Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ingkar Janji Sistematis, Terstruktur dan Masif

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Selasa, 16 September 2014, 13:45 WIB
Ingkar Janji Sistematis, Terstruktur dan Masif
Prabowo: Bapak Jokowi kalau dihitung pemilihan 500 kepala daerah Bupati/Walikota secara langsung akan menghabiskan biaya Rp 13 triliun. Kalau melalui DPRD akan menghemat Rp 13 triliun.  Bagaimana sikap Bapak terhadap itu?

Joko Widodo: Sebagai bentuk kedaulatan rakyat pemilihan Kepala Daerah Bupati/Walikota secara langsung tetap dilaksanakan  seperti sekarang. Tetapi caranya atau teknisnya kita perbaiki. Misalnya dilaksanakan serentak untuk mengurangi biaya

Jusuf Kalla: Pemilihan Kepala Daerah demokratis dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Yang diperlukan adalah menjamin bahwa proses pilkada itu berlangsung efisien. Sekarang pemilu provinsi berbeda-beda nanti disatukan. Sehingga bisa lebih efisien. Apabila dikembalikan lagi ke DPRD bisa-bisa permainan lebih hebat lagi dari pada di masyarakat. Kita menjamin demokrasinya dan menjamin kualitas kepada yang dipilih.

Hatta Rajasa: Kita harus melaksanakan pemilu yang lebih sehat, terukur dan tidak boros biaya. Walaupun UUD 1945 tidak mewajibkan Bupati/Walikota/Gubernur dipilih langsung, namun kalau saat ini melalui DPRD masih memerlukan transisi waktu. Esensinya adalah pemilihan langsung itulah yang dikehendaki masyarakat saat ini. Namun harus  tidak membebani biaya yang tinggi. Misalkan saat ini sedang digagas secara serentak. Serentak ini akan menghemat biaya. Ini bisa segera dilaksanakan dengan baik.

Jusuf Kalla: Terima kasih kepada Hatta bahwa Bapak setuju dengan kami.


DIALOG di atas bukanlah dialog imajiner. Melainkan penggalan dialog yang benar-benar terjadi pada saat debat calon Presiden/Wakil Presiden pertama tanggal 9 Juni 2014 pada sesi tanya jawab antara kandidat.

Dialog tersebut disiarkan langsung oleh hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia, dikupas di media cetak dan online, serta ditonton oleh ratusan juta rakyat Indonesia baik langsung maupun tidak langsung.

Dialog tersebut adalah janji calon pemimpin masa depan Indonesia yang diwakili oleh Prabowo/Hatta dan Joko Widodo/Jusuf Kalla. Kedua pasangan tersebut berjanji untuk tetap melaksanakan pemilihan langsung Kepala Daerah oleh rakyat.  Dan janji ini memberikan kegembiraan di masyarakat karena demokrasi tetap dipegang teguh siapapun yang akan memimpin Indonesia kelak.

Namun baru beberapa bulan saja dialog debat calon Presiden/Wakil Presiden tersebut berlalu, pada pembahasan RUU Pilkada di DPR saat ini, janji tersebut ingin dingkari oleh Koalisi Merah Putih yang menjadi pendukung Prabowo/Hatta.  Mereka cenderung agar Kepala Daerah dipilih oleh DPRD setempat.

Seribu satu alasan dan argumentasi disampaikan sebagai justifikasi atas pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD. Tetapi rakyat menilai yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih adalah sebuah ingkar janji. Dan sebuah ingkar janji terutama kepada rakyat berkaitan dengan moral, bukan ketErampilan.

Seperti yang terjadi pada orang-orang dekat Presiden SBY, seperti Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, Soetan Batogana, Anas Urbaningrum, Nazaruddin dan Jero Wacik. Mereka telah menandaatangani pakta integritas, di mana korupsi adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh kader Demokrat. Pada kenyataannya ada di antara mereka yang sudah terbukti ingkar janji atas pakta integritas yang pernah ditandatangani.

Sejak era reformasi, pemilihan langsung selain sebagai bentuk sebuah esensi berdemokrasi, juga perwujudan dari kedaulatan rakyat dalam bernegara. Melalui pemilihan langsung rakyat mendapat kesempatan emas selain memilih pemimpinnya sendiri juga melakukan koreksi politik terhadap partai.

Seperti dikatakan oleh Fachry Ali, bahwa terbongkarnya beberapa kasus korupsi tingkat elite politik dan pemerintah oleh KPK, sangat membantu masyarakat dalam meningkatkan kemampuan evaluasi politik sekarang ini. Evaluasi politik oleh rakyat disalurkan pada saat pemilihan umum dilangsungkan. Dan telah terbukti evaluasi politik oleh rakyat menghasilkan perubahan dengan munculnya beberapa sosok pemimpin yang sederhana tetapi dengan sifat kepemimpinan yang mengabdi sepenuh hati untuk rakyatnya.

Melalui mekanisme pemilihan langsung muncullah pemimpin politik pilihan rakyat seperti Joko Widodo, Ridwan Kamil, Ahok, Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, Bima Arya, dan akhir-akhir ini atas prestasinya yang sangat  baik adalah Abdullah Azwar Anas, Bupati dari Banyuwangi.

Dalam sistem politik di Indonesia anggota DPR/DPRD yang terpilih adalah wakil rakyat dan bukan pemimpin rakyat.  Sebagai wakil rakyat, mereka tidak bisa mengambil dan mencabut suara rakyatnya sendiri begitu saja meskipun dilakukan secara formal politik di tingkat DPR/DPRD.

Itu sama saja membangun mekanisme ingkar janji secara sistematis, terstruktur dan masif oleh politisi, melalui lembaga  politik resmi. Mekanisme ingkar janji sistematis, terstruktur dan masif oleh politisi di DPR/DPRD bisa menular ke pemimpin politik di lembaga eksekutif seperti Kepala Daerah.

Karena itu mekanisme ingkar janji akan sangat berbahaya dalam membangun sebuah negara dalam upayanya meningkatkan kemakmuran rakyat  sebesar-besarnya.  Rakyat bisa saja mengambil alih kembali perwakilan suaranya dari mereka. Dan apabila ini yang terjadi maka kehidupan berpolitik Indonesia malah jauh lebih buruk di banding saat orde lama dan orde baru.

Dinamika politik memang bisa membuat sebuah negara lebih maju atau lebih buruk. David Runicman dalam bukunya Politics memberikan contoh perbedaan negara Denmark dan Syria. Denmark penuh kedamaian, sementara Syria berkecamuk perang saudara yang entah kapan akan berakhir. Perbedaan besar di kedua negara itu adalah dalam manajemen politik di negerinya masing-masing.

Mudah-mudahan ingkar janji dalam politik ini hanya merupakan dinamika berpolitik bangsa dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia yang lebih baik. Karena saya percaya Koalisi Merah Putih juga tidak ingin Indonesia seperti negara Syria. Sebaliknya mereka juga ingin Indonesia seperti Denmark.

Untuk mencapai kondisi seperti Denmark itu, penuhilah janjimu pada rakyat dan lakukanlah secara sistematis, terstruktruktur dan masif. Bukan sebaliknya. Apalagi Koalisi Merah Putih sebenarnya juga aset bangsa Indonesia yang memiliki pemikiran dan pemimpin daerah yang bisa membuat Indonesia lebih maju.

Dengan satu syarat, jangan pernah ingkari janjimu kepada rakyat!
 
Fritz E. Simandjuntak, Sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA