Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lagi, Blusukan Politik Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 03 September 2014, 10:36 WIB
Lagi, Blusukan Politik Jokowi
joko widodo/net
BANYAK anggota masyarakat yakin bahwa sebagai Presiden RI ke 7 Jokowi lahir dari rahim rakyat.  Jokowi berasal dari keluarga sederhana, berkarier sebagai pengusaha mebel yang kemudian terpilih menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.  Karier politik Jokowi tidak tumbuh di partai, dengan PDIP jodoh karena saling membutuhkan.

Dibandingkan lawan politik utamanya Prabowo Subianto, yang namanya sudah menghiasi media nasional dan internasional sejak tahun 1990 an, putera seorang begawan ekonomi Indonesia, keluarga kaya, dan memiliki pengalaman internasional.  Maka Prabowo menang segalanya.

Dalam struktur politik Indonesia yang dikuasai oleh elite partai dan saingan sangat berat dari Prabowo, tidak heran Jokowi diserang layaknya janin haram calon Presiden.  Mulai dari tuduhan sebagai keturunan Cina, beragama Kristen hingga didukung partai yang berbau "PKI".  Tujuannya agar seorang Jokowi tidak boleh lahir sebagai Presiden dari rakyat.  Segala macam cara dilakukan lawan politik agar terjadi aborsi dalam pemilihan presiden 2014 dan Jokowi kalah.

Tetapi di era demokrasi terbuka ini, rakyat sangat kuat dan tahan membawa kandungan janin calon Presidennya.  Rakyat  ingin melahirkan Presiden RI ke 7 dari rahimnya sendiri.  Bukan dari rahim elite partai politik maupun rahim kelompok elite di stratifikasi sosial ekonomi Indonesia.

Keinginan kuat rakyatpun terjadi.  Kelahiran Jokowi dari rahim rakyat sebagai Presiden RI ke 7 akhirnya dikukuhkan oleh MK pada tanggal 21 Agustus 2014.

Jokowipun sejak awal menyadari bahwa hanya karena keinginan kuat rakyatlah dia bisa menjadi Presiden.  Karena itu saat kampanye pemilihan presiden lalu, Jokowi menawarkan konsep "Revolusi Mental" sebagai jawaban terbaik dalam mengatasi kegalauan dan ketidakbahagiaan masyarakat Indonesia saat ini.  Padahal ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia.

Tetapi buat Jokowi konsep Revolusi Mental bisa dijadikan tindakan korektif terhadap praktik-praktik buruk yang masih terjadi saat ini, seperti korupsi, intoleransi antar agama dan suku, kekerasan, dan yang lebih penting lagi masih tingginya tingkat kemiskinan.

Ini berarti bahwa fokus pemerintahan Jokowi akan dimulai dari sumber daya manusia Indonesia. Karena ternyata perbaikan institusional dalam berbagai bidang sejak era reformasi 1998 masih belum cukup.

Menurut Jokowi, konsep Trisakti Bung Karno dapat dijadikan titik awal semangat kita melakukan revolusi mental. Yaitu Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial-budaya.  Jokowi yakin bahwa konsep Trisakti ini masih relevan dalam konteks persoalan bangsa saat ini.  Kemudian di ujung masa kampanye, pasangan Jokowi-JK menawarkan 9 komitmen perjuangan rakyat yang disebut dengan "Nawa Cita".

Jokowi dikenal sebagai seorang nasionalis, informal dalam komunikasi, bersahabat, dan suka berdialog dengan rakyat banyak melalui cara blusukan. Namun salah satu kelemahan Jokowi adalah berpolitik dan memahamai dinamika partai.  Karena Jokowi tidak pernah menjadi pengurus teras partai.  Sehingga tidak heran apabila akhir-akhir ini banyak langkah politik Jokowi yang terlihat cukup membingungkan.

Pertama, permintaan Jokowi kepada  Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM.  RAPBN 2015 adalah sikap politik SBY yang berkaitan dengan anggaran dan nantinya akan disetujui atau tidak oleh DPR.  Karena itu sikap politik soal BBM bukan diajukan oleh Jokowi, melainkan oleh PDIP dan partai pendukung Jokowi-JK.

Kalau kita melihat ke belakang,  sikap politik PDIP terhadap Presiden SBY dalam soal BBM adalah menolak kenaikan harga BBM yang dianggap akan membuat kehidupan rakyat kecil lebih berat.  Padahal SBY sudah menawarkan beberapa program subsidi untuk rakyat kecil seperti Bantuan Langsung Tunai.

Kedua, soal proses dan personil Tim Transisi.  Harus diakui bahwa tim transisi merupakan sebuah terobosan dalam kehidupan politik Indonesia.  Model tim transisi ini meniru apa yang sudah terjadi di Amerika Serikat apabila terjadi pergantian kepemimpinan nasional.

Namun ada perbedaan cukup penting, di mana tim transisi di AS sudah dikukuhkan dalam sebuah  Undang-Undang.  Sehhingga begitu resmi diumumkan, maka tim transisi bisa memperoleh alokasi anggaran.  Anggaran yang diperoleh tim transisi Obama 2008 adalah sekitar USD 5.2 juta.

Tim transisi Obama 2008 juga dipimpin oleh orang yang berpengalaman dalam pemerintahan yaitu John Podesta mantan Kepala Gedung Putih era Presiden Bill Clinton. John Podesta berperan banyak dalam menentukan arah kebijakan Obama termasuk anggota tim administrasinya.

Sejak awal John Podesta sudah mememberikan tugas tertentu kepada anggota timnya,  Seperti ada yang khusus bekerja sama dengan departemen keuangan, pertahanan, transportasi atau luar negeri,  Sehingga saat Obama dilantik bulan Januari 2009, dia langsung bisa menjalankan programnya dengan dukungan tim yang profesional.

Tim transisi Obama 2008  merekruit sekitar 450 orang profesional dan membutuhkan dana USD 12 juta.  Karena dana dari pemerintah federal tidak cukup, maka tim transisi boleh mencari dana dari publik asalkan tidak lebih dari USD 5 ribu per orang.  Sedangkan dana dari partai politik tidak diperkenankan.

Sedangkan tim transisi Jokowi 2014 terlihat terburu buru dibentuknya.  Terlihat sekali belum melalui proses konsultasi dengan Wakil Presiden terpilih JK maupun partai koalisi. Karena selain perwakilan JK juga tidak ada, juru bicara JK pernah menyatakan agar tim transisi dibentuk setelah keputusan MK dikeluarkan.    Seingga sempat terlihat dalam silang pendapat antara tokoh partai pendukung Jokowi maupun ada yang merasa sudah mulai ditinggalkan oleh Jokowi.

Yang paling memprihatinkan adalah tidak jelasnya sistem  satu komando dari tim transisi dan wewenang bicara ke publik dan siapa yang ditunjuk secara resmi menjadi juru bicara.  Akibatnya setiap anggota tim transisi bisa melontarkan pernyataan ke publik.

Persoalan struktur dan jumlah kabinet mestinya sudah dilontarkan langsung ke publik sebelum JK dilibatkan pemikirannya.  Akibatnya JK sempat  menyatakan ketidaksetujuannya untuk perampingan kabinet karena memang dia sudah berpengalaman permasalahan yang akan dihadapi.  JK pun baru bersedia datang ke rumah tim transisi tanggal 28 Agustus 2014 lalu.

Tim Transispun sempat diprotes oleh sebagian relawan karena sesuai janji Jokowi, mereka akan dilibatkan.  Protes muncul karena keterlibatan relawan dalam  tim tansisi masih tidak jelas peran dan kontribusinya.  Permintaan anggota tim transisi berdialog dengan Menko Perekonomian Chairul Tanjung juga ditolak secara halus. Chairul Tanjung meminta adanya surat mandat dari Presiden terpilih Jokowi.

Beruntung suasana dan pemahaman masyarakat tentang tim transisi sudah lebih baik. Meskipun pembagian tugas dari anggota tim transisi masih belum transparan. Ke depannya perlu dipikirkan adanya Undang Undang mengenai tim transisi presiden terpilih.  Sehingga kedudukan, fungsi, peran dan anggarannya bisa dialokasikan oleh pemerintah.  Ini juga menghindari proses peralihan "sakit hati" seperti kasus Megawati dan SBY.

Dengan adanya Undang Undang pembentukan tim transisi, maka Presiden sebelumnya diwajibkan memfasilitasi proses peralihan pemerintahan.

Mantan Gubernur New York, Mario Cuomo, pernah berkata “You can campaign in poetry, but you must govern in prose”.  Pesan ini ingin mengingatkan setiap pemimpin yang terpilih tidak lagi selalu berkata-kata indah dalam menata pemerintahannya, tetapi harus siap mengeluarkan kebijakan yang membuat pahit  sebagian anggota masyarakat demi kepentingan yang lebih luas.

Dalam hal ini persoalan kenaikan BBM adalah contoh kongkrit yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi-JK setelah dilantik 21 Oktober 2014 mendatang.  Kalau memang manajemen blusukan ingin terus dilakukan oleh Jokowi, maka di masa mendatang Jokowi bukan hanya melakukan blusukan ke rakyat kecil tetapi juga blusukan politik ke seluruh anggota DPR serta seluruh elite partai politik.  Karena mereka afalah mitra kerja utama Jokowi-JK agar kebijakan yang akan dikeluarkan mendapat dukungan dari DPR.  Blusukan politik semacam ini sangat diperlukan agar tercipta kondisi politik yang kondusif selama 5 tahun ke depan.

Menurut Michael Eric Siegel dalam bukunya “The Presiden as Leader”,  ada empat komponen penting melihat keberhasilan seorang presiden.  Pertama, arah visi misi pemerintahannya. Kedua, strategi politik kebijakan dalam upaya mewujudkan visi misi tersebut. Ketiga, struktur dan menajamen kabinet yang akan menjalankan kebijakannya. Keempat, proses pengambilan keputusan baik di internal kabinet maupun saat berinteraksi dengan DPR termasuk anggota DPR yang akan menentang kebijakan-kebijakan presiden terpilih.

Michael Siegel memberikan contoh pendekatan berbeda dari beberapa Presiden Amerika Serikat.  Ronald Reagan dalam proses pengambil keputusan sangat efektif dalam membangun opini publik dengan cara dramatisasi persoalan yang dihadapi pemerintahannya.  Reagan memberikan pertimbangan ideologis tetapi menghindari implementasi detil dari kebijakannya.

Sedangkan Bill Cinton condong melakukan pendekatan analisis intelektual yang berakibat pada diskusi panjang dalam proses pengambilan keputusan, baik di internal kantor administrasi Gedung Putih maupun saat berinterkasi dengan parlemen.  Namun demikian gaya pidato Bill Cinton yang sangat impresif, membuat proses pengambilan keputusan lebih lancar.

Model kepemimpinan Reagan maupun Clinton dianggap berhasil merangkul dan meyakini lawan politiknya sehingga kebijakan pemerintah mendapat dukungan penuh politisi.  Bahkan salah satu keberhasilan Bill Clinton adalah perbaikan kondisi ekonomi di Amerika Serikat.

Dalam pertemuan antara koalisi Merah Putih dengan SBY tanggal 2 September 2014, beberapa pemikiran dilontarkan oleh koalisi Merah Putih.  Antara lain menerima hasil pemilihan presiden dan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi jalannya roda pemerintahan 5 tahun ke depan.  Pemikiran koalisi Merah Putih tersebut merupakan langkah besar dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Meskipun pemahaman penyeimbang masih memerlukan pengkajian lebih jauh, namun sikap positif koalisi Merah Putih ini patut diapresiasi oleh Jokowi-JK. Sudah saatnya blusukan politik dengan koalisi Merah Putih dilakukan oleh Jokowi-JK dengan mengedepankan keterbukaan untuk berdialog.

Selain tercipta hubungan lebih harmonis juga bisa saja Jokowi-JK memanfaatkan ide ide cemerlang koalisi Merah Putih menjadi kebijakannya juga.  Semuanya demi kepentingan rakyat Indonesia demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Seluruh rakyat mendambakan pemimpin untuk Indonesia bukan untuk partai politiknya saja. [***]

Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA