Sangat disayangkan di awal perjalanan mengisi demokrasi politik era 2014-2019 kerikil-kerikil tajam masih menghiasi langkah pelaku utama demokrasi terutama para elit politik di legislatif. Di DPR, kisruh penyusunan organisasi alat kelengkapan DPR membuahkan terbentuknya DPR tandingan. Koalisi Indonesia Hebat mengharapkan dialog dan musyawarah. Sementara Koalisi Merah Putih tetap mengedepankan adu banyak suara.
Dalam susunan Kabinet Joko Widodo, sahabat dekat relawan yang banyak kontribusinya pada masa kampanye tidak teralokasikan untuk terus mengawal program Nawa Cita Jokowi di kabinet. Portal maya relawan seperti kabinetrakyat.com, detik.com, kawalmenteri.com yang mencoba melakukan seleksi menteri versi aspirasi rakyat, ternyata menjadi upaya tanpa hasil berarti. Realitas politik memperlihatkan bahwa susunan kabinet banyak dipengaruhi oleh partai politik dan dunia usaha.
Belum lagi sebulan kabinet bekerja, sudah banyak anggota masyarakat yang memuntahkan rasa ketidakpuasannya dengan kinerja Presiden Joko Widodo. Ada kelompok masyarakat yang mengadu kepada KPK terhadap menteri-menteri yang disinyalir terlibat korupsi, ada yang menghakimi Presiden Joko Widodo karena Petral tidak dibubarkan.
Ada pula politisi dari partai oposisi yang menganggap ditahannya tukang sate penghina Joko Widodo di media sosial sebagai tindakan yang keterlaluan. Padahal sejak menjadi Presiden RI ke 7, Joko Widodo adalah simbol negara.
Kita memang patut belajar berdemokrasi dari Amerika Serikat, di mana respek terhadap simbol negara yang dimiliki seorang Presiden dijunjung tinggi. Presiden Franklin D. Rossevelt meskipun terkena polio dan harus berada di kursi roda. Tapi foto maupun penampilan Rossevelt di layar kaca selalu diambil sedemikian rupa sehingga posisi dia berada di kursi roda tidak banyak terekspose. Itulah contoh negara berdemokrasi yang bertanggung jawab.
Selama ini arti demokrasi yang lebih ditonjolkan oleh kita adalah sebuah ekspresi kebebasan. Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan demonstrasi, kebebasan menolak pemimpin padahal masa tugasnya belum juga habis. Padahal yang jauh lebih penting kita pahami adalah demokrasi diawali pada pundak individu sebagai sebuah tanggung jawab sesorang di masyarakat.
Kalau kita menggunakan konsep George Herbert Mead tentang
Me†and I†dalam bukunya
Mind, Self and Societyâ€, maka demokrasi lebih terasa bermanfaat apabila hidup dalam komunitas
Me†(
Me Communities). Di mana apabila ada sahabat, rekan kerja atau tetangga yang mengalami musibah kita sendiri patut dengan sukarela membantunya. Demokrasi akan berbahaya apabila hidup pada komunitas
I†(
I Communities). Karena di sini setiap orang lebih menonjolkan kepentingan diri pribadi.
Dalam sistem demokrasi yang hidup di komunitas
Meâ€, maka demokrasi berarti memberi perlindungan kepada minoritas. Apakah minoritas itu terjadi karena kalah suara dalam proses pemilihan, atau karena faktor-faktor demografi, ras, jenis kelamin, kekayaan, pendidikan, dunia usaha. Penolakan terhadap Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden RI, hanya karena dia orang Tionghoa dan beragama Nasrani, adalah contoh buruk dari sebuah ekspresi demokrasi di Indonesia.
Prinsip utama dalam kehidupan berdemokrasi adalah jangan sakiti rakyat dan jangan ambil semena-mena apa yang dimiliki oleh rakyat. Sebuah pemerintahan, baik dalam sistem demokrasi maupun otoriter seringkali menyakiti hati rakyat. Dengan alasan pembangunan, tanah milik rakyat diambil alih pemerintah tanpa ganti rugi yang memadai.
Prinsip keadilan harus benar-benar ditegakkan oleh pemerintah dalam kehidupan berdemokrasi. Karena peran pemerintah paling utama adalah memberikan perlindungan kepada setiap individu warga negaranya. Itu sebabnya sebuah negara demokrasi harus benar-benar menegakkan hukum (
rules of law) dengan tegas dan konsisten. Setiap orang harus sama di hadapan hukum. Jangan sampai pisau hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, seperti yang diungkapkan oleh calon Wakil Presiden Hatta Rajasa pada debat calon Presiden lalu.
Tetapi keadilan jelas berbeda dengan keadilan sosial. Istilah keadilan sosial di awalnya diungkapkan oleh ahli falsafah Luigi Taparelly d’Azeglio.
A society cannot exist without an authority that creates harmony in itâ€. Ini berarti dalam menciptakan keadilan sosial, perlu ada pemimpin yang mengarahkan agar keadilan benar-benar terjadi.
Contoh upaya dalam menciptakan keadilan sosial dilakukan dengan tegas oleh Presiden AS Franklin D. Rossevelt yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur distribusi kekayaan dan ekonomi di masyarakat. Kata Rossevelt : â€
The right ordering of economic life cannot be left to a free competition forcesâ€.
Itulah sebenarnya hakekat utama keadilan sosial yang juga menjadi cita-cita bangsa Indonesia seperti tertuang dalam sila ke lima Pancasila. Konsep Trisakti dan Program Nawa Cita, mestinya ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Presiden Joko Widodo baru saja bekerja. Kesempatan yang dimiliki Joko Widodo adalah lima tahun. Bukan 100 hari, bukan minggu depan, bukan tahun depan. Namun demikian rakyat akan terus mengikuti langkah-langkah kebijakan Joko Widodo setiap hari. Dan di alam kebebasan berdemokrasi, setiap orang bisa saja melontarkan kritik dan ketidakpuasannya terhadap jalannya pemerintahan Kabinet Kerja.
Bersyukur program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo seminggu kabinet kerja terbentuk. Namun demikian Joko Widodo juga perlu didukung oleh tim gerak cepat (
Rapid Response Team) yang segera memberikan bantuan cepat kepada rakyat apabila ada keterlambatan atau hambatan dalam pelaksanaannya.
Bapak Presiden Joko Widodo, janganlah sakiti rakyatmu satu detikpun.
Selamat bekerja nyata !!!
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: