Salah satu prestasi terbesar Lee di pemerentahan adalah melakukan restorasi aliran sungai Cheonggyecheon yang sebelumnya sangat tercemar. Sekarang sungai tersebut disebut “Sungai Surgaâ€.
Selama 4 tahun menjadi orang nomor satu di Seoul, Lee berhasil melakukan transformasi kota Seoul. Antara lain pembangunan Seoul Forest Park, penghijauan di depan Seoul City Hall, dan fokus pada pembangunan sistem transportasi publik. Pada saat berlangsungnya Piala Dunia 2002, Lee mengubah Seoul sebagai area kebudayaan yang kemudian disebut Seoul Plaza.
Apakah Jokowi, mantan Walikota Solo dan sekarang Gubernur DKI Jakarta, akan mengikuti jejak Lee Myung-Bak, menjadi Presiden RI ke 7. Hanya rakyat Indonesia yang nantinya akan menentukan karier Jokowi di politik ke depannya.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menyatakan pentingnya Segitiga PDB (Positioning, Differentiation, Branding) dalam memasarkan figur seseorang. Positioning itu intinya adalah apakah yang dijanjikan, Differention adalah keunikan yang dimiliki seseorang dibandingkan orang lain, dan Branding adalah kredibilitas yang terbangun dari Positioning dan Differention dan selalu diingat atau menjadi “top of mind†di masyarakat.
Berkaitan dengan konsep PDB tersebut, maka sebagai pemimpin daerah, Jokowi memiliki begitu banyak Differentiation atau keunikan. Karena, baik sebagai Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta, telah banyak terobosan yang dilakukan Jokowi di sektor pemerintahan. Di samping itu gaya pemahaman dan penyelesaian masalah melalui "blusukan" dan "dialog" menjadi keunikan tersendiri dalam gaya kepemimpinan Jokowi.
Baik selama memimpin kota Solo maupun provinsi DKI Jakarta, sebenarnya banyak gebrakan yang telah dilakukan oleh Jokowi. Misalnya pembenahan Waduk Pluit sebagai "flood control system" Jakarta dengan memindahkan puluhan ribu keluarga ke rumah susun yang lebih baik.
Di samping pembenahan Waduk Pluit, sejalan dengan sembilan program unggulan, Jokowi telah melakukan beberapa terobosan lain. Misalnya, penyelesain Waduk Ria Rio, PKL di Tanah Abang, Kampung Deret, pembenahan Bantaran Kali, Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan memulai kembali pembenahan sistem transportasi umum melalui pembangunan MRT.
Menggunakan konsep praktisi pemasaran Yuswohady dapat dikatakan Jokowi sebagai pemimpin Horizontal. Dan branding yang tertanam di masyarakat adalah sebagai "Selfless Leader" atau pemimpin yang mendahulukan kepentingan masyarakat dengan karakter "Giving, Caring dan Enabling".
Misalnya, Jokowi secara tekun melakukan tidak kurang dari 54 kali tatap muka dengan PKL di Monumen 45 Banjarsari Solo agar bersedia dipindahkan. Jokowi mengedepankan pendekatan memanusiakan manusia (nguwonke wong) dengan berdialog sambil makan siang dan suasana informal selama tidak kurang dari 7 bulan. Akhirnya pedagang tersebut luluh dan bersedia pindah.
Branding "Selfless Leader" dengan ketiga karakter tersebut, didukung dengan keinginan melakukan dialog dan blusukan membuat Jokowi hampir selalu unggul dalam beberapa lembaga survei hingga sebelum pemilihan umum legislatif tanggal 9 April 2014 lalu.
Pertanyaan yang ada di benak kita adalah kalau memang Jokowi memiliki branding yang kuat dan unik di masyarakat, mengapa PDIP tidak berhasil mencapai pemilih sesuai target 27.1 persen berdasarkan hasil hitung cepat? Mengapa hanya sekitar di angka 19-20 persen saja?
Dalam konsep pemasaran mengenai calon Presiden RI periode 2014-2019 betapapun kuatnya branding seseorang, jangan dianggap enteng program komunikasinya. Hermawan Kartajaya, "icon" pemasaran, menyatakan bahwa faktor Marketing Mix untuk mengintegrasikan tawaran, logistik dan komunikasi disebut dengan konsep 4P yaitu product, price, place, dan promotion juga sangat penting. Termasuk oleh pemimpin pasar sekalipun.
Di sinilah salah satu kelemahan PDIP. Kita tahu sesudah pengumuman Jokowi sebagai calon Presiden pada hari Jumat 14 Maret 2014, ternyata tidak diikuti oleh program komunikasi yang gencar tentang momentum ini. PDIP terus melanjutkan iklan-iklan di TV dengan figur Puan Maharani dan Megawati dengan tema "Indonesia Hebat". Sayangnya iklan tersebut kurang berhasil ditangkap artinya oleh masyarakat.
Selanjutnya kalau memang "Indonesia Hebat" dijadikan tag line utama PDIP, mengapa Jokowi tidak pernah menggunakan baju "Indonesia Hebat" seperti anggota PDIP lainnya. Di samping itu selama kampanye tidak terlihat penonjolan Jokowi sebagai "Selfless Leader" dengan karakter "Giving, Caring dan Enabling".
Tetapi yang menonjol selama kampanye adalah seorang Jokowi yang hanya berpidato (preaching) dan berjanji (promising) mewakili PDIP. Ini sudah sangat jauh dari personal branding seorang Jokowi yang ada di benak masyarakat.
Mudah-mudahan PDIP dan Jokowi menyadari pentingnya konsistensi dalam membangun branding Jokowi dengan program komunikasinya pada saat kampanye calon Presiden mendatang. Sekali lagi pemimpin pasar bisa saja tergusur karena komunikasi yang salah di masyarakat.
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: