Bekas Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu, didakwa dua dakwaan berbeda. Pertama, Sudjadnan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 11 miliar dalam 12 penyelenggaraan sidang dan konferensi internasional di Kemenlu pada 2004 sampai 2005.
Dakwaan kedua, Sudjadnan telah memperkaya diri dan atau orang lain, dan atau korporasi sebesar Rp 4,57 miliar. “Dari dana tersebut dipergunakan untuk memperkaya terdakwa sebesar Rp 300 juta,†kata jaksa I Kadek Wiradana, saat membacakan surat dakwaan.
Dalam surat dakwaan tersebut, nama bekas Menlu Hassan Wirayuda juga disebut turut menikmati keuntungan.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nina Indrawati ini dimulai sekitar pukul 10.20 pagi di lantai I gedung Tipikor Jakarta. Sejam sebelumnya, Sudjadnan sudah tiba. Dia menumpang mobil tahanan jenis Kijang dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur.
Mengenakan batik hitam bermotif kembang putih-putih yang dibalut rompi tahanan KPK, Sudjadnan datang dikawal dua petugas KPK. Tangan kanannya menenteng map. Kacamata bertengger di atas hidungnya.
Ditanya soal persiapan sidangnya, Sudjadnan tak mau banyak berkomentar. “Nanti saja,†kata Sudjadnan sambil bergegas masuk ruang tunggu khusus terdakwa.
Tak lama berselang, hakim Nina mengetuk palu tiga kali tanda sidang dimulai. Kemudian, tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai I Kadek Wiradana bergantian membacakan surat dakwaan setebal 48 halaman.
Sudjadnan yang duduk di kursi terdakwa tampak serius mendengarkan. Map biru yang tadi ditentengnya diletakkan di pangkuannya.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan I Kadek, Sudjadnan disebut melakukan korupsi bersama Kabiro Keuangan Kemenlu, Warsita Eka dan Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Kemenlu, I Gusti Putu Adnyana. “Perbuatan tersebut telah merugikan negara sebesar Rp 11, 01 miliar,†kata I Kadek.
Terdakwa, lanjut jaksa Ahmad Burhanudin, telah memperkaya diri dan atau orang lain, dan atau korporasi sebesar Rp 4,57 miliar. Dari dana tersebut dipergunakan untuk memperkaya terdakwa sebesar Rp 300 juta.
Jaksa Kadek juga menyebut ada sembilan pihak yang diduga menerima dana korupsi tersebut. Di antaranya adalah, bekas Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. “Terdakwa memperkaya Hassan Wirajuda sebesar Rp 440 juta,†kata jaksa Burhanuddin. Selain itu, terdakwa juga menguntungkan Wasita Eka sebesar Rp 15 juta, dan I Gusti Putu Adnyana sebesar Rp 165 juta.
Jumlah total uang untuk sembilan orang tersebut mencapai Rp 4,5 miliar. Dia juga telah menguntungkan Kepala Bagian Pengendali Anggaran Kemenlu Suwartini Wirta sebesar Rp 110 juta.
Tidak hanya itu, kata jaksa Kadek, Sekretariat Kemenlu kecipratan Rp 110 juta dari penyelenggaraan sidang dan pertemuan internasional itu. Selanjutnya, Direktur Jenderal Kemenlu yang membidangi kegiatan mendapat Rp 50 juta.
Jaksa Kadek menambahkan, beberapa pihak yang kecipratan uang itu adalah beberapa direktur. Antara lain, Hasan Kleib (Rp 100 juta), Djauhari Oratmangun (sekarang Duta Besar RI untuk Rusia, sebesar Rp 100 juta), Iwan Wiranata Admaja (Rp 75 juta dan Rp 1,45 miliar), pembayaran pajak PT Pactoconvex Niaga pada 2004 dan 2005 masing-masing Rp 500 juta, dan pembayaran jasa konsultan fiktif PT Pactoconvex dan PT Royalindo sebesar Rp 600 juta.
Jaksa I Kadek Wiradana memaparkan, Hassan adalah orang yang memerintahkan Sudjadnan agar Kemenlu lebih sering menggelar sidang dan pertemuan internasional pada kurun 2004 sampai 2005 dengan menggunakan dana cadangan (bertanda bintang) pada Sekretariat Jenderal Kemenlu. Alasannya sebagai sarana belajar mengadakan suatu persidangan.
Dalam penjelasannya, jaksa Ahmad mengatakan, terdakwa selaku Sekjen Deplu sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) periode 2002-2005, menyelenggarakan lima pertemuan dan sidang-sidang internasional dengan melakukan penunjukan langsung, sehingga bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 20 Keppres No 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Sudjadnan juga didakwa melaksanakan tujuh pertemuan dan sidang-sidang internasional Deplu tanpa melalui prosedur swakelola, yang seharusnya.
Dari 12 kegiatan tersebut terdapat selisih nilai pertanggungjawaban dengan pengeluaran riil seluruhnya sebesar Rp 12.744.804.630. Tetapi telah dikembalikan sebesar Rp 1.653.343.559, sehingga jumlah kerugian negara keseluruhan sebesar Rp 11.091.461.071.
Pembacaan surat dakwaan tidak berlangsung lama. Jelang siang hari, sidang sudah selesai. Ditanya hakim Nina apakah memahami dakwaan yang disampaikan JPU, Sudjadnan mengangguk. Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi (keberatan) terdakwa.
Kilas Balik
Kecewa Tak Ada Panitia Yang Jadi Tersangka
Saat diperiksa sebagai tersangka, eks Sekjen Kementerian Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat enggan membocorkan beberapa nama pejabat Kemenlu yang diduga terlibat kasus korupsi dana sidang internasional.
Namun, dia menyiratkan bahwa ada tokoh-tokoh lain di balik kasus tersebut yang masih bisa menghirup udara bebas. “Begini, dalam 17 konferensi tersebut ada panitianya, bukan? Dari 17 konferensi semua ada panitianya. Tetapi tidak satu pun panitia yang dijadikan tersangka, itu bagaimana? Kenapa sekjennya yang dijadikan tersangka?†tanya Sudjadnan kepada awak media, Selasa (11/3) tahun lalu.
Sudjadnan heran mengapa dirinya yang paling bertanggungjawab atas kasus ini. Padahal, banyak nama panitia yang terlibat dalam konferensi-konferensi internasional yang digelar Kemenlu.
Namun, Sudjadnan mengatakan, dirinya tidak bisa membeberkan nama-nama panitia tersebut. Dia hanya bilang, biar penyidik KPK dulu saja yang mengetahuinya. “Itu sudah 11 tahun yang lalu, mana saya ingat. Nanti kalau saya bilang begitu, tapi orangnya tidak jadi tersangka, untuk apa saya sebutkan? Kalau KPK tidak mengambil orang itu, nanti saya fitnah dong.â€
Sudjadnan mengklaim, tidak ada uang negara yang diambilnya. “Bottom line-nya adalah tidak ada uang negara yang saya tilap. Kedua, harkat dan martabat negara saya angkat. Karena saya berusaha sejalan dengan kepala negara,†ujarnya.
KPK telah memeriksa beberapa saksi. Diantaranya adalah bekas Menlu Hassan Wirajuda, Duta Besar RI untuk Kanada Dienne Hardianti Moehari, Duta Besar RI Untuk Rusia Djauhari Oratmangun serta musisi kondang, Erwin Gutawa.
Sudjadnan Parnohadiningrat disangka melakukan tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan wewenang itu berkaitan dengan kegiatan di Departemen Luar Negeri, yaitu mengenai seminar yang dilaksanakan sekitar tahun 2004 hingga 2005.
Sudjadnan bukan hanya disangka terlibat perkara korupsi pengadaan seminar. Sebelumnya, Sudjadnan telah dibawa KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena kasus korupsi lain.
Menurut majelis hakim, Sudjadnan terbukti melakukan korupsi proyek perbaikan gedung kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Wisma Duta Besar dan rumah-rumah dinas KBRI di Singapura pada tahun 2003.
Majelis kemudian menjatuhkan hukuman 1 tahun 8 bulan penjara kepada Sudjadnan dalam kasus korupsi yang terjadi sekitar tahun 2003 hingga 2004 itu.
Dia telah divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lantaran terbukti terlibat dalam pencairan duit negara secara ilegal. Dimana Sudjadnan menyetujui pengeluaran anggaran untuk renovasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura, kendati Menteri Keuangan belum menyetujuinya.
Sudjadnan juga menerima uang 200 ribu dolar AS dari bekas Duta Besar Indonesia untuk Singapura, M Slamet Hidayat. “Terdakwa dihukum penjara satu tahun delapan bulan dan denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan,†kata Ketua Majelis Hakim Jupriyadi saat membacakan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/1/2011).
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman tiga tahun penjara. JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, Sudjadnan terbukti menyetujui pengeluaran anggaran untuk renovasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada persetujuan dari Menteri Keuangan. Selain itu, menurut majelis, dia juga terbukti telah menerima uang sebesar 200 ribu dolar AS atau setara Rp 1,8 miliar dari Hidayat.
Penyuapan itu terjadi dalam kurun waktu Agustus 2003 sampai September 2004, ketika Slamet Hidayat masih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dan Sudjadnan selaku Sekjen Deplu.
Perlu Dibikin Jera Karena Pengaruhi Diplomasi Nasional
Syarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPRPolitisi Partai Hanura Syarifuddin Sudding menekankan, upaya perbaikan dan pengawasan di lingkungan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) lebih diintensifkan. Hal itu bertujuan agar diplomasi Indonesia di luar negeri semakin berbobot.
Disampaikan, pengiriman delegasi Indonesia ke luar negeri hendaknya dipantau dan diawasi secara cermat. Hasil pengawasan ini diharapkan mampu menekan kebocoran sektor anggaran yang mau tidak mau akan membebani para delegasi yang bertugas mewakili Indonesia di forum internasional.
“Jika anggaran untuk hal ini dikorupsi, otomatis akan berdampak signifikan terhadap upaya diplomasi kita,†tuturnya.
Dengan kata lain, upaya diplomasi di kancah internasional tak akan membawa efek signifikan. Atau bahkan, prediksinya, korupsi di bidang ini justru menciptakan aib bagi negara.
Mau tak mau, jalan satu-satunya yang perlu dilaksanakan untuk membenahi hal tersebut adalah mengedepankan hukum. “Tindak semua pihak yang ada bukti keterlibatannya tanpa pandang bulu,†ujarnya.
Penegakan hukum ini, setidaknya memberi jawaban secara langsung atau tidak langsung kepada negara lain bahwa Indonesia punya komitmen tinggi mensukseskan program yang menjadi agenda internasional.
Selain itu, sambungnya, penindakan hukum terhadap Sekjen Kemenlu ini hendaknya diikuti dengan peningkatan kontrol internal. Sebab, tanpa adanya upaya perbaikan di Kemenlu, apapun penindakan hukum yang dilakukan menjadi sia-sia.
“Penegakan hukum ini menjadi jawaban yang bisa meyakinkan pihak lain bahwa Indonesia punya aturan yang sangat jelas.â€
Kasusnya Sudah Lama, Hakim Mesti Lebih CermatAlfons Leomau, Purnawirawan PolriKombes (Purn) Alfons Leomau meminta hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) cermat dalam menggali fakta-fakta kasus ini. Hal itu ditujukan supaya dugaan keterlibatan semua pihak dapat terungkap secara gamblang.
“Perkara ini sudah lama terjadinya. Untuk itu perlu ada kecermatan ekstra dari para hakim di pengadilan,†katanya.
Dia yakin, sekalipun perkara ini sudah terjadi lama, toh dokumen, kesaksian dan bukti-bukti yang ada tetap utuh.
Dari data-data tersebut, katanya, hakim bisa memerintahkan KPK mengembangkan penyidikan ke arah yang lebih signifikan. Jadi, sambungnya, tak tertutup kemungkinan, persoalan ini akan bisa menyeret keterlibatan pihak lain.
Apalagi, sambungnya, perkara korupsi senantiasa melibatkan kelompok. “Biasanya dilakukan secara konstruktif dan terorganisir,†ucapnya.
Oleh sebab itu, sebagai palang pintu penjaga keadilan, hakim hendaknya mengambil langkah yang proporsional alias terukur. Jangan sampai, penuntasan perkara hanya berpatokan pada berkas perkara yang disusun penyidik ataupun dakwaan jaksa saja.
Menurut bekas Kepala Biro Bina Mitra Polda NTT ini, hakim dapat mengembangkan dakwaan ke berbagai arah. Selama tujuan pengembangan perkara itu terkait upaya mewujudkan prinsip keadilan, idealnya hal tersebut didukung jaksa dan pihak berperkara. “Bukan justru dihambat.†***
BERITA TERKAIT: