Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Silakan Cabut Subsidi BBM Lima Tahun Lagi!

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Selasa, 02 September 2014, 09:44 WIB
<i>Silakan Cabut Subsidi BBM Lima Tahun Lagi!</i>
ilustrasi/net
SOAL energi adalah yang vital bagi tumbuh kembang suatu bangsa di dunia terutama sejak abad 19 dan 20. Bensin yang dibakar oleh kendaraan bermotor, apakah itu hanya sepeda motor maupun mobil mewah, tidaklah sia-sia (di sini saya tidak sepakat dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa "buat apa subsidi dibakar").

Tidak mungkin dinafikan, bahwa adalah penemuan mesin uap, pembakaran bahan tambang, adalah yang mendorong maju bangkitnya industrialisasi kapitalisme, merevolusi industri peradaban manusia modern. Jarak yang dahulu ditempuh dalam berbulan-bulan, setelah menggunakan kendaraan bermotor yang "membakar" bensin, kini dapat dicapai hanya dengan hitungan hari atau bahkan jam! Kemudian pabrik-pabrik di seluruh dunia pun dipacu oleh bahan baker yang sama: fosil.

Artinya, tanpa energi fosil, apakah itu batubara ataupun minyak bumi/BBM, kebanyakan industri di dunia akan terhenti, dan gerak ekonomi akan melambat. Sungguh aneh pendapat yang menyatakan bahwa pencabutan subsidi BBM tidak akan mengganggu perekonomian karena tidak produktif, karena realitasnya-menurut saya- adalah yang sebaliknya.

Sebagai contoh adalah pada kasus sepeda motor (yang sering kita remehkan). Sepeda motor yang banyak itu (yang menurut BPS jumlah sepeda motor pada tahun 2004 sebesar 23,06 juta unit, pada tahun 2012 membengkak menjadi 76,38 juta unit- bandingkan peningkatan konsumsi BBM pada periode yang sama) merupakan juga penggerak ekonomi. Tidak ada satu unit sepeda motor pun yang tidak diabdikan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi keluarga dan penunjangnya (semisal sekolah atau beribadah). Sebuah unit sepeda motor, semisal dalam keluarga yang sang ayah baru saja di-PHK (atau sudah sejak Krisis Moneter 97 di-PHK), dapat saja menjadi alat produksi ojek (hanya sayang tidak terdapat berapa juta unitkah jumlah yang pasti dari kalangan ojek ini secara nasional) yang mendatangkan berkah ekonomi bagi keluarga mereka.

Tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan rakyat yang menggunakan sepeda motor sebagai pendukung unit produksi usaha mereka (contoh: pengantar paket). Harus pula disadari, bahwa kaum buruh di Indonesia yang jumlahnya 100 juta jiwa saat ini, mungkin sebagian besarnya menggunakan sepeda motor sebagai penunjang aktivitas produksi mereka.


Jadi, jika kemudian subsidi terhadap BBM kendaraan bermotor dipotong atau bahkan dicabut seluruhnya, maka jelas akan terjadi kerusakan dalam perekonomian rakyat banyak, para pengguna sepeda motor, dari tukang ojek (yang merupakan para korban PHK), tukan antar, hingga buruh manufaktur jelas akan menderita. Apakah dengan begini kita telah melaksanakan amanat UUD 1945 yang menyatakan "kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?"

Kecuali memang kita sudah memiliki sistem transportasi massal yang memang handal (berkualitas dan cukup jumlahnya) dan menasional, maka para pengendara sepeda motor dan mobil pun akan dengan senang hati meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah. Para buruh sudah mendapatkan angkutan mereka ke pabrik, para eksekutif sudah mendapat feeder busway mereka sampai ke depan kompleks-komples perumahan, para pelajar sudah mendapatkan bus sekolah-bus sekolah mereka yang menunggu di setiap halte, dan sebagainya adalah konsekuensi logis dari kebijakan pengembangan transportasi massal yang handal.

Jika kondisi tersebut tercipta (semisal sebelum 5 tahun), tentu tidak akan banyak yang menolak BBM dicabut subsidinya kelak. Tentu haruslah tepat waktunya, tidak boleh mencabut subsidi BBM di saat rakyat banyak sedang teramat membutuhkannya seperti sekarang.

Bahkan, jika menurut para aktivis lingkungan, (seperti misal di negeri-negeri Skandinavia) mungkin harganya dinaikkan menjadi 2 kali lipat dari harga pasar- dengan menambahkan item-item pajak lingkungan dalam struktur harganya. Karena memang logikanya adalah: jika bahan bakar fosil cenderung polutif, merusak lingkungan, mengapa yang diproduksi kapitalisme industri malah kendaraan-kendaraan pribadi? Kenapa bukan alat transportasi massal saja yang diproduksi? Jawabannya adalah soal "profit" konglomerasi perusahaan otomotif dunia, yang tidak boleh diganggu oleh apapun itu- termasuk upaya menyelamatkan lingkungan hidup.

Dalam kasus Indonesia, semakin banyak kendaraan bermotor, semakin banyak konsumsi BBM, maka akan semakin mendatangkan "profit" bagi mafia minyak (terminologi yang dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo belum lama ini). Mereka adalah orang yang mendapatkan untung dengan semakin banyaknya impor BBM yang dilakukan oleh Pertamina. Banyak ekonom yang menyebut bahwa setidaknya keuntungan yang didapat oleh para mafia ini setiap harinya adalah 2 dollar AS per barrel BBM yang diimpor (atau dapat mencapai Rp 10 triliun per tahun).

Keuntungan yang tidak wajar di atas penderitaan rakyat dan tanah (lingkungan hidup) Indonesia inilah yang seharusnya membuat jengah kita.

Berikutnya adalah soal pembangunan kilang, hal yang juga menjadi concern dari para mafia minyak. Seorang yang logis, meskipun bukan orang lulusan teknik, paham bahwa BBM dihasilkan kilang setelah menyuling minyak bumi. Karena itu jika kita ingin mendapatkan cukup BBM maka minyak mentah kita harus diolah sendiri (atau jika kekurangan minyak mentah dapat kita beli dari Negara yang menjualnya dengan harga baik -seperti Venezuela- kemudian mengolahnya di Indonesia).

Namun apa daya, mafia yang disebut oleh Pak Jokowi ini telah sukses menghalang-halangi pembangunan kilang selama pemerintahan SBY (tentu hal minor ini tak perlu dilanjutkan). Jika memang Pak Jokowi serius memberantas mafia minyak, mengurangi impor BBM (dan inefisiensi menggunakan kilang di Singapura), haruslah dipilih seorang yang berani menghadapi kekuatan mafia minyak yang sangat besar tersebut (karena ditengarai jaringan yang sudah disuap oleh mafia ini beredar dari kalangan pucuk kekuasaan hingga pers) setidaknya selama setahun pertama berani (bukan hanya janji-janji) membangun 3 kilang minyak denga kapasitas masing-masing 200 ribu barrel di Indonesia.

Namun, pembangunan kilang tanpa meningkatkan produksi sumur minyak mentah hanya satu bentuk inefisiensi yang lain lagi. Selama kita masih ketergantungan terhadap impor minyak mentah (meskipun kelak memiliki cukup kilang BBM), maka defisit dalam transaksi berjalan masih membayangi. Akan sangat ideal bila produksi minyak mentah kita meningkat, terutama di saat cost recovery juga meningkat. Namun jika yang terjadi sebaliknya, penemuan sumur baru malahan semakin berkurang, maka, jika bukanlah korupsi yang menjadi penyebabnya,  maka yang terjadi adalah pastilah masih buruknya iklim investasi (perizinan yang terlampau kompleks).

Hal ini pun dibenarkan oleh Fraser Institute di Kanada, yang menempatkan Indonesia dalam peringkat investasi yang terburuk di Asia buruk. Seperti diketahui, bisnis minyak bumi adalah bisnis dengan resiko sangat tinggi, selain itu juga memerlukan teknologi sangat tinggi (apalagi untuk mayoritas sisa cadangan yang terletak di lautan dalam- ingat kasus StatOil yang harus kehilangan uang investasi sekitar Rp 4 triliun tanpa berhasil mendapatkan minyak di Selat Makassar). Atau jika pemerintah tidak ingin repot meningkatkan produksi sekaligus ingin tampil lebih "berwibawa" di hadapan asing, dapat saja kontrak dengan para oil company asal AS yang menguasai mayoritas minyak mentah Indonesia seperti Chevron, Exxon, dan ConocoPhilips direnegosiasi, dengan memaksa para raksasa minyak dunia ini menjual hasil produksi minyaknya ke kilang-kilang BBM dalam negeri (tentu dengan harga kesepakatan, bukan harga pasar).

Namun sekali lagi, jika pemerintah tidak dapat memberikan alasan yang baik atas aksi ini, maka akan ada konsekuasi: dikucilkan oleh pasar keuangan dunia sehingga akses para kapitalis nasional terhadap kredit internasional menjadi terbatas.    

Yang terakhir adalah soal penyelundupan BBM ke luar negeri. Sangat naïf jika menjadikan alasan maraknya penyelundupan adalah dikarenakan disparitas harga BBM yang terlalu besar antara Indonesia dan Negara lainnya. Saat pemerintah sedang melaksanakan UUD 1945, memaksimalkan kemakmuran rakyat dengan kekayaan alam kita, dengan menerapkan kebijakan subsidi BBM, maka tugas aparat adalah memastikan tidak ada BBM yang diselundupkan melalui perbatasan NKRI.  Tugas aparat adalah mengamankan NKRI, termasuk itu daerah perbatasan.

Maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengadaan perlengkapan pengawasan perbatasan untuk angkatan laut, angkatan udara, dan polisi. Jika ternyata setelahnya masih saja "kecolongan", silahkan diundang saja KPK untuk periksa personil angkatan-angkatan tersebut atau yang lebih tegas lagi: ganti saja pucuk pimpinannya yang dipandang paling bertanggung jawab (semisal Kapolri atau Kasal). Maka dari itu, saran saya, bereskan masalah perminyakan di hulu dan hilirnya, bereskan mafia, rapihkan aparat keamanan, lalu (setelah semua beres dan rapih) silahkan Presiden Jokowi cabut subsidi BBM. Mungkin paling lama untuk melakukan semuanya diperlukan waktu 5 tahun.

Karena itu silahkan cabut subsidi BBM 5 tahun lagi. [***]

Penulis adalah peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA