Reformasi 1998 yang diawali gerakan protes oleh mahasiswa dan didukung kalangan cendekiawan bertujuan agar terjadi perbaikan kualitas hidup rakyat secara konstitusional dalam bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik. Salah satu tuntutannya adalah pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pelaksanaan tuntutan reformasi tersebut kemudian dilaksanakan oleh pemimpin terpilih di pemerintahan dengan mitra utamanya partai politik. Setelah dua dasa warsa paska reformasi, hasilnya masih sangat jauh dari cita-cita reformasi tersebut.
Kita lihat tentang peran wakil rakyat menjadi begitu besar, tapi lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan partai atau diri sendiri. Sehingga seringkali malah wakil rakyat yang dipilih langsung terlibat dalam proses korupsi. Misalnya pada kasus Hambalang, Al Quran, DPRD Papua Barat.
Pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat juga banyak diduga melakukan korupsi. Baik untuk memperkaya diri maupun untuk kepentingan partai politik. Departemen Dalam Negeri memperkirakan bahwa sejak 2015, tahun dimulainya pemilihan kepala daerah secara langsung, sebanyak 311 dari 530 kepala daerah terjerat kasus hukum, di mana 86 persen di antaranya kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch menyatakan sepanjang tahun 2013 ada 35 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Yang paling menyedihkan lagi ada pernyataan KPK tentang adanya tiga lembaga terkorup di Indonesia. Yaitu lembaga kepolisian, parlemen dan pengadilan.
Kesimpulannya adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, partai politik dan kelembagaan negara gagal menjalankan salah satu amanat pejuang reformasi 1998 yang mestinya wajib dilaksanakan yaitu pemberantasan korupsi. Dengan kenyataan ini maka pemilihan umum langsung, baik tingkat pusat dan daerah, hasilnya masih memilukan hati rakyat banyak.
Tahun 2014 ini banyak yang menduga bahwa hasil pemilu masih akan memilukan rakyat di masa depan. Pertama, calon legislatif yang akan menjadi wakil rakyat di parlemen masih didominasi muka lama. Jumlahnya hampir mencapai 90 persen. Padahal mereka gagal menjalankan tuntutan reformasi 1998 dan telah memilukan hati rakyat.
Bukan saja dalam hal korupsi, tetapi juga dalam hal kehadiran sidang, pemborosan anggaran untuk jalan-jalan dengan alasan studi banding, pembangunan gedung dengan fasilitas mewah, dan banyak lagi perilaku mereka yang membuat hati rakyat pilu.
Ini berarti partai politik, selain tidak peka dengan suara hati rakyat juga telah gagal melakukan pembinaan kader yang bersih dan fokus pada kepentingan rakyat. Bukan fokus pada proyek-proyek untuk menggalang dana yang masuk ke partai maupun kantong pribadi.
Tokoh-tokoh muda yang mestinya menjadi ujung tombak perjuangan partai seperti Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, Angeline Sondakh, Nazarudin ataupun pimpinan partai produk reformasi yaitu Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, harus menjadi terdakwa dan ditahan karena gagal menjaga godaan untuk tidak korupsi.
Kedua, ada juga yang menduga pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014 bisa rusuh karena beberapa issue yang dikembangkan di masyarakat.
Issue pertama, menyangkut legitimasi presiden terpilih paska keputusan MK yang menyatakan pemilihan umum dan pemilihan presiden harus serentak. Tapi pelaksanaannya baru dilakukan tahun 2019. Banyak partai politik dan pakar hukum berdebat tentang hal ini.
Menarik untuk disimak pendapat Eep Saefullah Fatah yang menyatakan bahwa ada TIGA konsep legitimasi untuk menguji pemilu 2014 konstitusional atau tidak. Yaitu legitimasi hukum, legitimasi sosiologis dan legitimasi moral.
Menurut Eep, keputusan MK itu adalah kenyataan hukum dan pada kenyataannya diterima oleh hampir semua partai besar. Hanya masalah pelaksanaan tahun 2019 yang dipertanyakan. Artinya secara hukum dan sosiologis keputusan MK bisa diterima. Mengenai pelaksanaan tahun 2019, MK mempertimbangkan secara moral yaitu pelaksanaan 2014 yang sudah tinggal beberapa bulan lagi. Kekacauan atau legitimasi pemilu lebih besar dimungkinak apabila terjadi kecurangan dalam pelaksanaannya, misalnya dalam kasus daftar pemilih tetap. Di sinilah sebenarnya tantangan pelaksanaan pemilu tahun 2014.
Issue kedua menyangkut pembentukan opini negatif yang akan menjadi sumber konflik paska pemilu. Ada dua opini negatif yang sudah mulai dilemparkan ke masyarakat. Pertama tentang latar belakang pendukung Jokowi untuk menjadi calon presiden. Mereka adalah kalangan konglomerat keturunan Cina dan Kristen. Mereka didukung oleh Amerika Serikat yang mendorong proses demokrasi dan terciptanya pasar bebas dunia.
Masalah konglomerat, keturunan Cinan, agama memang masih menjadi topik yang seksi dan bisa memancing emosi masyarakat terutama yang secara ekonomi berada pada lapisan bawah. Karena itu keputusan Megawati untuk tetap fokus pada pemilihan umum legislatif adalah sangat tepat. Karena kalau PDIP kali ini menang dalam pemilu 2014, sebagai partai berideologi nasionalis diharapkan mampu meredam upaya-upaya konflik yang berbau SARA.
Opini negatif lainnya adalah menyangkut keterlibatan lingkaran satu SBY, terutama keluarganya dalam beberapa kasus korupsi. Terus menerus upaya itu dilakukan oleh lawan politik SBY. Dan kalau itu benar terjadi maka SBY diduga tidak bisa tinggal diam. ebagai pengendali kekuatan polisi dan militer, dikatakan bahwa SBY akan mengeluarkan surat perintah dan menunjuk salah satu perwira tinggi militer untuk mengendalikan keadaan agar tidak terjadi kerawanan konflik horizontal di masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, bisa saja penerima mandat tersebut bertindak seperti Soeharto saat menjalankan pemerintahan di era Orde Baru.
Apapun issue-issue negatif yang dilemparkan di masyarakat, saya masih percaya bahwa pemilu 2014 akan berjalan aman. Dua kali pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan presiden, ditambah ratusan kali pemilihan kepala daerah membuktikan bahwa rakyat masih percaya sistem demokrasi paling baik dalam sistem politik Indonesia. Sistem demokrasi sekarang memberikan rakyat lebih berperan dalam menentukan wakilnya di legislatif dan pemimpinnya.
Yang harus dijaga adalah bagaimana rakyat melakukan kontrol dan koreksi terhadap wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih benar-benar menjalankan roda pemerintahan untuk kepentingan rakyat banyak, serta perilaku korupsi dan nepotisme benar-benar terkikis habis di negara ini. Kehidupan bernegara tidak boleh tergantung pada partai politik. Peran media, LSM, lembaga pendidikan dan lembaga ekonomi rakyat kecil harus lebih ditingkatkan. Agar hasil pemilu 2014 tidak lagi membuat pilu hati rakyat banyak. Semoga !!!!
Fritz E. Simandjuntak, sosiolog, tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: