Namun semua itu buyar tatkala injury time menunjuk menit ke-3. Satu tendangan pojok melayang di daerah penalti Godin dkk. Bek tengah Real Madrid, Sergio Ramos memenangkan duel udara dan menyundul bola ke sisi kanan gawang Atletico, tanpa mampu dijangkau Courtois. El Real menyamakan kedudukan, 1-1.
Estadio da Luz, Lisbon, Portugal pecah. Suporter “Los Blancos†yang tertunduk lesu sejak menit ke-36 akibat blunder Iker Casillas hidup lagi. Darah kembali mengalir dalam tubuhnya. Dan harapan menyembul. Dititipkan ke pundak sebelas pemain yang ditunjuk Ancelotti.
Wajar belaka jika Casillas musti mendatangi Ramos. Mengucapkan terima kasih dan mencium bek tengah yang tampil kokoh itu. Cara tepat untuk membayar lunas kesalahannya bikin blunder yang berujung gol Diego Godin. Gol Ramos, praktis menyediakan semua hal yang dibutuhkan Real Madrid untuk memenangkan laga final.
Di luar lapangan, masih di Estadio da Luz, kita bisa saksikan kecemasan Xabi Alonso di wajahnya. Berkali-kali sorot kamera menyapu ekspresinya. Gelandang bertahan yang dilarang main karena akumulasi kartu kuning itu girang betul kala sundulan Ramos merobek jala Coutois. Bayangan sukses Zinedine Zidane dkk yang merontokkan Bayern Leverkusen di final musim 2001/2002 berayun-ayun di bola matanya.
***
Dalam 90 menit, El Real susah betul menarik Juanfran, Miranda, Godin, dan Filipe Luis (digantikan Alderweireld menit 83) dari daerahnya. Dalam posisi sejajar mereka rapat sungguh. Membiarkan dua sisi lapangannya dieksploitasi Carvajal, Bale, Coentrao, Di Maria hingga Ronaldo.
Tapi seluruh sodoran bola ke tengah tak bisa dikonversi menjadi gol. Peluang bersih—dan terbaik—Madrid justru berasal dari blunder Tiago. Umpan bekas pemain Chelsea ini mampu dipotong Bale. Pemain yang bikin kagum sprinter Usain Bolt karena kecepatannya itu menggiring bola ke kotak penalti Atletico. Punya ruang tembak, Bale gagal memberi gol kepada El Real. Momen ini terjadi sebelum gol Godin.
Bila harus ada acungan jempol kepada Ancelotti. Itu adalah keputusannya memasukkan Marcelo dan Isco di menit 58. Khedira tak mampu menggantikan peran sentral Alonso. Bahkan dia punya kontribusi atas gol Atletico, saat kalah duel udara dengan Godin. Sementara Coentrao tak mampu memberi keseimbangan antara menyerang dan bertahan.
Marcelo memberi opsi yang membuka peluang-peluang gol Madrid. Isco tak bisa dibilang istimewa, meski dia menyuntikkan gaya bermain lebih menyerang.
Yang bikin kaget Benzema pun ditarik ke luar menit 79. Morata diplot Ancelotti sebagai ujung tombak. Ini untung-untungan, karena Benzema jauh lebih memberi keyakinan, berpengalaman serta teruji dibanding Morata. Namun keputusan Ancelotti sedikit mengubah permainan.
***
Gol Ramos adalah titik balik bagi Madrid. Namun, satu pemain yang menjadi ruh Madrid sepanjang 90 menit adalah Angel Di Maria. Sayap asal Argentina ini tak berhenti mencoba menaklukkan pertahanan Atletico. Untuk menghentikannya, ya tak ada cara lain kecuali menekel dan bahkan mengguntingnya. Bola mati yang diperoleh Madrid mayoritas adalah ikhtiar Di Maria. Hitung saja berapa jumlah kartu kuning untuk Atletico Madrid dalam 120 menit.
Kontribusi termanis Di Maria tak lain gol Bale menit 110. Dia menerobos sisi kanan Atletico. Melewati dua hingga tiga pemain, bola lalu dicocornya. Courtois masih bisa menghalaunya. Tapi bola melambung itu masih bisa dikejar Bale. Pemain Wales ini meloncat. Dari sudut sempit, sundulan kepalanya menembus kiri atas gawang Courtois.
Seluruh petaruh membayangkan mimpinya terbeli.
Perang dua tim dari ibu kota Spanyol berakhir sepuluh menit sebelum wasit Bjoern Kuipers meniup pluit tanda laga usai. Dua gol tambahan dari Marcelo dan Ronaldo hanya pembuktian bahwa tim lebih berpengalaman-lah yang bisa mengukir sejarah di Liga Champions.
Empat puluh tahun waktu yang dibutuhkan Atletico Madrid ke puncak kompetisi terakbar di benua biru itu. Dieogo Simeone sudah ge-er menyaksikan namanya setara dengan pelatih hebat di Eropa. Tapi begitulah takdirnya.
Seniornya orang Argentina, Hector Raul Cuper, merasakan kepahitan yang sama saat membawa Valencia ke final Liga Champions musim 1999/2000. El Real membenamkan mimpi Cuper, 3-0 di laga puncak. Setahun kemudian, hasrat Valencia menjadi raja Eropa dipatahkan Bayern Munchen di final lewat drama penalti.
Simeone adalah orang Argentina ke sekian yang gagal. Wajar belaka jika dia emosional. Bahkan masuk lapangan dan mencak-mencak memprotes wasit. Dia masih 44 tahun, setidaknya lebih muda dari Jose Mourinho. Tiba di final Liga Champions dan memotong supremasi Barcelona dan Real Madrid di La Liga, sudah cukup membuktikan kebesarannya. Dan jika Roman Abramovich berminat meminangnya untuk Chelsea, kami bakal menerimanya.
***
So… pertanyaan BBC: Can Real Madrid win “La Decima†dijawab tuntas barisan pemain bintang mahal El Madrid itu. Ronaldo dan kawan-kawannya dari Portugal seperti Coentrao dan Pepe berpesta di negerinya sendiri. Ancelotti membuktikan kelasnya sebagai pelatih brilian di Liga Champions. Dan Zidane bahagia mendapati dirinya punya kontribusi atas sukses Madrid.
Olala… Real Madrid.
[***]
Penulis seorang jurnalis senior, penikmat sepakbola indah.