Dalam penyampaian visi misi yang hanya diberikan waktu 4 menit oleh moderator, tidak ada perbedaan tajam di antara kedua kandidat cawapres. Baik Hatta maupun Kalla menegaskan bahwa hanya diperlukan upaya keras di bidang pendidikan agar daya saing SDM Indonesia bisa meningkat. Keduanya juga sepakat bahwa iptek adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan. Karena itu siapapun yang memerintah bersedia meningkatkan alokasi anggaran sesuai dengan amanat UU yaitu 20 persen dari APBN.
Sedikit perbedaan dalam penekanan. Di mana Hatta lebih menekankan pada perluasan akses pendidikan, balai latihan dan peningkatan alokasi dana untuk perguruan tinggi hingga mencapai Rp 10 triliun. Secara rinci Hatta juga bertekad menambah 800 ribu guru dalam jangka 5 tahun ke depan. Sedangkan Jusuf Kalla lebih menekankan pentingnya materi pendidikan budi pekerti sebagai bagian dari konsep Revolusi Mental.
Di bidang Iptek, keduanya juga sepakat untuk membangun pusat-pusat inovasi. Bahkan JK secara tegas bertekad keberpihakan pemerintahannya pada inovasi dalam negeri. Namun mengingat masih kecilnya alokasi anggaran untuk Iptek, keduanya sepakat untuk memberikan insentif bagi perusahaan dalam dan luar negeri yang menyalurkan sebagian dananya untuk riset. Perguruan tinggi pun perlu diberikan tambahan anggaran dan insentif untuk meningkatkan upaya melakukan riset.
Kedua kandidat sebenarya sudah lama duduk di jajaran kabinet. Baik itu era pemerintahan Megawati maupun SBY. Bahkan di era SBY kedudukan JK sebagai Wakil Presiden. Sehingga tidak heran apabila pandangan tentang pembangunan SDM dan Iptek relatif sama. Keduanya sangat paham kendala sebenarnya yang akan dihadapi pemerintah dalam bidang ini.
Karena itu ketika mereka dipaksa untuk berdebat atau berargumentasi, pertanyaan atau pandangan yang diajukan lebih untuk memperjelas apa yang telah disampaikan sebelumnya. Ataupun pengalaman dan prestasi saat menjabat sebagai menteri. Misalnya, JK mengajukan pemahaman tentang kebocoran anggaran. Dengan tegas HR mengkoreksi pernyataan kandidat Presiden Prabowo Subianto. Dikatakan oleh HR bahwa yang dimaksud Prabowo adalah "potential lost".
Sementara HR mengajukan pertanyaan tentang konsep "Revolusi Mental". Dengan lugas JK menjawab bahwa revolusi yang dimaksud adalah percepatan perubahan mental. Korupsi sudah merajalela di segala lapisan masyarakat. Tanpa adanya percepatan perubahan mentalitas, kata JK, bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dari negara lain.
Salah satu tujuan melakukan debat terbuka adalah untuk meraih suara dari target pemilih tertentu. Dalam hal topik ini segmentasi suara adalah kelompok menengah ke atas dan "swing voters". Dengan kalimat yang runtut dan terstruktur disertai dengan intonasi suara yang teratur, terlihat sekali keunggulan HR untuk menjangkau segmentasi suara dimaksud. Kita tahu dari beberapa lembaga survei bahwa pemilih pasangan Prabowo-Hatta umumnya dari kelas menengah ke atas. Sementara pemilih JKW-JK umumnya lulusan SMA ke bawah. Karena itu topik mengenai SDM dan Iptek sangat menguntungkan Hatta Rajasa.
Namun demikian, ada dua kekecewaan saya kepada kedua kandidat. Pertama, sama sekali tidak dikupas mengenai strategi dan program mengatasi persaingan bebas akibat berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Padahal tantangan SDM Indonesia sangat berat dalam mengatasi keterbukaan mendatang. Kita tahu bahwa menurut World Economy Forum peringkat daya saing Indonesia (38) lebih rendah dari Singapore (peringkat 2 dunia), Malaysia (24), dan Thailand (37). Lalu mengapa kedua kandidat dan moderator tidak menyentuh hal yang sangat krusial bagi Indonesia tersebut?
Kekecewaan saya kedua adalah ternyata kedua kandidat tidak memiliki terobosan inovasi dalam struktur kabinet yang menangani SDM. Padahal istilah terobosan, inovasi, transformasi berulangkali dilontarkan kedua kandidat bahkan calon Presiden masing masing.
Apabila masalah SDM adalah kunci peningkatan daya saing Indonesia, kenapa masing-masing kandidat tidak melontarkan ide dibentuknya Menteri Koordinator urusan Sumber Daya Manusia (Menko SDM). Sementara kedua kandidat sepakat masih belum bersinerji secara baik di antara lembaga-lembaga yang mengatur masalah yang berkaitan dengan SDM.
Diharapkan Kantor Menko SDM bisa membuat program terobosan dalam hal SDM baik di tingkat menteri maupun Kepala Daerah. Melalui layanan "online" segala kemajuan yang dicapai dengan jumlah anggaran yang sudah dikeluarkan dapat diakses oleh masyarakat luas. Kementerian SDM juga bisa mempercepat proses belajar lewat internet (e-learning) bagi setiap tahap pendidikan di Indonesia.
Saat ini baik di pusat maupun daerah ada bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Padahal istilah ini merupakan target yang akan dicapai oleh masing-masing kandidat. Kenapa harus didelegasikan ke tingkat kementerian dan kepala bidang di hampir semua daerah? Pada kenyataannya bagian Kesejahteraan Rakyat di daerah tidak memiliki program yang jelas dan signifikan untuk langsung memberikan kontribusi besar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai dengan namanya. Urusannya bagian Kesejahteraan Rakyat lebih banyak menyangkut hal-hal dukungan untuk kematian, bantuan beribadah, musibah dan lain-lain. Padahal kesejahteraan rakyat selalu dijadikan tema utama setiap kandidat calon Presiden dan Kepala Daerah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, ada sikap pesimis dalam diri saya bahwa sebenarnya topik SDM baru sekadar jualan pemanis (Sweetener) dari masing-masing kandidat. Karena itu janganlah kita terlalu berharap bahwa dalam lima tahun ke depan akan ada perubahan signifikan dalam pengelolaan SDM, peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: