"Dampak dari
free trade, ya memang semacam ini. Siapa bermodal besar tentunya bisa punya pengaruh lebih besar di pasar," jelas tokoh pemuda Jakarta, Rommy (Jumat, 20/12).
Untuk itulah, menurut bekas aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) ini, diperlukan peran negara untuk menyeimbangkannya dengan mengusung tema
fair trade. Mengupayakan agar pemain kecil juga bisa ikut menikmati dan bermain juga. "Misal, pemain besar bisa merangkul petani-petani dengan membeli dengan harga yang menguntungkan petani, lalu menjual juga dengan harga yang wajar," ungkap calon anggota DPD dari Jakarta ini.
Dia menjelaskan, dalam hal ini Vietnam layak dicontoh. Di negara tersebut, bisnis retailer membuat program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan cara melatih petani agar hasil panennya punya kualitas bagus, bersih, sehingga pihak retailer bisa membeli hasil dari petani kecil ini untuk dipasok di supermarket/mini market mereka. Ini yang dinamakan simbiosis mutualisme, dan ada pemenuhan tanggung jawab sosial dari pihak corporate.
"Nah, fungsi
corporate yang baik semacam ini kan seribu satu lah kita temukan alias langka. Untuk itulah, fungsi pasar tradisional masih menjadi andalan bagi petani-petani kecil dan lokal untuk menyalurkan hasil panennya," imbuh Rommy.
Untuk memproteksi petani kecil dan lokal serta pedagang di pasar tradisional, peran pemerintah di Jakarta sangat diperlukan. Yang utama adalah melestarikan keberadaan pasar tradisional. Selanjutnya, mengembangkan/merevitalisasi pasar, yang tadinya terkesan kumuh, becek, lecek, yang membuat orang malas untuk berbelanja di pasar.
"Jika dibuat bersih, nyaman dari terpaan hujan/panas, pasar tradisional bisa jadi nyaman untuk tempat tongkrong banyak orang. Ini tentunya kebijakan
pro-poor yang sangat riil, berpihak pada pedagang kecil, petani kecil dan lokal, serta masyarakat," demikian Rommy.
[zul]
BERITA TERKAIT: