perhatian besar Bang Ali pada olahraga mendorong atlet daerah berpindah ke Jakarta.  Karena fasilitas latihan, sekolah, penginapan bahkan sistem bonus atlet DKI Jakarta jauh lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Akibatnya berpuluh tahun DKI Jakarta selalu menjadi juara umum PON dan menjadi kontributor terbesar atlet nasional berprestasi di Indonesia.

Setelah tidak lagi menjabat Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin didapuk sebagai Ketua Umum PSSI 1977-1981.  Di bawah kepemimpinan Ali Sadikin, PSSI menyelenggarakan Liga Sepakbola Utama (Galatama) pada 1979 sebagai kompetisi sepakbola profesional. Dan kita tahu bahwa Galatama merupakan produk PSSI monumental karena menjadi pelopor kompetisi profesional di Asia. Sejak itu pula mulai tumbuh kompetisi profesional di beberapa cabang olahraga, seperti tinju, tenis, bulu tangkis, bola basket, bola voli.

Pertanyaannya adalah mengapa 7 Gubernur setelah Ali Sadikin, termasuk Jokowi dan Ahok, tidak pernah ada upaya untuk membangun kompleks olahraga baru yang bertaraf internasional dengan fasilitas mutakhir? Mengapa gelanggang olahraga remaja di DKI Jakarta tidak pernah bertambah? Mengapa fasilitas Sekolah Olahraga Nasional Ragunan banyak yang rusak dan tidak terurus dengan baik?

Melihat kenyataan tersebut, kita patut prihatin bahwa meskipun beberapa kali menjadi tuan rumah pesta olahraga tingkat nasional, tingkat Asia Tenggara dan nanti pada Asian Games 2018, belum terlihat rencana strategis pemerintah pusat dan daerah DKI Jakarta dalam upaya melakukan "rebranding" kota,  akselerasi roda ekonomi, maupun secara aktif mengembalikan Jakarta sebagai pusat pembinaan prestasi atlet ke tingkat dunia.
 
Untuk penyelenggaraan Asian Games 2018, wewenang kota Jakarta hanya terbatas sebagai penyedia fasilitas penginapan, transportasi, parkir, reklame, dan relawan. Dengan kondisi tersebut, usai penyelenggaraan Asian Games 2018 mendatang, Jakarta tetap belum memiliki kompleks olahraga terbaru yang bisa menjadi "trade mark" baru kota Jakarta, sistem transportasi terintegrasi dengan kota satelit baru dilengkapi sistem jaringan komunikasi yang mutakhir.  

Padahal bagi negara dan kota kota lain, pesta olahraga terbesar semacam ini telah dijadikan kesempatan strategis  untuk membangun kompleks olahraga baru bertaraf internasional.  Karena mereka percaya hal ini adalah sebuah investasi yang bisa digunakan untuk membangun kembali citra (rebranding) kota sekaligus akselerasi roda ekonomi, promosi produk lokal dan peningkatan sektor pariwisata.

Saat Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, tingkat hunian hotel mencapai 86.3 persen dengan harga kamar hotel mencapai US$ 451 per malam. Padahal biasanya hanya US$ 87 per malam.  Sementara saat Guangzhou saat menjadi tuan rumah Asian Games 2010, jumlah turis manca negara mengalami peningkatan sekitar 44,4 persen yaitu sekitar 400 ribu turis. Belanja turis asing berdasarkan bon yang tercatat mencapai US$ 262 juta atau meningkat 73,7 persen dibandingkan tahun 2009.

Pada tahun 1998,  saat krisis ekonomi melanda dunia termasuk Korea Selatan, mereka bekerja keras dan melakukan investasi besar-besaran dalam membangun kompleks olahraga, infrastruktur transportasi, hotel untuk menyelenggarakan Olimpiade 1998 di Seoul. Dan disusul Piala Dunia FIFA 2002 dan pada tahun yang sama Asian Games 2002 di Busan.  Pemerintah Korea Selatan tahu persis manfaat pesta olahraga bagi akselerasi ekonomi, peningkatan sektor pariwisata, budaya dan membangun merek produk manufaktur Korea Selatan ke tingkat internasional, seperti Samsung, Hyundai, LG.

Incheon, bagi Korea Selatan, adalah salah satu kota yang direncanakan sebagai "Kawasan Ekonomi Khusus". Dalam upaya akselerasi pembangunan ekonomi di Incheon terutama untuk menarik investor luar negeri, maka pemerintah Korea Selatan menetapkan Incheon sebagai kota tuan rumah Asian Games 2014.  Pemerintah Korea Selatan yakin melalui Asian Games 2014, keunggulan Incheon sebaga tempat berinvestasi akan terekspose ke tingkat global.

Untuk itu pemerintah Korea Selatan tidak segan-segan mengeluarkan biaya pembangunan stadion utama yang digunakan untuk upacara pembukaan, penutupan dan beberapa pertandingan olahraga lainnya sebesar US$ 429 juta.  Di samping itu Incheon juga membangun fasilitas kereta bawah tanah, hotel, jaringan komunikasi. Semua investasi tersebut dipercaya akan berhasil menarik dunia usaha untuk berinvestasi di Incheon, sekaligus menjadikan Incheon sebagai kota global. Diperkirakan nilai tambah ekonomi bagi kota Incheon sebagai tuan rumah Asian Games 2014 mencapai US $ 5,5 miliar.

Melihat beberapa kenyataan tersebut di atas, kita patut prihatin apabila saat menyetujui Jakarta sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games 2018,  pemerintah pusat dan daerah DKI Jakarta tidak benar-benar mempersiapkan dengan baik kebijakan strategis untuk peningkatan daya saing ekonomi Jakarta ke tingkat global melalui pesta olahraga tersebut. Termasuk juga persiapan pembiayaannya.

Menurut John A. Davis dalam bukunya "The Olympic Games Effect", ada tiga komponen biaya yang perlu disiapkan oleh pemerintah negara penyelenggara multi event olahraga.  Yaitu biaya untuk stadion olahraga (venues), biaya untuk infrastruktur termasuk jalan raya, kereta api, airport, listrik, air minum, jaringan komunikasi, rumah sakit, penginapan atlet dan lain-lain. Dan ketiga biaya untuk organisasi dan penyelenggaraan pertandingan termasuk untuk puluhan ribu relawan.

Untuk pesta olahraga tingkat Asia 2018, Jakarta tidak bisa lagi terlalu mengandalkan kompleks olahraga Senayan termasuk infrastruktur transportasi yang tidak tertata baik dan sudah usang karena berusia lebih dari 50 tahun.  Karena itu kehadiran pemerintah pusat, terutama dalam membantu kota Jakarta dalam merencanakan dan penyediaan anggaran pembangunan kompleks olahraga yang baru dan modern adalah sangat diperlukan. 

Baik pemerintah pusat, DPR, DPD maupun pemerintah daerah harus melakukan revolusi cara berpikirnya bahwa olahraga bukanlah sebuah proyek yang hanya menghabiskan uang saja dan dimanfaatkan sebagai peluang untuk tindak pidana korupsi.  Seperti yang terjadi dengan kasus Hambalang, PON Kalimantan Tomur dan Riau, maupun SEA Games Palembang 2011.

Melainkan melalui pesta olahraga Asian Games, Indonesia dan Jakarta memiliki peluang untuk membawa produk lokal ke tingkat global, seperti yang dilakukan Korea Selatan dan Tiongkok, peningkatan wisatawan asing,  peningkatan fasilitas infrastruktur di masyarakat, membangun kepercayaan dunia usaha untuk berinvestasi, yang pada akhirnya akan membantu akselerasi ekonomi kota Jakarta. 

Kita harus menghindari citra negatif yang berpotensi muncul, di mana Asian Games 2018 akan dipandang sebagai pesta olahraga terburuk tingkat Asia di era tahun 2000-an, karena diselenggarakan pada lokasi dan fasilitas olahraga di era tahun 1960-an dengan teknologi yang juga serba ketinggalan dan sistem transportasi yang buruk. Lebih dari itu, jangan sampai Jakarta tidak memiliki kompleks olahraga terbaru dan termodern meskipun menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Sebaliknya Asian Games 2018 harus membawa kenangan termanis bagi peserta dari mancanegara sekaligus mengangkat profil Jakarta sebagai kota global yang kredibel dan menjadi kebanggan bagi warga Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Semoga!!!!

Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA