DISIPLIN SATU-SATUNYA NAPASKU
DEMI JAYANYA SANG MERAH PUTIH
KEHORMATAN ADALAH SEGALANYA
GEMERTAK TULANG MENDIDIH DARAHKU
SEMANGAT BERAPI MEMBAKAR BATINKU
TUHAN ADALAH KEKUATANKU
SETIAP KUHADAPI LAWANKU
KAMI PATRIOT
KAMI PATRIOT
KAMI INI PATRIOT OLAHRAGA
BIAR MATA DUNIA MEMANDANG INDONESIA
KITA DAHSYAT DAN PERKASA ( 2X )
Syair di atas adalah penggalan lagu Mars Patriot Olahraga yang saat KONI Pusat dipimpin oleh Wismoyo Arismunandar selalu dikumandangkan oleh pengurus olahraga, pembina dan atletnya. Lagu karya Alm. Melky Goeslow itu diharapkan mampu membangun motivasi seluruh insan yang terlibat di olahraga. Bahwa sebagai patriot, nama harum Indonesia menjadi tujuan utama. Mars Patriot Olahraga tersebut dapat diunduh di
http://www.youtube.com/watch?v=MgueA-xAXdU.
Saat era kepemimpinan Wismoyo, dukungan dana dari pemerintah masih sangat terbatas. Sebagai perbandingan saat Indonesia mengalami krisis keuangan tahun 1998, dukungan APBN untuk Asian Games 1998 di Bangkok hanya sekitar Rp. 5 miliar. Namun 6 keping medali emas berhasil dipersembahkan patriot atlet olahraga.
Sedangkan untuk Asian Games 2010, dukungan dana APBN untuk KONI hampir mencapai Rp 200 miliar. Tapi medali emas yang diraih hanya 4 keping emas. Hingga saat ini, Indonesia tidak pernah lagi meraih jumlah medali emas tahun 1998 apalagi mendekati prestasi tahun 1962 saat Asian Games diselenggarakan di Jakarta.
Saat kepemimpinan KONI Pusat oleh Wismoyo, semua unsur manajemen di KONI dimotivisir oleh beliau untuk menjadi patriot olahraga juga dan menjalin hubungan indah dengan seluruh insan olahraga, terutama atlet dan pelatih. Wismoyo sendiri berhasil menggugah hati pengusaha besar sebagai penyandang utama dana pembinaan multievent oleh KONI Pusat.
Bahkan Wismoyo berhasil meyakinkan perusahaan asing dan nasional untuk menjadi sponsor utama. Persiapan dan keberangkatan tim Olimpiade Indonesia tahun 1996 ke Atlanta misalnya, mendapat dukungan penuh dari Citibank.
Pada Olimpiade 2000 di Sydney, KONI Pusat mendapat sponsor dari Samsung, Telkomsel, Xtra Joss. Bahkan saat itu sudah diberikan hadiah sebesar Rp 1 miliar kepada pemenang medali emas Olimpiade 2000 yaitu pasangan ganda bulutangkis Chandra Wijaya dan Tony Gunawan yang dipersembahkan oleh Xtra Joss.
Mulai tahun 2001 Bank Mandiri menjadi sponsor utama KONI Pusat. Untuk Asian Games 2002 di Busan Korea Selatan, dukungan APBN hanya sekitat Rp 20 miliar. Empat tahun kemudian, tahun 2006 Asian Games di Doha, dukungan APBN era pemerintahan SBY di bawah kepemimpinan Agum Gumelar hingga mencapai nilai Rp 100 miliar. Tapi di Busan tahun 2002 Indonesia memperoleh 4 medali emas, sementara di Doha hanya 2 keping medali emas yang berhasil diraih.
Sejak itu prestasi olahraga Indonesia di multievent menurun terus, hingga mencapai titik nadir yaitu saat Olimpiade 2012 di London di mana Indonesia harus pulang tapa medali emas. Tradisi emas Indonesia tercoreng, meskipun cabang andalan Indonesia bulu tangkis masih dipertandingkan di Olimpiade. Pengurus Pusat KONI Pusat dipimpin Rita Subowo.
Lalu di manakah sebenarnya letak masalah utama melorotnya prestasi olahraga di Indonesia?
Pertama, Indonesia tidak memiliki "Defining Victory" yang jelas. Sementara negara lain seperti Tiongkok, Malaysia, Australia, Inggris, sangat jelas yaitu Olimpiade.
Untuk mejadi juara umum Olimpiade 2008, mulai tahun 1998 Tiongkok mulai pembinaan dari beberapa cabang yang cocok dengan struktur fisik orang Tiongkok, yaitu fleksible, cepat, refleks. Hanya 5-7 cabang olahraga yang menjadi prioritas utama Tiongkok. Antara lain bulu tangkis, senam, renang dan loncat indah, atletik, angkat besi di kelas bawah. Pembinaan secara massal dilakukan Tiongkok di ribuan sekolah dasar dan seluruh provinsi Tiongkok untuk memperoleh calon atlet terbaik.
Kelemahan Indonesia kedua adalah SDM di manajemen olahraga, baik tingkat cabang olahraga maupun KONI dan KOI Pusat. Termasuk juga Kantor Menpora.
Terlambatnya uang saku, ego pengurus antara KONI dan KOI yang membuat pergantian manajer yang tidak semestinya di cabang berkuda, kesalahan memberikan kartu tanda masuk untuk Menpora sehingga kesulitan mengikuti upacara pembukaan Asian Games 2014, peralatan olahraga yang tidak bisa diterima atlet pada waktunya, kesulitan dana dalam melakukan uji coba, kurangnya dana sponsor baik BUMN maupun swasta. Kesemuanya itu adalah persoalan manajemen.
Seperti tercemin pada data dukungan APBN di atas, bahwa sebenarnya dukungan dana pemerintah saat ini sudah luar biasa peningkatannya. Tapi tanpa kemampuan dan disiplin manajemen yang tinggi maka prestasi olahraga Indonesia tidak akan meningkat tajam. Cukup prihatin kita apabila Ketua KOI masih mengeluh tentang kekurangan dukungan dana dari APBN. Kemampuan KONI dan KOI sendiri dalam menggalang dana dari BUMN dan swasta yang tidak di,iliko.
Seperti yang diuraikan oleh Daniel Coyle dalam bukunya "The Talent Code" dengan persaingan yang ketat sekarang ini, maka untuk meraih prestasi terbaik dunia, dibutuhkan latihan serius (deep practice) tidak kurang dari 10 ribu jam dengan fasilitas latihan modern dan pelatih tingkat tinggi juga. bukan hanya untuk olahraga seperti Tiger Woods, Michael Phelps, Maria Sharapova. Bahkan Steve Jobs, Bill Gates, The Beatles bisa sukses dan terkenal karena menekuni bidangnya hingga 10 ribu jam.
Pertanyaannya adalah untuk Asian Games 2018 yang hanya 4 tahun ke depan, apakah mungkin Indonesia bisa meraih medali emas lebih dari tahun 1998 di cabang olahraga Olimpade? Ada upaya KONI dan KOI agar cabang pencak silat dipertandingkan, sehingga kemungkinan meraih emas lebih besar.
Tapi karena pencak silat bukan cabang utama yang dipertandingkan di Olimpiade, maka pola manajemen seperti itu adalah manajemen olahraga "akal-akalan". Cara semacam itu jauh dari ciri-ciri seorang patriot di olahraga. Melainkan mengukuhkan karakter bangsa Indonesia yang suka akan jalan pintas.
Karena itu olahraga Indonesia saat ini lebih membutuhkan pengurus yang memiliki semangat sebagai patriot manajemen olahraga. Termasuk untuk kedudukan Menpora di Kabinet Jokowi mendatang. Tanpa itu, prestasi olahraga Indonesia hanya ada dalam mimpi.
[***]Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: