Islam Sebagai Obyek Kekerasan Belum Mendapat Perhatian

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 13 Mei 2014, 08:53 WIB
rmol news logo Pada era Orde Baru, Islam dianggap sebagai bagian dari “kawan” karena telah memberikan kontribusi signifikan dalam penghancuran orang-orang komunis (PKI) dan mereka yang dianggap komunis pada tahun 1965-1966. Namun, saat rejim Orba secara struktur pemerintahan cukup kuat, Islam kemudian dianggap menjadi ancaman.

Apalagi konteks saat itu, banyak sebagian dari organisasi Islam menolak pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara versi Orde Baru. Alih-alih dihancurkan, gerakan dan politik atas nama Islam pun perlu ditundukkan oleh rejim Orde baru.

Dua peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (1989), mengakibatkan terbunuhnya 200-500 orang, merupakan semacam ancaman kepada mereka yang mencoba melawan setiap kebijakan yang dilakukan rejim Orde Baru. Di sini, Islam, dalam hal ini masyarakat Muslim, menjadi obyek kekerasan Orde Baru.

Demikian mengemuka dalam Diskusi Publik  "Islam sebagai Obyek atau Subyek Kekerasan?" yang digelar MAARIF Institute bekerjasama dengan Asian Public Intellectual the Nippon Foundation di Aula PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Menteng, Jakarta Pusat kemarin (Senin, 13/5).

Hadir sebagai pembicara API Research Fellows yang juga peneliti senior MAARIF, Wahyudi Akmaliah; peneliti PMB LIPI, Ahmad Najib Burhani; anak korban peristiwa Priok yang juga aktivis KontraS Muhammad Daud Buereuh.

Namun, lebih jauh disebutkan, pasca Orde Baru bandul kekerasan tidak lagi pada negara sebagai subyek, melainkan pada masyarakat sipil, khususnya organisasi kemasyarakatan Islam sendiri. Dengan mengatasnamakan Islam, Front Pembela Islam (FPI), Hizbuz Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI), mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah yang sudah berakar lama dan anggotanya juga bagian dari masyarakat Indonesia.

Diakui, selain karena perbedaan ideologi, faktor ekonomi turut mempengaruhi mengapa tindakan kekerasan bisa terjadi. Di sisi lain, negara sebagai otoritas tunggal pemegang kebijakan seringkali abai dalam mencegah dan menghukum tindakan kekerasan. Bahkan dalam beberapa peristiwa, alih-alih menjadi penengah yang meredam kekerasan, aparatus negara, dalam hal ini kepolisian tampaknya memberikan legitimasi kekerasan dengan adanya pembiaraan yang mereka lakukan.

Menurut Wahyudi, Islam sebagai obyek kekerasan yang terjadi di Indonesia tidak  menjadi ingatan bersama sebagian besar masyarakat Islam. Islam sebagai obyek kekerasan hanya berhenti pada piagam Jakarta yang dianggap bentuk pengkhinatan negara kepada umat Islam. Ini terlihat dengan minimnya dukungan masyarakat Islam terhadap dua peristiwa kekerasan (Talang Sari dan Priok), di mana korbannya justru orang Islam.

"Saya melakukan riset dan melakukan advokasi melalui pameran foto untuk mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa kita punya pengalaman pahit di masa Orde Baru dan mengingatkan negara agar tidak terjadinya kekerasan di masa mendatang," tandasnya. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA