Mengeja Akar dan Realitas Penindakan Terorisme di Indonesia (3)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/harits-abu-ulya-5'>HARITS ABU ULYA</a>
OLEH: HARITS ABU ULYA
  • Kamis, 24 Oktober 2013, 15:33 WIB
Mengeja Akar dan Realitas Penindakan Terorisme di Indonesia (3)
ilustrasi/net
DALAM buku Root Causes of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, Tore Bjørgo menawarkan sebuah tipologi yang dapat digunakan untuk memahami faktor-faktor penyebab terorisme. Bjørgo membedakan antara dua kategori penyebab dalam tipologinya, yaitu preconditions of terrorism dan precipitants of terrorism. Preconditions (prekondisi) adalah faktor-faktor yang menyediakan kondisi-kondisi yang dalam jangka panjang kemudian melahirkan terorisme.

Sementara itu, precipitants of terrorism adalah peristiwa atau fenomena spesifik tertentu yang secara langsung mendahului atau memicu terjadinya sebuah tindak terorisme. Dalam konteks ini, kondisi domestik dan situasi internasional masa Orde Baru sebagai faktor-faktor struktural, fasilitator (akselerator) dan juga motivasional penyebab aksi "terorisme" oleh anggota kelompok DI/NII dan turunannya seperti Al Jama’ah Al Islamiyah (JM/JI) serta sempalan maupun simpatisannya.

Jadi fenomena terorisme bukan sekedar problem kultural; interpretasi teks langit maupun tek historis (dinamika politik domestik yang represif dan memarginalkan kelompok puritan) yang berbuah sikap dan tindakan.Tapi juga problem rasional; faktor politik global dan domestik serta langkah-langkah penanganan teror yang tidak humanis.Penanganan teror yang terjadi membuat luka "dendam". Karena "demonstrasi" ketidakadilan dan sikap arogansi aparat (Densus 88) menjadikan dendam mengendap dalam skala komunal.

Selain faktor kesejarahan dan ideologi, faktor kebijakan negara yang sangat repressif terhadap kelompok Islam juga dianggap berperan penting yang mendorong kelompok Islam berpotensi melancarkan aksi terror. Mohammed Hafez (2004) menegaskan, dengan kesimpulan mengambil contoh kasus terorisme kelompok Islam di Aljazair, bahwa represi yang brutal oleh rejim menjadi faktor terpenting yang melahirkan aksi-aksi teror dari kelompok Islam yang ditindas dengan kejam. Dalam sebuah moment dimana seluruh ruang untuk berpartisipasi tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, maka satu hal yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya yang paling ekstrim: terorisme.

Jadi langkah bijak untuk mereduksi bahkan mangaborsi terorisme di Indonesia adalah; pemerintah dengan sadar dan serius plus kapasitas dan instrumen yang dimilikinya bekerja menjawab faktor-faktor penyebabnya secara komprehensif.Meminjam sindiran cerdas Kurzman, di tengah hiruk-pikuk besarnya perhatian terhadap terorisme, dunia aslinya telah jauh lebih aman. Dalam tulisan bersama Neil Englehart: "Welcome to World Peace," (Social Forces, Volume 84, Number 4, June 2006), menyindir: Boleh jadi respon terbaik terhadap terorisme adalah membiarkannya!

Menurut Kurzman, serangan teroris jarang terjadi, dan korbannya tak banyak, dibandingkan dengan korban perang saudara, pembunuhan, atau kecelakaan lalu lintas. Pada tingkat dunia, terorisme hanya menimbulkan sedikit korban. Mengutip data World Health Organization (WHO);bahwa 150.000 orang mati setiap hari. Sementara Pusat Lawan-Terorisme Nasional Amerika Serikat mengatakan jumlah orang yang mati karena terorisme kelompok Islamis adalah kurang dari 50 nyawa perhari, dan tak sampai 10 di luar Irak, Pakistan, dan Afghanistan.

Bandingkan angka-angka di atas dengan 1,500 orang yang mati setiap hari karena kekerasan sipil, 500 karena perang, 2.000 karena bunuh diri, dan 3.000 karena kecelakaan lalu lintas. Malahan, ada 1.300 orang per hari yang mati karena gizi buruk. Korban malaria juga banyak. Kalau tujuannya adalah menyelamatkan nyawa manusia, lebih baik uang digunakan untuk beli kelambu daripada perang melawan teror (Charles Kurzman, The Missing Martyrs; Why They Are So Few Muslim Terrorists, New York: Oxford University Press, 2011).

Selanjutnya, gangguan yang ditimbulkan terorisme sebagian besar timbul karena pemberitaan yang berlebihan. Kelompok teroris dan media "bekerjasama" dalam hal ini. Ketika banyak masalah lebih penting, mendesak, dan menyangkut nyawa lebih banyak manusia perlu ditangani, sementara sumberdaya sangat terbatas, kenapa terobsesi dengan terorisme? (Englehart-Kurzman 2006, 1957; Kurzman 2011).Bagaimana dengan Indonesia? Berapa ribu orang meninggal dijalan tiap tahunnya? Belum lagi karena faktor malnutrisi dan sebagainya.

Maka rasanya sangat timpang jika fokus di law enforcement dan tindakan deradikalisasi dengan paradigma yang tendensius tapi mengabaikan faktor domestik dan global yang interpendensi. Justru langkah-langkah penindakan yang  berakibat sekitar 900 orang yang ditangkap dan 110 orang lebih meninggal (exstra judicial killing) tanpa mengindahkan koridor-koridor hukum yang berlaku itu sama artinya melestarikan teror dan terorisme di Indonsia.

Dengan pendekatan metodologi analisis (framework rasional) juga mengharuskan adanya evaluasi terhadap dua strategi pokok langkah kontra-terorisme yang diemban oleh Densus88 dan BNPT. Jika tidak, maka saya mengeja fenomena terorisme di Indonesia tidak akan pernah ada ujungnya. Terorisme di Indonesia disamping ada dimensi ideologi, namun juga memuat kepentingan "proyek" ekonomi, politik bahkan terkait "maslahat" temporal kaum opuntunir. Dan Indonesia akan menjadi lahan subur reproduksi "teroris" baik oleh jaringan (target kontra terorisme) dalam rangka menuntut balas (qishas) maupun permainan intelijen gelap untuk menjaga "proyek" kontra terorisme eksis keberlangsungannya. (Selesai)

Penulias adalah pemerhati kontra-terorisme dan Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA