Sejak era reformasi 1998, Pemilihan Umum secara langsung sudah 3 kali dilakukan dan Pemilihan Presiden langsung sudah dua kali. Pemilihan Kepala Daerah yang jumlahnya sekitar 500 an sudah dilakukan sejak tahun 2005. Di banding negara lain, mungkin hanya Indonesia yang setiap tahun paling sering melakukan pemilihan kepala pemerintahan daerah secara langsung.
Agar kebijakan pemerintah didukung oleh parlemen, maka biasanya kepala pemerintahan membentuk koalisi di antara beberapa partai pendukung. Ini yang dilakukan oleh Presiden SBY, baik tahun 2004 maupun tahun 2009.
Namun dalam perjalanannya, hubungan antara pemerintah dan parlemen tidak selalu berjalan harmonis. Dalam masalah Bank Century dan Kenaikan BBM misalnya koalisi tidak utuh lagi. Parlemen bahkan membentuk tim pengawas Century, padahal kasus Century sudah masuk ke ranah hukum. Sementara PKS sebagai bagian dari partai koalisi jelas-jelas menolak kenaikan harga BBM.
Hubungan tidak harmonis juga terjadi di tingkat provinsi DKI Jakarta. DPRD DKI Jakarta pernah mencoba menggunakan hak interpelasi dalam kasus program Kartu Jakarta Sehat (KJS). Sekitar 32 anggota DPRD melakukan inisiatif interpelasi yang pada ujungnya bisa saja memaksa Jokowi lengser.
Sebagian besar rakyat DKI pun marah dan melakukan serangan balik terhadap para wakil rakyat yang sebenarnya dipilih oleh mereka juga. Dalam situasi politik di tingkat masyarakat yang semakin kuat menentang inisiatif DPRD tersebut, akhirnya hak interpelasi ini urung digunakan.
Presiden Gus Dur harus meletakkan jabatan meskipun baru satu setengah tahun menjadi Presiden RI. Penyebab utamanya adalah ketidakharmonisan hubungan Gus Dur dengan parlemen, terutama karena beberapa kebijakan Gus Dur yang seringkali berbenturan dengan kemauan partai politik.
Misalnya Gus Dur menyebarkan sikap toleransi dan pluralisme, mengganti nama Irian Jaya dengan Papua, menuntaskan pelanggaran HAM di Timtim, mengganti Kapolri tanpa persetujuan parlemen, menolak menjawab memorandum MPR, dan menolak hadir pada Sidang Istimewa MPR.
Padahal Gus Dur bukanlah seorang Presiden yang diktator, Gus Dur juga bukan pelanggar HAM. Gus Dur tidak pernah menyengsarakan rakyatnya, atau terbukti korupsi termasuk dalam kasus Bulogate atau Bruneigate.
Gus Dur bahkan menolak tawaran damai Partai Golkar dan PPP agar kursi menteri diberikan kepada partai yang akan mendukungnya untuk tidak lengser. Gus Dur menganggap bahwa bagi-bagi kursi menteri untuk partai pendukung itu tindakan inkonstitusional. Karena penunjukkan menteri adalah hak prerogatif Presiden.
Belum setahun menjabat, Walikota Surabaya Risma hendak diturunkan oleh DPRD melalui hak angket. Ada 6 dari 7 partai di DPRD, termasuk PDIP yang mengusung Risma menjadi walikota, yang sudah mendukung dilengserkannya Risma. Alasannya soal kebijakan Risma yang menaikkan pajak reklame menjadi 25 persen terutama yang memasang reklame besar di jalan utama Surabaya.
Terakhir Risma kembali bersitegang dengan DPRD dalam kasus pembangunan tol di tengah kota Surabaya dan proses pemilihan Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana yang dia anggap menyalahi prosedur. Bertubi-tubinya tekanan politik kepada Risma, bahkan dari partai pendukung PDIP, membuat Risma lelah dan berniat untuk mundur dari jabatan Walikota.
Masyarakat luas memberikan simpati luar biasa kepada Risma bahkan membentuk kelompok pendukung Risma dengan sebutan “Save Rismaâ€. Dukungan agar Risma tidak mundur sudah mencapai lintas partai. Bahkan sampai Presiden SBY perlu meluangkan waktu untuk bicara dengan Risma melalui telepon.
Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa kedaulatan rakyat, baik yang diberikan kepada parlemen maupun pemerintahan, seringkali dicederai oleh kepentingan politik. Mereka lupa bahwa yang harus dikedepankan adalah kepentingan rakyat banyak. Dalam kasus papan reklame dan tol, diduga adanya kepentingan bisnis anggota DPRD di sana.
Dalam situasi ini perlu ada kebijakan terobosan agar konstitusi dan kedaulatan rakyat tetap ditegakkan. Di antara 5 tahun waktu pelaksanaan pemilihan umum, rakyat harus bisa berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku wakil rakyat dalam hal yang menyangkut kebijakan yang dikeluarkan. Terobosannya adalah memberikan kesempatab bagi rakyat untuk menentukan pendapat rakyat atau referendum apabila terjadi silang pendapat antara pemerintah dan parlemen dalam sebuah kebijakan.
Kalau pemilihan umum atau pemilihan Presiden fokus pada meminta pendapat rakyat terhadap figur personal. Maka di masa mendatang rakyat juga harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya dalam soal kebijakan. Karena, seperti dikemukakan di atas, tujuan pemilihan umum atau pemilihan Presiden pada akhirnya adalah mensejahterakan rakyat. Dan itu hanya dapat dicapai oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat banyak.
Sila keempat dari Pancasila menyatakan tentang kerakyatan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Di sini diharapkan terjadinya musyawarah untuk mufakat di perwakilan. Ini juga salah satu bentuk referendum, tetapi hanya dilakukan di tingkat perwakilan yaitu DPRD/DPR.
Dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini serta meningkatnya kemampuan pemerintah dalam APBN/APBD, maka referendum atau penentuan pendapat rakyat tentang kebijakan tidak hanya dilakukan pada DPRD/DPR. Penentuan pendapat rakyat bisa saja dilakukan di setiap daerah. Dan ini adalah bentuk
check and balance langsung dari rakyat. Dan rakyatpun akan benar-benar menjadi pemilik negara ini ataupun daerahnya.
Akhir-akhir ini ada silang pendapat mengenai RUU KUHAP dan KUHP. Banyak yang beranggapan bahwa RUU ini merupakan lagkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Mengapa ? Karena RUU ini dianggap mengebiri kekuasaan KPK dan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kehakiman. Bahkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan telah mengirim surat ke Presiden SBY bahwa ada 12 pasal yang bisa melemahkan KPK atau lembaga peradilan lainnya.
Sementara itu kita semua menyadari bahwa dibentuknya KPK di era Megawati tahun 2003 memang ditujukan untuk memberantas korupsi. Pada kenyataannya korupsi masih merajalela yang bahkan telah melibatkan anggota parlemen, ketua Partai, dan orang-orang kepercayaan Presiden SBY sendiri.
Kerja cerdas dan keras KPK dalam membongkar korupsi sangat dihargai oleh masyarakat luas. Lalu mengapa pemerintah dan parlemen ingin mengajukan RUU KUHP/KUHAP yang bisa melemahkan KPK dalam proses pemberantasan korupsi.
Untuk mengatasi kontroversi keanehan RUU KUHP/KUHAP, rakyat sebagai pemilik saham utama negara RI, perlu diberikan kesempatan untuk menentukan pendapatnya sendiri. Melalui mekanisme Referendum/Penentuan Pendapat Rakyat, bisa saja rakyat menentukan sendiri persetujuannya atas RUU KUHP/KUHAP ini.
Apabila mekanisme ini tertuang dalam Undang-Undang, maka siapapun yang akan menjadi Presiden nantinya, tidak akan pernah takut untuk mengeluarkan kebijakan yang tegas demi kepentingan rakyat banyak. Apabila parlemen menghalangi kebijakan tersebut, Presiden bisa meminta pendapat rakyat melalui referendum.
Melalui mekanisme referendum, rakyat bukan hanya memilih figur di parlemen atau pemerintahan yang hanya bisa melontarkan seribu janji. Tetapi rakyat juga secara aktif bisa memilih langsung kebijakan yang berkenan untuk perbaikan kehidupan mereka.
Sehingga parelemen baik di tingkat daerah maupun nasional, tidak bisa lagi semena-mena menggunakan hak angket atau interpelasi untuk menjatuhkan kepala pemerintahan. Semoga ada keberanian untuk melakukan terobosan penentuan pendapat rakyat ini !!!!
*Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: