Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Politik dan Mobilitas Vertikal Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Jumat, 22 Agustus 2014, 18:40 WIB
<i>Politik dan Mobilitas Vertikal Jokowi</i>
jokowi
PERJALANAN pesta demokrasi di Indonesia tahun 2014 mencapai puncaknya tanggal 21 Agustus 2014 setelah Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan pasangan Prabowo-Hatta. Dengan demikian Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2014-2019.  Keputusan DKPP juga membesarkan hati kita karena berpendapat bahwa pelanggaran KPU masuk kategori ringan.  "Happy Ending" pemilihan Presiden juga bisa terwujud karena sikap kesatria Prabowo-Hatta untuk menerima hasil keputusan MK.

Catatan kali ini ingin melihat fenomena seorang Joko Widodo dari aspek sosiologis yaitu mobilitas vertikal melalui dunia politik. Sepuluh tahun yang lalu Jokowi, panggilan populernya, masih sebagai pengusaha mebel di Solo. Kemudian Jokowi mencoba nasib di politik untuk menjadi walikota Solo di tahun 2005 melalui dukungan PDIP. Ternyata Jokowi terpilih.

Sejak itulah dunia pemerintahan dan politik menjadi bagian utama aktivitas dia sehari-hari.  Usaha mebel sepenuhnya diberikan kepada keluarga dan profesional untuk mengurusnya. Ternyata prestasi dan gaya manajemen "blusukan" membuat Jokowi kembali terpilih sebagai Walikota periode kedua tahun 2010-2015.  Dalam konsep manajemen modern gaya blusukan bisa disebut gaya kepemimpinan "Connect first then Lead" seperti diuraikan oleh Amy J.C Cuddy. Di mana kehangatan hubungan dengan masyarakat lebih didahulukan dari pada kekuasaan sebagai pemimpin. Dengan sikap yang hangat itu pulalah Jokowi berhasil menyelesaikan persoalan pemindahan pedagang kaki lima. Tidak kurang dari 54 kali pertemuan dilakukan oleh Jokowi selama 7 bulan dalam suasana informal sambil makan siang.

Sejak periode kedua sebagai Walikota Solo inilah nama Jokowi mulai muncul di tingkat nasional. Jokowi dianggap berhasil mengubah citra kota Surakarta menjadi kota pariwisata, budaya, dan batik dengan motto "The Spirit of Java". Setelah berhasil memindahkan PKL dengan damai, mendamaikan perseteruan di Kraton Surakarta, serta komitmen Jokowi terhadap kaum kecil dan pasar tradisional yang terus dipertahankan.  Meskipun untuk itu Jokowi harus berseberangan dengan atasannya Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang ingin membangun pasar modern mal di lokasi bekas pabrik es Saripetojo.

Bibit sangat kesal dan marah atas penolakan Jokowi dan menyebut Jokowi "bodoh". Uniknya Jokowi menanggapi hinaan Bibit dengan santai, dan malah berkata : "Saya itu memang masih bodoh dan masih harus belajar".  Sementara warga Solo langsung bereaksi keras hingga menolak kehadiran Bibit di kota Surakarta. Sikap rendah hati Jokowi tersebut ternyata mengundang simpati secara nasional di mana suasana hati sebagian rakyat memang tidak lagi menginginkan seorang pemimpin bergaya otoriter seperti yang ditunjukan Bibit Waluyo.

Gaya kepemimpinan dan prestasi Jokowi ternyata menarik perhatian politisi senior dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada tahun 2012, JK mengusulkan ke Megawati agar Jokowi bisa dicalonkan PDIP sebagai kandidat calon Gubernur DKI Jakarta. Menariknya lagi Prabowo Subianto juga turut mendukung dan mengajukan nama Basuki T Purnama (Ahok) sebagai calon Wakil Gubernur.

Melalui perdebatan di dalam internal PDIP yang cukup panjang, akhirnya Megawati menyetujui pasangan Jokowi dan Ahok sebagai kandidat calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Secara mengejutkan pasangan Jokowi-Ahok menjadi pemenang. Dan belum lagi menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, mulai bulan Oktober 2014 mendatang Jokowi akan resmi dilantik sebagai Presiden RI ke 7.

Dunia politik memang sering membuat kejutan. David Runciman dalam bukunya berjudul "Politics" (2014) menyatakan dengan ringkas bahwa "Politics makes the difference" atau politik bisa membuat perbedaan.  Bukan saja pada tingkat individu, seperti kasus Jokowi, melainkan juga negara.

David mengambil contoh perbandingan negara Denmark dan Syria.  Di satu pihak masyarakat yang hidup di negara Denmark seperti tinggal di surga. Suasana aman, damai, sejahtera dan nyaman. Jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, perumahan, sistem transportasi dijamin oleh negara dengan baik.

Kehidupan yang bertolak belakang dengan Denmark terjadi di Syria. Belakangan ini masyarakat di Syria hidup serba penuh ketakutan. Sekitar 80 ribu sampai 200 ribu orang terbunuh karena konflik. Dan jutaan orang harus mengungsi ke luar dari tempat tinggal mereka dan pindah ke negara lain. Perang saudara telah membuat negara Syria kocar kacir dan merosotnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat Syria.

Perbedaan besar antara Denmark dan Syria menurut David karena politik. Melalui politik, para elite di pemerintahan Denmark beserta partai politiknya sepakat dan bekerja keras untuk mewujudkan Denmark sebagai negara sejahtera. Padahal sekitar 500 tahun lampau, seperti Syria, konflik dan perang saudara di Denmark juga membuat rakyat di negara itu sengsara. Sampai akhirnya politik berhasil mentransformasikan Denmark dari negara miskin menjadi sejahtera seperti sekarang.  Karena politik pula Syria menjadi kocar kacir.

Mari kita kembali ke Jokowi.  Melalui politik Jokowi berhasil menjadi Presiden negara berpenduduk 250 juta.  Melalui politik status sosialnya meningkat tajam.  Hal ini juga terjadi pada diri Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, saat ini Jokowi berada di puncak stratifikasi sosial masyarakat Indonesia.  Yang membedakan adalah mobilitas vertikal Jokowi terjadi begitu cepat.  Mulai bulan Oktober 2014 nanti, seluruh dunia akan menatap Jokowi yang akan menjadi simbol Indonesia.

Pertanyaannya akan mampukah Jokowi membawa Indonesia seperti Denmark, yaitu membuat kesejahteraan masyarakat Indonesia lebih baik? Membuat kehidupan masyarakat yang lebih harmonis? Membuat masyarakat yang taat pada hukum? Membuat masyarakat yang menghormati agama lain? Membuat sistem transportasi yang merata di seluruh Indonesia?  Membuat Indonesia bebas korupsi.

Jokowi berhutang banyak kepada politik dan sebagian besar rakyat Indonesia.  Karena melalui politik dan partisipasi masyarakat maka mobilitias vertikal Jokowi melesat tajam. Karena itu rakyat menanti apakah melalui politik pula Jokowi mampu membuat seluruh komponen politisi dan pemerintahan benar-benar sepakat untuk membangun Indonesia lebih baik. Rakyat masih harus menanti apakah Jokowi mampu merangkul lawan politiknya menjadi kawan dalam satu tim kerja yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Kesemuanya itu memberikan satu kesimpulan bahwa politik memang bisa membuat seseorang atau sebuah negara berbeda. Politik membuat Jokowi sekarang berbeda karena dia sudah menjadi Presiden dengan cepat. Tetapi sebaliknya rakyat harus menerima kenyataan untuk menanti lebih lama dari apa yang telah dicapai Jokowi. Karena itu janganlah Jokowi kecewakan dan sakiti hati rakyat.

Yang pasti politik memberikan peluang untuk sebuah pemerintahan meningkatkan tingkat kemakmuran rakyatnya. Seperti dikatakan oleh Winston Churchil: "Politics is not a game. It is an earnest business". Selamat bekerja Jokowi-JK bersama politisi lainnya untuk membangun Indonesia yang lebih baik. [***]

Fritz E. Simandjuntak
Sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA