Dari substansi topik, strategi kedua kandidat relatif sama yaitu mendahulukan kepentingan rakyat kecil. Dengan janji akan menyediakan lapangan kerja agar produktivitas meningkat. Terutama untuk rakyat yang tinggal di pedesaan, petani dan nelayan.
Alasan mereka untuk mendahulukan kepentingan rakyat kecil, karena pemerintah telah gagal mengurangi kemiskinan secara signifikan meskipun anggarannya sangat besar.
Dengan tegas Prabowo menyatakan bahwa salah satu kegagalan pemerintah karena meningkatnya kebocoran anggaran yang menurut pernyataan KPK sekitar Rp 7.200 triliun atau menurut perhitungan Prabowo sekitar Rp 1.000 triliun. Karena itu Prabowo berjanji akan menutup kebocoran anggaran dan digunakan untuk membiayai pembangunan masyarakat kecil dan daerah tertinggal.
Tapi Prabowo tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana caranya dia menghapus korupsi sementara di sekelilingnya ada partai pendukung yang telah melakukan korupsi besar-besaran.
Di koalisi Prabowo ada PKS dengan kasus korupsi suap impor daging sapi, PPP dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji, pimpinan Golkar yang terlibat dugaan korupsi Al-Quran dan PON di Riau, Demokrat dengan kasus Hambalang. Dan belakangan ini pimpinan PBB dikaitkan dengan kasus suap revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.
Sementara Jokowi ingin membangun sistem dengan menerapkan aplikasi teknologi informasi di seluruh jajaran pemerintah untuk mengurangi kebocoran uang negara sekaligus mengurangi proses birokrasi yang panjang. Namun Jokowi tidak menjelaskan lebih jauh cara mengatasi pengurangan tenaga kerja di sektor pemerintahan akibat penerapan teknologi informasi dan pemangkasan proses birokrasi. Padahal masalah ini akan menjadi sangat sensitif.
Kedua kandidat sepakat pendidikan dan kesehatan harus dijadikan prioritas peningkatan produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bahkan dalam kenaikan upah minimum kedua kandidat juga memiliki pendapat sama. Prabowo keluar dengan angka Rp 6 juta per bulan, sementara Jokowi sudah membuktikan kenaikan upah minimum sebesar 44 persen saat memimpin Provinsi DKI Jakarta
Seperti pengamat ekonomi Aviliani katakan, bahwa karena kedua kandidat bukan berlatar belakang ekonom, maka hal-hal yang menyangkut peningkatan anggaran dari instrumen pajak tidak banyak dikupas. Juga tidak disinggung bagaimana mengurangi ketimpangan yang cenderung meningkat dikaitkan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi.
Karena itu dapat dikatakan bahwa kedua kandidat cenderung lebih menonjolkan visi populis meskipun tidak komprehensif. Layaknya pemusik, baik Prabowo maupun Jokowi menyanyikan lagu yang sama tapi dalam kunci dasar nada yang berbeda sedikit.
Dari sisi penampilan, harus diakui bahwa Prabowo lebih relaks dan sangat menguasai teknik-teknik berpidato. Diselingi dengan humor dan serta pujian pada idea Jokowi, maka suasana perdebatan menjadi lebih cair. Di tengah perdebatan, bahkan kedua kandidat saling berpelukan ketika membahas soal ekonomi kreatif.
Sementara Jokowi terlihat masih terlihat tegang saat mulai perdebatan, dan terlalu sering mengulangi pernyataan tentang penerapan sistem dan aplikasi TI dalam memperbaiki manajemen pemerintahan. Prabowo juga unggul dalam mengungkapkan data-data di bidang ekonomi.
Namun demikian kedua kandidat lebih saling melengkapi dari pada saling menyerang kelemahan visi-misi masing-masing. Semestinya mereka bersatu maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Sayangnya sikap partai politik masing-masing telah memaksa Prabowo dan Jokowi harus saling berhadapan. Kasihan Indonesiaku!!! [***]
Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: