Demikian disampaikan peneliti LIPI, Nina Widyati, dalam diskusi buku terbarunya, “Etnisitas dan Agama sebagai Isu Politik dalam Pemilihan Presiden di Media Sosial†yang digelar Yayasan Obor Indonesia, LIPI dan MAARIF Institute di Jakarta, kemarin.
Namun demikian sejak pemilu 1955 sampai dengan pemilu 2009, sebagaimana rentang riset dilakukan, partai yang memiliki identitas etnis dan agama kurang berkembang. Sebaliknya partai yang memiliki identitas nasionalis lebih berkembang.
Hal ini ditengarai karena adanya faktor sejarah pada awal kemerdekaan dimana Belanda berusaha memecah-belah rakyat Indonesia dengan menggunakan politik etnisitas melalui pembentukan negara boneka yang pembagiannya berdasarkan etnis. "Hal ini berlawanan dengan semangat antikolonialisme yang berkembang pada awal kemerdekaan," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Riset Maarif Institute, Ahmad Fuad Fanani, menjelaskan, dalam perjalanan sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan, Indonesia baru memiliki 1 presiden dari luar Jawa yaitu B.J. Habibie. Mengapa hal ini bisa terjadi, walaupun ada UU yang menjamin bahwa seluruh orang Indonesia asli berhak menjadi presiden.
"Namun, sejarah menunjukkan bahwa sampai hari ini memang tidak mudah bagi calon presiden di luar kelompok mayoritas Jawa. Resistensi ini dapat dilihat dari kegagalan JK-Wiranto dalam upaya mereka mengadvokasi ideologi egalitarian dalam etnis maupun agama,†ungkap dia.
[zul]
BERITA TERKAIT: