Sastrawan terbesar Inggris William Shakespeare pernah mengungkapkan bahwa "The World is a stage and all the men and women merely players". Dan pernyataan Shakespeare ini mengilhami sosiolog Erving Goofman untuk mendalami teori dramaturgi dalam interaksi sosial. Pemikirin Goffman dituangkan dalam bukunya yang berjudul "The Presentation of Self In Everyday Life".
Dalam teori dramaturgi, interaksi sosial itu layaknya pertunjukan teater di mana manusia adalah aktor utamanya, baik sebagai pemeran utama maupun penonton saja. Dalam pertunjukan teater tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton.
Peran dalam perilaku ada yang saat berada di atas panggung dan ada juga perlikau saat berada di belakang panggung. Bila orang tersebut berhasil dengan baik memainkan masing-masing perannya di atas panggung, maka diharapkan penonton akan melihat hasil yang sesuai sudut pandang yang ingin diperlihatkan oleh pemeran utama tersebut. Kesemua perilaku yang berbeda tersebut disebut Goofman sebagai "impression management".
Prinsip dramaturgi tersebutlah yang kembali dipertontonkan oleh SBY dan Partai Demokrat dalam proses pembahasan RUU Pilkada baru lalu. Konsep pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebenarnya merupakan inisiatif pemerintahan SBY sendiri. Namun begitu melihat besarnya gelombang penolakan oleh masyarakat, beberapa partai politik dan bahkan asosiasi-asosiasi dari kepala daerah mulai dari Gubernur, Walikota dan Bupati. Maka pemerintahan SBY mulai goyah untuk mempertahankan usulan tersebut.
Sementara di DPR, sebagai kelanjutan dari proses pemilihan Presiden sudah terbentuk dua kubu yang saling bertentangan yaitu Koalisi Merah Putih, yang setuju pilkada dilakukan oleh DPRD. Dan koalisi Jokowi-JK yang tetap ingin mempertahankan pilkada secara langsung.
Dalam situasi tersebut, melalui media sosial SBY mengungkapkan pandangannya yang condong pada pemilihan langsung oleh rakyat. Rakyat menyambut gembira sikap keberpihakan SBY terhadap demokrasi langsung pilihan rakyat. Namun kemudian 3 hari sebelum rapat paripurna DPR berlangsung, persetujuan pilkada langsung oleh PD harus merangkum 10 syarat yang diajukan.
Dalam keadaan waktu yang sangat terdesak, tersebut, tidak ada lagi ada kesempatan untuk membahas 10 syarat dari SBY. Sehingga voting dilakukan untuk menentukan pemilih terbanyak dari anggota DPR.
Sikap ngotot memasukkan 10 persyaratan tersebut ternyata membuat anggota DPR dari PD terbelah. Ada yang tetap duduk dan ikut memilih langsung, namun sebagian besar memilih
walk out dari proses penghitungan suara. Akibatnya drama proses penetapan RUU Pilkada dimenangkan oleh Koalisi Merah Putih.
Sikap sebagian besar anggota DPR dari PD yang memilih walk out telah membuat masyarakat marah besar. Segala macam caci maki dilontarkan kepada SBY. Mulai dari kematian demokrasi, shame of SBY, SBY si Pendeta Durna, penghianat reformasi dan lain-lain.
Melihat perkembangan tersebut, SBY kembali mencoba memainkan proses dramaturgi. SBY meminta anggota Dewan Kehormatan PD, Amir Syamsudin melakukan pengusutan terhadap pelaku utama walk out di saat voting berlangsung. Karena menurut SBY, dia tidak pernah memberikan instruksi
walk out. SBY mengekspresikan kemarahannya atas sikap anggota DPR dari PD yang telah meninggalkan gelanggang pertarungan di saatnterakhir.
Namun Max Sopacua yang juga Wakil Ketua Umum PD menyatakan bahwa sebelum
walk out dia telah menerima langsung SMS dari SBY yang menyetujui langkah
walk out. Di pihak lain, Mendagri Gamawan Fauzi yang mewakili pemerintah, malah tidak mendapat arahan tegas dari SBY apakah menarik kembali RUU Pilkada dari pembahasan di DPR atau tetap melanjutkannya.
Apa yang dilakukan SBY dan PD juga pernah dikupas oleh David Runciman dalam bukunya berjudul "Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond". David menyatakan bahwa kita harus menerima kenyataan sikap politisi yang seringkali bersikap hipokrit. Bahkan dalam kondisi tertentu sikap hipokrit itu sangat dibutuhkan dalam dunia politik agar mekanisme politik berjalan dan tidak menemukan jalan buntu.
Sikap hipokrit politisi sebenarnnya bukan saja terjadi pada saat RUU Pilkada. Terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi. Presiden PKS dan Ketua Umum PPP misalnya, di mana agama dijadikan simbol utama partai, ternyata malah menjadi pelaku utama korupsi. Tokoh dan petinggi PD yg dengan gencar mengumandangkan kampanye "Tidak Pada Korupsi" malah secara sistematis menggerogoti anggaran pemerintah yang semestinya ditujukan untuk kepentingan rakyat. Penerbitan kitab suci Al-Quran juga tidak lepas dari tindakan korupsi oleh tokoh Partai Golkar. Demikian juga yang dilakukan oleh 3 Gubernur Riau.
Seperti dikatakan oleh Runciman, politisi sering menggunakan topeng yang berbeda saat tampil di panggung politik. Pemakaian topeng tergantung tujuan politik yang akan dicapai.
Karena itu seluruh kemunafikan politik dalam proses dramaturgi dan hipokrit dengan berbagai topeng memang tidak dapat dihindari. Pertanyaannya adalah ke mana rakyat bisa berharap untuk bisa membawa demokrasi di Indonesia bisa hidup kembali dan kesejahteraan rakyat meningkat?
Jawaban sederhananya adalah teknologi. selama hampir 25 tahun terakhir teknologi informasi telah melakukan transformasi besar-besaran di seluruh dunia. Bukan karena sistem politiknya. Sistem politik di Tiongkok dan Amerika Serikat tidak pernah berubah. Tapi karena cepatnya kemajuan teknologi informasi, baik Tiongkok maupun Amerika Serikat telah merubah manajemen pemerintahannya. Bahkan Tiongkok berhasil melakukan transfromasi ekonomi karena dukungan dan penguasaan teknologi.
Proses dramaturgis dan politik hipokrit SBY dan PD juga banyak mendapat sambutan negatif di teknologi media sosial. Misalnya trending topic di twitter #shameonyousby memang sudah dihapus. Tetapi muncul trending topic lain yang tidak kalah menarik yaitu #ShamedByYou dan #ShamedByYouAgainSBY. Dialog dalam trending topic tersebut pada intinya ungkapan kritik dan koreksi atas proses dramaturgi dan sikap hipokrit PD dan SBY
Melalui teknologi media televisi dan
youtube pulalah setiap orang dan kapan saja bisa melihat komitmen dan janji Prabowo dan Hatta Rajasa pada tanggal 9 Juni 2014. Dengan tegas mereka menyatakan akan tetap mempertahankan pemilihan kepada daerah secara langsung. Sungguh disayangkan kalau sekarang mereka mengingkari komtmen dan janji mereka sendiri.
Di era keterbukaan sekarang ini rakyat tidak akan pernah menerima kepemimpinan yang sering ingkar janji. Dan teknologi media sosial telah membantu menyalurkan aspirasi rakyat untuk menghakimi pemimpin yang hipokrit.
Penulis adalah Sosiolog, dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: