Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemimpin Politik Vs Profesional Birokrat

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 12 Maret 2014, 15:57 WIB
"LEADERSHIP, like coaching, is fighting for the hearts and souls of men and getting them to believe in you" (Zack Pumerantz)

Wakil Gubernur DKI Jakarta yang lebih dikenal dengan nama panggilan Ahok kembali marah-marah.  Sambil menggebrak meja, Ahok menunjukkan kekesalannya kepada para pejabat DKI karena ada upaya mempersulit bantuan armada bus yang diberikan pihak swasta, terutama menyangkut pajak reklame. Ahok menyayangkan para pejabat DKI yang mengenakan pajak Nilai Strategis Reklame kepada para penyumbang bus baru ini.

Ketika saya google “Ahok Marah Marah” di internet, ada sekitar 3.240.000 (tiga juta dua ratus empat puluh ribu)  berita yang bisa dibaca.  Kasusnya bermacam-macam. Ada yang mau ribut sama mahasiswa, anggota DPRD, soal tanggul dijebol rakyat, rumah susun yang disewakan ke orang lain, guru honorer, wawancara dengan salah satu stasiun televisi, pengusaha penjual mobil, dan banyak lagi.  Mungkin Ahok pantas mendapatkan rekor MURI sebagai pejabat negara yang paling banyak diliput media karena marah-marah.

Bukan saja kepada pihak luar, Ahok juga sering marah-marah kepada pejabat DKI.  Bahkan dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas diucapkan seorang pejabat, seperti goblok, bego, bajingan, brengsek.  Bahkan sempat ada kata-kata yang membuat mantan Wakil Gubernur DKI  era Fauzi Bowo ikut-ikutan protes.  Ahok menggunakan istilah “di prijanto” kan untuk menggambarkan posisi Wakil Gubernur yang tidak dimanfaatkan baik oleh Gubernurnya.   Atas kelancangannya itu Ahok telah meminta maaf langsung kepada Prijanto.  Sementara Partai Gerindra berjanji akan menegur Ahok atas ucapan-ucapannya yang sering keluar dari kepantasan.

Sebenarnya pasangan Jokowi-Ahok sudah banyak mengeluarkan kebijakan yang fenomenal dan transformatif untuk DKI Jakarta.  Misalnya relokasi pedagang kaki lima ke pusat pertokoan, relokasi penduduk di sekitar waduk, normalisasi waduk, lelang jabatan lurah dan kepala dinas, Kartu Jakarta Pintar untuk menutupi hingga 12 komponen biaya sekolah seperti sepatu, buku, uang les ekstrakurikuler, uang sekolah,  uang transpor dan lain-lain. Juga ada Kartu Jakarta Sehat untuk rakyat miskin.

Tetapi sikap dan kata-kata Ahok yang seringkali di luar kepantasan seorang pejabat bisa membuat publik lupa akan prestasi yang telah dicapai.  Sehingga ketika satu kesalahan kecil saja dibuat oleh Jokowi-Ahok, media langsung mengupasnya dan publikpun mulai kehilangan kepercayaan. Seperti kasus pengadaan Bus Trans Jakarta yang diduga sarat dengan penggelembungan harga.  Ternyata ada dugaan bahwa orang dekat Jokowi ikut serta sebagai perancang proses pembeliannya. Kasus ini bisa menjadi senjata untuk menurunkan pamor pasangan Jokowi-Ahok.

Sebenarnya Selalu ada kesenjangan antara Kepemimpinan Politik dengan Kepemimpinan Profesional Birokrasi.  Kepemimpinan politik, memiliki legitimasi "kekuasaan" seperti dimiliki Gubernur, Bupati, Walikota, dan lebih fokus kepada “hasil” untuk memenuhi janji-janji saat kampanye.  Sementara kepemimpinan profesional birokrasi memiliki legitimasi "pengetahuan" birokrasi dan lebih fokus pada “proses” pelaksanaan program yang telah disetujui anggarannya oleh DPR/DPRD.  Puluhan tahun para profesional birokrasi menekuni posisi di pemerintahan, sehingga mereka tahu persis rambu-rambu aplikasi sebuah kebijakan.  Dalam kaitan ini seorang Kepala Dinas tidak serta merta melapor kepada Gubernur, Bupati atau Walikota.  Tetapi ada juga atasan profesional mereka yaitu Sekretaris Propinsi maupun Sekretaris Daerah.

Dalam kondisi tersebut akan selalu ada kesenjangan antara kepemimpinan politik dengan kurang lincahnya profesional birokrasi.  Hal ini pulalah yang sering membuat hubungan tidak harmonis di tingkat elite pejabat daerah.  Tidak heran kalau Kementerian Departemen Dalam Negeri mencatat hingga akhir tahun 2013 sudah 312 Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Mantan Kepala Daerah dijadikan tersangka sejak pemilihan langsung kepala daerah dilaksanakan tahun 2005.  Dapat diduga bahwa adanya ketidakharmonisan hubungan pejabat elite daerah menjadi salah satu penyebabnya.

Kembali ke soal gaya kepemimpinan Ahok, pada kenyataannya Ahok belum efektif dalam membangun pemerintah daerah yang bebas dari perilaku korupsi.  Ahok masih fokus kepada gaya dan kekuasaan sebagai politisi bukan pada solusi membangun sistem organisasi yang bersih (System Builder).  Ke depan Ahok harus lebih fokus bekerja pada membangun sistem organisasi yang bersih dengan mengajak para birokrat turut serta berpartisipasi dalam memberikan kontribusi ke arah itu.  Bukan dengan menakut-nakuti akan menindak tegas atau mengeluarkan kata-kata kasar.  Kecenderungan Ahok mempermalukan para profesional birokrat harus dihentikan.  Ahok harus mengurangi penggunaan kekuasaan politik. Tugas utama Ahok adalah membangun solusi sistem birokrasi yang tidak korup atau kepemimpinan berbasis sistem.

Sikap Ahok yang pernah secara terbuka tidak ingin menggunakan kendaraan umum untuk ke kantor, padahal itu adalah kebijakan atasannya Jokowi, tidak boleh terjadi lagi.  Seorang pemimpin yang baik pada dasarnya harus juga menjadi pengikut (followers) yang baik.  Agar berhasil dalam membangun kepemimpinan berbasis sistem, seorang pemimpin harus memberikan contoh kesetiaan kepada program atasan.

Belajar dari tantangan yang dihadapi Jokowi-Ahok dalam mengelola pemerintahan DKI Jakarta, kita bisa lebih memahami kesulitan SBY untuk memberantas korupsi.  Padahal itu adalah salah satu komitmen pencapaian beliau.  Kepemimpinan politik yang dimiliki SBY ternyata tidak diimbangi dengan kompetensi dan komitmen profesional birokrasi tim kerja SBY sehingga korupsi meraja lela yang bahkan menjerat orang-orang dekat SBY dan pimpinan partai koalisinya.

Tentu saja kita berharap, agar Presiden yang akan datang bukan saja menggunakan kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan tetapi juga memiliki komitmen dan kompetensi membangun sistem profesional birokrasi yang tidak korup.  Komitmen, kompetensi dan kesungguhan membangun sistem itulah yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia agar pemerintahannya bisa memiliki daya saing tinggi di atas negara-negara tetangga kita saat ini.   Mudah-mudahan pada pemilihan Presiden 2014, Indonesia memperoleh pemimpin seperti itu.

Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA