Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menilik Ketentuan UU Pertambangan yang Pasti Gagal dari Awal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-a-maryke-silalahi-5'>DR. A. MARYKE SILALAHI</a>
OLEH: DR. A. MARYKE SILALAHI
  • Jumat, 15 Agustus 2014, 10:54 WIB
Menilik Ketentuan UU Pertambangan yang Pasti Gagal dari Awal
ilustrasi/net
SALAH satu ketentuan dari UU 4/2009 tentangPertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4/2009) yang diundangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 12 Januari 2009 adalah ketentuan Pasal 169 yang berisikan kewajiban penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam semua kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada terhadap ketentuan UU No. 4/2009 selambat-lambatnya satu tahun sejak UU No. 4/2009 diundangkan, kecuali ketentuan mengenai penerimaan negara.

Salah satu ketentuan yang wajib disesuaikan berdasarkan UU No. 4/2009 adalah bentuk kewenangan atau otorisasi untuk melakukan usaha pertambangan. Perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang berdasarkan isinyamasih dapat diperpanjang, akan tetap boleh memperoleh perpanjangan kewenangan atau otorisasi pertambangan namun tidak lagi dalam bentuk KK dan PKP2B melainkan dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

Perbedaan mendasar antara sistem KK dan PKP2B di satu sisi dan sistem IUP di sisi lain adalah kedudukan para pihak yang terlibat. Dalam sistem KK dan PKP2B baik Pemerintah Indonesia maupun perusahaan pertambangan merupakan partner bisnis dengan kedudukan yang sejajar (equal). Masing-masing dari pihak pemerintah dan pihak perusahaan pertambangan mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda yang harus dipenuhi sesuai ketentuan KK dan PKP2B terkait.

Tidak dipenuhinya suatu ketentuan KK dan PKP2B baik oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak perusahaan pertambangan tidak dapat dengan serta merta menjadikan tidak berlaku kewenangan atau otorisasi melakukan pertambangan yang telah diberikan kepada perusahaan pertambangan melalui sistem KK dan PKP2B. Konsekuensi dari keadaan tidak dipenuhinya suatu ketentuan KK dan PKP2B harus dilihat dari isi KK dan PKP2B yang bersangkutan.

Sebaliknya dalam sistem IUP, pemerintah, sebagai pihak yang memberikan ijin melakukan usaha pertambangan, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pihak perusahaan pertambangan. IUP dapat dicabut oleh pihak pemerintah sewaktu-waktu apabila ternyata ada ketentuan di dalam IUP yang tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan pertambangan. Perlu dicatat bahwa sistem IUP yang dijelaskan disini adalah sistem IUP sebagaimana sistem ini telah diterapkan di Negara Indonesia.

Bukan tidak mungkin suatu saat Pemerintah Indonesia menetapkan suatu sistem IUP khusus yang berlaku hanya untuk perusahaan-perusahaan bekas pemegang KK dan PKP2B, tentunya dengan menjamin bahwa sistem IUP khusus tersebut dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan azas manfaat dan optimalisasi pemberian kewenangan atau otorisasi melakukan pertambangan kepada perusahaan-perusahaan bekas pemegang KK dan PKP2B.  

Selain mengenai bentuk pemberian kewenangan atau otorisasi melakukan pertambangan, terdapat hal-hal lain yang diatur dalam UU No. 4/2009 yang terhadapnya harus dilakukan penyesuaian KK dan PKP2B yang saat ini berlaku. Selanjutnya UU No. 4/2009 juga memberikan kemungkinan bagi KK dan PKP2B yang berlaku pada saat diterbitkannya UU No. 4/2009 untuk tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya.

Artinya selama penyesuaian KK dan PKP2B berlangsung, perusahaan-perusahaan pertambangan pemegang KKdan PKP2B tetap dapat melaksanakan kegiatan usaha pertambangan berdasarkan ketentuan pasal-pasal KK dan PKP2B yang telah ada walaupun pasal-pasal tersebut seluruhnya dibuat berdasarkan peraturan-peraturan lama di bidang pertambangan yang berlaku sebelum diterbitkannya UU No. 4/2009.

Sudah lebih dari lima tahun berlalu sejak UU No. 4/2009 diundangkan namun ternyata masih banyak KK dan PKP2B yang belum berhasil disesuaikan dengan ketentuan UU No. 4/2009. Pemerintah Indonesia memang telah membentuk suatu tim khusus melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi Untuk Penyesuaian Kontrak Karyadan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang diterbitkan pada tanggal 10 Januari 2012.

Akan tetapi proses renegosiasiatau proses penyesuaian isi KK dan PKP2B terhadap ketentuan UU No. 4/2009 yang dilakukanolehPemerintah Indonesia dengan perusahaan pertambangan sebagaimana diamanatka nolehUU No. 4/2009 sejak tahun 2009, belum juga tuntas hingga tahun 2014.

Setidaknya ada dua hal yang bisa disampaikan sehubungan dengan pelaksanaan ketentuan UU No. 4/2009 sebagaimana disebutkan diatas; yang pertama berkaitan dengan ketidakmungkinan dipenuhinya ketentuan UU No. 4/2009 itu sendiri dan yang kedua berkaitan dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan amanat UU No. 4/2009.

Pertama, ketentuan UU No. 4/2009 yang menetapkan waktu yang sangat singkat, waktu satu  tahun, untuk melakukan penyesuaian KK dan PKP2B terhadap UU No. 4/2009 merupakan suatu ketentuan yang hampir mustahil dipenuhi. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, secara total ada 112 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang masih berlaku saat ini. Dari total tersebut, perusahaan pemegang KK yang masuk target renegosiasi adalah berjumlah 37 perusahaan, sedangkan sisanya adalah perusahaan pemegang PKP2B.

Dari 37 perusahaan pemegang KK, terdapat tiga perusahaan raksasa tambang di Indonesia, yaitu PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Vale Indonesia dan hingga saat ini ketiga perusahaan tersebut masih dalam proses renegosiasi dengan Pemerintah Indonesia, khususnya terkait jumlah luas area pertambangan dan jumlah royalti hasi lpertambangan.

Selain dari segi jumlah KK dan PKP2B yang banyak, kompleksitas isi dan kebutuhan penyesuaian masing-masing KK dan PKP2B yang berbeda-beda menjadikan pula renegosiasi pasti akan membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Renegosiasi KK yang dilakukan pemerintah terhadap status dan kedudukan perusahaan pemegang KK pada pokoknya mencakup 6 poin utama, yaitu luas area pertambangan, jumlah royalti hasil pertambangan, penggunaan komponen dalam negeri, kewajiban divestasi, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian serta pengakhiran kontrak dan kelanjutan operasi.

Sehingga demikian, masing-masing KK akan membutuhkan renegosiasi tersendiri untuk beberapa hal tertentu ini. Renegosiasi PKP2B tentunya akan menuntut hal yang sama.

Kedua, Pemerintah Indonesia sendiri dari awal sepertinya memang tidak mampu untuk memenuhi ketentuan UU No. 4/2009 tersebut. Pemerintah Indonesia sejak awal telah menargetkan penyesuaian KK dan PKP2B terhadap UU No. 4/2009 untuk diselesaikan pada akhir tahun 2011 atau lebih dari dua tahun sejak diundangkannya UU No. 4/2009.

Setelah ternyata sampai dengan bulan Oktober 2011 diketahui hanya sembilan perusahaan pemegang KK yang telah setuju sepenuhnya dengan poin renegosiasi yang ditetapkan bersama pemerintah, barulah pemerintah pada bulan Januari 2012 memandang perlu untuk membentuk suatu tim formal atau tim khusus yang bertugas untuk melakukan evaluasi terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal KK dan PKP2B.

Sehingga demikian pembentukan Tim Evaluasi KK dan PKP2B tidak telah terjadi sebelum lewat waktu sekitar tigatahunsejakdiundangkannya UU No. 4/2009. Sepantasnya, Pemerintah Indonesia sudah harus membentuk Tim Evaluasi KK dan PKP2B tersebut dalam tahun pertama diundangkannya UU No. 4/2009 yaitu pada tahun 2009.

Penetapan isi ketentuan pasal Undang-Undang yang tidak dapat dipenuhi, seperti ketentuan UU No. 4/2009 tentang waktu satu tahun untuk penyesuaian KK dan PKP2B yang telah dibahas di atas, merupakan suatu hal yang harus dihindarkan oleh para pembuat Undang-Undang karena bisa menurunkan wibawa Undang-Undang terkait dan wibawa para pembuat Undang-Undang itu sendiri dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. Bahwa terdapat suatu ketentuan Undang-Undang yang jelas-jelas tidak dapat dipenuhi dari awal pengundangannya berpotensi pula menjadikan ketentuan-ketentuan lain dalam Undang-Undang tersebut dapat dipandang sama ringannya dengan ketentuan yang tidak dapat dipenuhi sejak awalnya tersebut.  [***]

Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA