Pesan di atas benar-benar dijalankan oleh Presiden Direktur PT KAI, Ignatius Jonan, untuk memulai proses transformasi di perusahaan yang sebelumnya terus merugi.
Jonan melihat persoalan yang paling mendasar dalam mengembangkan perusahaan tersebut adalah ada di dalam internal perusahaan itu sendiri. Misalnya, pedagang kaki lima yang berjualan di stasiun ternyata mendapat perlindungan dari pejabat stasiun setempat.
Karena itu Jonan memulai proses transformasi dari dalam perusahaan sendiri, terutama sumber daya manusianya. Hasilnya kita bisa lihat sekarang, kereta api dalam kota sudah ber AC dan bersih semua, stasiun bersih, tidak ada lagi penumpang yang naik di atas gerbong, sistem tiket elektronik. Saat saya mencoba kereta api Bogor-Sukabumi, sungguh nyaman, selain bersih dan dilengkapi pendingin, tersedia juga saluran listrik untuk mengisi ulang baterai telepon atau komputer.
Masih banyak lagi tokoh manajemen yang berhasil melakukan transformasi organisasinya antara lain Emirsyah Satar dan Rusdi Kirana. Yang menjadi fokus dan prioritas pertama mereka adalah pembenahan dari dalam karena hal itu sesuatu yang bisa mereka jangkau dahulu.
Itu di tingkat perusahaan. Dan bagaimana di tingkat pemerintahan nasional? Menjelang pemilihan Presiden 2014, banyak sekali janji-janji yang dilontarkan oleh para calon Presiden. Misalnya pertumbuhan ekonomi dua digit, pengurangan kemiskinan, bantuan sektor pertanian dan desa, termasuk pemberantasan korupsi.
Semuanya penting, tetapi satu hal yang harus diketahui bahwa banyak sekali program yang dikumandangkan sangat tergantung pada faktor eksternal. Misalnya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pasti sangat terpengaruh pada ekonomi global. Di saat ekonomi dunia mengalami pertumbuhan yang menurun, pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam negeri seperti yang terjadi pada tahun 2008.
Memberikan bantuan kepada petani atau dana kepada setiap desa juga sangat tergantung kepada kemampuan penerimaan negara. Baik itu dari pajak, harga minyak dunia, dan lain-lain.
Sementara yang bisa segera dilakukan tanpa pengaruh faktor eksternal tapi akan bermanfaat banyak untuk negara adalah menjadikan pemerintah bersih dari korupsi. Inilah sebenarnya yang harus menjadi prioritas utama setiap calon Presiden dan Wakil Presiden mendatang.
Dan di sini pulalah kegagalan pemerintah SBY selama 10 tahun, meskipun di saat awal memerintah dia bertekad untuk memberantas korupsi. Pada kenyataannya, bahkan orang-orang dekat SBY sendiri, baik dari partainya, menterinya, kawan dekat pengusaha, partai koalisi banyak yang terlibat dalam perilaku korupsi.
Masyarakat Indonesia juga tidak akan pernah lupa, bahwa saat Megawati berkuasa, jajaran menteri dan kader partainya banyak yang terlibat perilaku korupsi. Karena itu masyarakat akan tetap khawatir apabila nantinya Jokowi terpilih menjadi Presiden, apakah kader partai di PDIP dan pendukungnya tidak akan mengganggu Jokowi dengan perbuatan korupsi?
Pertanyaan yang sama akan muncul apabila Prabowo dan Aburizal Bakrie kemudian terpilih menjadi Presiden. Sampai sejauh manakah komitmen dan program mereka terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih.
Korupsi memang sudah menjadi momok yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Padahal sudah ada gerakan struktural pemberantasan korupsi melalui pembentukan lembaga anti korupsi dan lembaga pengawas baik yang bersifat informal maupun formal seperti Gowa, Parwi, ICW, KPKPN, KPK, Ombudsman, dan lain-lain. Menurut studi Transparency International, pada tahun 2013 Indonesia termasuk negara paling korup dan berada di peringkat 114 dari 177 negara.
Sayangnya, dalam kondisi tingkat korupsi yang sangat tinggi tersebut, masih terus ada pemikiran dan upaya upaya untuk melemahkan KPK, baik melalui perubahan Undang-Undang KPK maupun menarik personil yang diperbantukan untuk KPK. Padahal sudah terbukti bahwa KPK berhasil membongkar praktik korupsi yang tidak pernah bisa dijangkau oleh lembaga keadilan pemerintah lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.
Pandangan untuk melemahkan KPK tersebut sama dengan tokoh-tokoh Partai di Cina yang memiliki pandangan bahwa "Corruption might destroy the Party, but fighting corruption will definitely destroy the Party".
Sehingga, meskipun sudah dibentuk National Berraue of Corruption Prevention (NBCP), para petinggi partai dan pejabat negara di Tiongkok masih terus melakukan korupsi.
Baik di China maupun Indonesia, perbuatan korupsi sudah menjadi mental budaya. Dan hal ini sudah lama diucapkan oleh salah satu proklamator Republik Indonesia Bung Hatta. Dan untuk mengatasi itu di samping gerakan struktural, diperlukan revolusi mental dan budaya dalam memerangi korupsi.
Saat ditunjuk sebagai Presiden China, Xi Jinping, telah menjadikan prioritas utama pemberantasan korupsi dalam program pemerintahannya. Baru satu tahun memerintah, hampir 20 pejabat tinggi setingkat menteri dan gubernur ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan korupsi.
Seorang pejabat Partai Komunis di Provinsi Hebei, China utara dipecat karena menghabiskan 200.000 yuan (sekitar 32 ribu AS) untuk pesta pernikahan putrinya. Hal ini dianggap melanggar kampanye anti pemborosan bagi pejabat partai maupun pemerintahan yang telah dicanangkan oleh Presiden Xi.
Ditangkapnya Zhou Yongkang, yang merupakan tokoh partai dan duduk sebagai salah satu anggota politbiro memperlihatkan betapa seriusnya Presiden Xi memerangi korupsi. Bahkan secara khusus diselenggarakan pameran foto pelaku korupsi di China yang dilengkapi dengan penjelasan bagaimana mereka melakukan tindak pidana korupsi.
"This is the most ambitious anti-corruption campaign since at least Mao’s days," ujar Anthony Saich, profesor dari Harvard University’s John F. Kennedy School of Government yang sangat mendalami masalah kepemerintahan Cina.
Berkaitan dengan revolusi mental tersebut, kita juga berharap agar pemerintahan paska SBY akan menjadikan pemerintahan yang bersih sebagai program penting dan segera dilakukan.
Seperti dilakukan oleh Presiden China, Xi Jinping, bagaimanakah program revolusi mental melawan korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih dilakukan, kita tunggu saja pemaparan para calon Presiden dan Wakil Presiden.
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: