Karena menempatkan kelompok-kelompok radikal secara general sebagai ancaman aktual dan potensial. Pendekatan soft-power-nya melahirkan kontraksi pemikiran dan membuat kutub radikal-liberal makin kontradiksi diametrikal. Padahal menurut Joseph K Nye, dalam bukunya "Softpower" (2008), strategi ini mengandalkan persuasi daripada kekerasan, fisik maupun kata-kata.
Sejauh pengamatan saya, baik BNPT dengan satgas penindakannya maupun Densus 88, tersirat lebih condong hanya menggunakan hard-power. Dan pendekatan
hard power yang mengesampingkan kaidah-kaidah hukum makin membuat antipati dan distrush terhadap nilai keadilan.
Maka belajar dari kasus-kasus teror yang muncul di tiga tahun terakhir, sejatinya lebih dominan sebagai bentuk respon dan interaksi antara pelaku teror terhadap pemerintah dalam hal ini institusi kepolisian RI. Dan dendam menjadi stimulan meski "doktrin" agama tetap menjadi bumbu pelengkap dari pilihan aksi teror yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang.
Dari perspektif ini saya melihat beragamnya kelompok Islam yang dicap radikal tidak otomatis mereka adalah kontributor bahkan menjadi inspirator utama lahirnya tindakan terorisme. Kelompok radikal sendiri dinamika perjuangannya dalam dua arus besar, radikal pemikiran dan ada yang radikal fisik atau aksi. Tidak pasti sebangun dan korelatif bahwasanya individu dan atau kelompok yang radikal pada aspek pemikiran kemudian menjadi radikal dalam aksi atau tindakan. Meski keduanya ditemukan spirit yang sama bahwa eksistensinya seperti pandangan Amstrong sebagai respons terhadap sergapan sekularisme dan modernitas yang agresif, yang dianggap bukan saja meminggirkan agama sebagai sekadar urusan pribadi tetapi juga untuk memelihara agama dari pemusnahan oleh sekularisme dan modernitas itu (Karen Amstrong, 2001).
Maka tumbuhnya individu-individu dan kelompok-kelompok yang di cap radikal dengan ideologi yang dikembangkan maupun sikap bias dalam merespons perkembangan yang dianggap menyimpang dari agama hanyalah satu faktor disamping faktor-faktor struktural, kultural, dan situasional yang memicu lahirnya tindakan kekerasan terorisme. Jika memaksa memposisikan kelompok Islam radikal sebagai akar terorisme itu sama artinya terlalu over simplikasi dan generalisasi tanpa verifikasi secara rigid. Dan tidak salah jika kemudian kelompok radikal merasakan suasana psikologis terdzalimi secara sistemik baik dalam skala domestik maupun global.
Sebagai contoh di Indonesia cukup eksis; seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin (IM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah), JAT (Jamaah Anshorut Tauhid),FPIS, dan kelompok underground lainnya yang dianggap sebagai kelompok radikal dan antitesa dari kelompok sekuler liberal seperti; Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bermarkas di Utan Kayu dan kelompok lain yang memiliki agenda sama, seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Wahid Institute (WI), Perhimpunan dan pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Rahima, Fahmina (Cirebon), Forum Lintas Agama (FLA) Surabaya, LAPPAR Makasar dan lain-lain.
Namun yang perlu dicatat bahwa kelompok radikal diatas tidak otomatis akan melakukan aksi terorisme sebagai metode perjuangannya. Dengan kata lain, pemahaman terhadap
"social origin" sangat penting. Jika tidak, modus stereotyping BNPT dan Densus 88 kepada kelompok-kelompok Islam radikal hanya akan melahirkan apa yang disebut cendekiawan Universitas Oxford, Akbar Ahmed, sebagai ‘Hyper-Ashabiyah’ yang bersumber dari teori Ibn Khaldun tentang ‘Ashabiyah’ (Islam Under Siege, 2004).
Maka fenomena terorisme tetap dengan kompleksitasnya, tidak ada faktor tunggal yang menjadi pemicunya.Sekalipun di Indonesia tumbuh kelompok radikal yang mengambil metode "fisik" (seperti JM/JI) sebagai "manhaj" perjuangannya, tetap saja variabel pelengkapnya harus ada untuk bisa memunculkan sebuah aksi yang kemudian di cap sebagai "terorisme".
(Bersambung)Penulis adalah pemerhati kontra-terorisme dam Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA)
BERITA TERKAIT: