Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemimpin Berperasaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Senin, 06 Januari 2014, 14:12 WIB
Pemimpin Berperasaan
FOTO:RMOL
“Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan ngrumangsani....”
 
Kalimat yang berasal dari falsafah Jawa kuno tersebut merupakan salah satu pepatah yang sering diungkapkan oleh mantan Presiden RI Soeharto. Artinya kira kira, janganlah kita merasa bisa, tapi hendaknya bisa merasakan.
 
Dalam hal ini Soeharto seringkali mengingatkan agar para menteri dalam kabinetnya benar-benar memahami apa yang dirasakan masyarakat dan hendaknya mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat.
 
Pepatah itu menjadi sangat relevan ketika kita memasuki tahun politik 2014, di mana pemilihan umum legislatif dan presiden akan berlangsung.  Apalagi masyarakat tiba-tiba mendapat hadiah kenaikan 68 persen harga Elpiji 12 Kg dari Pertamina.  Harga Elpiji yang baru menjadi Rp 117.708/tabung.  Harga yang sangat tinggi ini akan menyulitkan masyarakat menengah ke bawah terutama untuk usaha kecil dan menengah.
 
Presiden SBY sangat terkejut atas kebijakan yang dilakukan jajaran di bawahnya tersebut. Padahal keputusan kenaikan harga tersebut sudah melalui RUPS di mana wakil pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN, terlibat di dalamnya.  Yang lebih aneh ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyatakan ketidaktahuan atas langkah strategis korporasi Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Padahal beberapa dirjen di Kementerian ESDM menjabat komisaris di Pertamina. Yang cukup baik adalah Presiden SBY memahami perasaan galau yang ada di masyarakat dan dunia usaha atas kebijakan tiba-tiba dari Pemerintah ini. Setelah melakukan rapat terbatas selama tiga jam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar Pertamina mengkaji ulang kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram.
 
Namun demikian, bola liar akibat kebijakan yang menyakiti perasaan masyarakat ini sudah lari ke mana-mana. Ada yang menganggap bahwa tindakan ini memang disengaja Presiden SBY untuk memperlihatkan kedekatan dia dengan suara hati rakyat menjelang pemilihan umum legislatif di bulan April 2014.
 
Kecurigaan ini didukung oleh cepatnya pernyataan Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro dan Wakil Ketua Umum PAN Drajad Wibowo yang menolak kenaikan harga elpiji 12 Kg. Padahal Ketua Umum Partai Demokrat dan PAN adalah yang mestinya lebih dahulu tahu dampak kebijakan ini. Tidak dapat dielakkan lagi kalau muncul persepsi pencitraan oleh partai yang menguasai pemerintahan saat ini.
 
Terlepas dari politisasi kebijakan kenaikan elpiji 12 Kg, sebenarnyalah kita sangat membutuhkan kepemimpinan yang berperasaan di masa mendatang. Bukan lagi kepemimpinan yang sekadar berwacana untuk pencitraan.
 
Betapa sakitnya hati rakyat Indonesia ketika mengetahui bahwa hampir di setiap posisi pejabat tinggi di pemerintah pusat dan daerah terjadi kebocoran anggaran yang telah merugikan negara dalam jumlah yang begitu besar.  Rakyat juga sakit hatinya kalau kenaikan anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah untuk tahun 2014, ternyata sekitar 60 persen masih akan digunakan untuk biaya personil serta kebutuhan kalangan pejabat negara. Sementara anggaran untuk pembangunan hanya berkisar rata-rata 12 persen.
 
Peningkatan dana bantuan sosial di tahun 2014 hingga mencapai Rp 75 triliun telah menambah kecurigaan rakyat bahwa suara mereka ingin dibeli oleh pejabat yang berkuasa melalui program bantuan tersebut. Bahkan ICW memperkirakan dalam kurun waktu tahun 2007-2012 tidak kurang dari Rp 411 triliun dana bantuan sosial yang telah diselewengkan oleh pejabat negara.
 
Kesenjangan kebijakan pemerintah dengan perasaan rakyat telah mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.  Sejak awal tahun 2012 CSIS telah mengingatkan kecenderungan ini. Di akhir tahun 2013 hasil survei yang dilakukan oleh lembaga lain seperti Cirus Surveyors Group, LIPI dan Pol-Track Institute mengukuhkan hasil survei CSIS di mana kepercayaan rakyat terhadap partai politik umumnya sangat rendah di bawah angka 10 persen.

Dalam kondisi tersebut tidaklah heran apabila rakyat kemudian lebih menggantungkan harapan kepada figur perorangan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dengan perasaan rakyat. Kita butuh pemimpin yang bisa memotivasi jajaran di bawahnya dan rakyat untuk merubah perilaku dan meninggalkan perilaku buruk terutama korupsi.
 
John P. Kotter, dalam bukunya The Heart of Change, bahwa tantangan utama dalam melakukan perubahan bukanlah terletak pada ada tidaknya strategi, struktur, melainkan perubahan perilaku.  Karena masyarakat ingin berubah apabila mereka termotivasi melakukan perubahan tersebut oleh seorang pemimpin yang memahami perasaan mereka.
 
Saat Martin Luther King Jr berpidato di depan Lincoln Memorial, dia tidak menyatakan bahwa di memiliki strategi.  Melainkan dia memiliki mimpi-mimpi. Istilah “I have a dream” berhasil mendorong rakyat Amerika untuk merubah perilakunya dengan menerima hak dan kewajiban masyarakat kulit hitam seperti yang dimiliki kulit putih.
 
Demikian juga yang dilakukan oleh Bapak Bangsa Nelson Mandela.  Untuk mempersatukan kembali rakyat Afrika Selatan, dia menumbuhkan semangat memaafkan di dalam hati rakyat kulit hitam.  Mandela menyatakan “If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then, he becomes your partner”.
 
Di Indonesia kita memiliki pemimpin seperti Soekarno, yang bersama founding fathers lainnya, telah memberi semangat dan keberanian rakyat untuk merebut kemerdekaan dari Belanda.

Di jaman Orde Baru, Soeharto berhasil merubah perilaku rakyat untuk terus meningkatkan karya-karyanya di segala bidang.  Sehingga pembangunan hampir di segala bidang berjalan dengan baik.  Dan duniapun kagum akan cara kepemimpinan Soeharto melakukan transformasi pembangunan Indonesia.

Terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh Soekarno dan Soeharto, harus diakui bahwa mereka adalah pemimpin yang memahami perasaan masyarakat saat itu. Dan mencoba untuk mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan apa yang diingini rakyatnya. Soekarno dan Soeharto telah menjadi inspirator perubahan perilaku rakyat saat itu.

Sementara saat ini, perasaan rakyat sudah sangat muak akan perilaku korupsi dan cara-cara partai politik memainkan anggaran negara untuk kepentingan pribadi dan partai politik. Karena itu kita butuh pemimpin yang bisa menginspirasi kita semua untuk benar-benar tidak melakukan korupsi. Struktur, strategi, manajemen anti korupsi tidak akan berarti banyak kalau kita tidak memperoleh pemimpin yang benar-benar menjadi inspirator untuk perubahan perilaku anti korupsi.

Kita tentu saja berharap melalui pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 akan muncul pemimpin seperti itu. Mudah-mudahan ada pemimpin yang bertindak semata untuk perasaan rakyatnya.!!!!

*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA