Pada kenyataannya pemilihan umum tidak selalu menghasilkan pemimpin seperti yang diharapkan. Pemilihan umum yang demokratis juga tidak menjamin terpilihnya pemimpin yang akan menegakkan sistem demokrasi.
Adolf Hiter misalnya, naik ke panggung politik melalui pemilihan umum. Meskipun partainya berada di peringkat kedua, Hitler berhasil membentuk koalisi dengan partai pemenang pemilu dan diangkat sebagai Kanselir.
Kemampuan Hitler berpidato dan menawarkan program-program populis membuat rakyat terpukau sehingga Hitler lebih populer dari pada Presiden Hindenburg yang partainya menang pemilihan umum. Â Secara ringkas, Â setelah Presiden Hindenburg meninggal dunia, melalui koalisi transaksional Hitler mengambil alih kekuasaan dengan menggabungkan jabatan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sejak itu Hitler menjadi orang yang sangat berkuasa di Jerman dan sebagai kepala negara Hitler juga menjadi komando tertinggi angkatan bersenjata di Jerman. Mulailah Hitler menjadi pemimpin diktator dengan mengumandangkan kebijakan supremasis dan termotivasi oleh ras yang telah mengakibatkan kematian sekitar 50 juta orang selama Perang Dunia II.
Pelajaran yang kita peroleh dari kasus Hitler adalah  bahwa pemilihan umum secara demokratis tidak selalu membawa perbaikan bagi rakyatnya maupun terciptanya perdamaian dunia. Pemilihan umum juga tidak menjamin sebuah perbaikan apabila proses koalisi lebih mengedepankan kepentingan transaksional setiap partai dari pada kepentingan rakyat banyak.
Pengalaman juga terjadi pada partai koalisi SBY di era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam komposisi parlemen, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu  II terdiri atas enam partai yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Setiap partai memiliki kader dalam kabinet dengan komposisi 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik.
Koalisi ini terbentuk agar kebijakan Presiden SBY dapat secara mudah disetujui parlemen. Pada kenyataannya dalam kasus kenaikkan BBM dan Bank Century, beberapa partai yang tergabung dalam koalisi malah berlawanan dengan SBY.
Meskipun demikian pemilihan umum tetap penting bagi sebuah negara yang menganut sistem demokratis. Itu sebabnya kita sangat antusias menyambut pemilihan umum tahun 2014. Pertanyaannya adalah apakah pemilihan umum 2014 hanya untuk mengisi kekosongan jabatan politik di legislatif dan eksekutif ? Atau ada misi lebih besar yang akan menjadi tantangan Indonesia ke depan.
Satu hal yang positif adalah bahwa pemilihan umum menjadi salah satu proses pembelajaran berkompetisi.  Meskipun selama kampanye ada upaya-upaya “black campaignâ€,  semangat berkompetisi telah ditebarkan oleh setiap partai politik ke seluruh pelosok di tanah air. Semestinya semangat kompetisi  ini bisa menjadi modal penting bagi bangsa Indonesia,  bukan saja berkompetisi di sektor politik, melainkan juga di sektor pendidikan, ekonomi, ketrampilan kerja, dan kehidupan sosial lainnya untuk membangun kembali semangat  “Satu Indonesiaâ€.
Pemilihan umum juga akan menentukan pemimpin negara ini lima tahun ke depan.   Dalam kaitan tersebut, almarhum Nurcholis Madjid pernah mengemukakan bahwa pemimpin sebuah negara adalah layaknya masinis yang menjalankan keretanya di atas rel dalam sebuah sistem yang dikontrol dengan baik. . Masinis harus menjamin penumpang akan sampai di tujuan dengan aman dan nyaman.
Masinis dan penumpang, serta jalur rel kereta api yang dilalui sebenarnya simbol “Satu Indonesia†yang  bergerak maju ke depan. Pesan moral dari pandangan Cak Nur ini adalah pemimpin harus membangun sistem yang memberikan kepastian hukum, sosial, ekonomi, agama bagi masyarakatnya. Pemimpin bukan seperti supir metro mini, yang sering pindah jalur yang tidak semestinya atau berhenti seenaknya untuk menurunkan penumpang. Pemimipin harus menjadi panutan dalam  menegakkan keadilan dan  mencapai kesejahteraan.
Dalam kaitan prioritas bangsa Indonesia, maka pemimpin mendatang harus benar-benar bukan saja menjadi inspirator pemberatasan korupsi dan penegakkan hukum, tetapi bertindak nyata dalam mengedepankan hukum di atas segala galanya. Agar gerbong kereta api Satu Indonesia bergerak ke depan lebih cepat lagi.
Hal itu sangat diperlukan karena pemimpin masa depan Indonesia, segera sesudah dilantik menjelang akhir tahun 2014,  akan menghadapi tantangan besar yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimulai pada tahun 2015.   Telah disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN bahwa misi ke depan ASEAN adalah “
One Vision, One Identity, One Communityâ€. Ini berarti akan terbentuk Komunitas Satu ASEAN  yang tidak akan lagi memberi hambatan atau menghalangi arus barang, orang, pemikiran dan budaya.
Pertanyaannya adalah sudah sejauh manakah Indonesia siap menghadapi Komunitas Satu ASEAN? Sampai sejauh manakah kita akan memiliki Kepala Negara yang akan memanfaatkan Komunitas Satu ASEAN untuk kemajuan bangsa Indonesia sendiri.
Berkaitan dengan tantangan Komunitas Satu ASEAN tersebut, seperti juga diungkapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu keharusan. Sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus. Melalui kerjasama yang harmonis kita semua dapat memperkecil kelemahan yang kita miliki.
Salah satu caranya adalah agar setiap partai politik dan calon Presiden di tahun 2014 bisa menjadi partai dan manusia yang mengedepankan sifat-sifat “
pandai menang dan pandai kalahâ€.
Siapapun pemenangnya hendaknya diterima dan didukung oleh pihak lain. Sehingga pemilihan umum 2014 menjadi lokomotif kembalinya “Satu Indonesia†menghadapi tantangan dari terbentuknya  “Komunitas Satu ASEANâ€. Selamat berkompetisi!!!!
*
Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: