"Saya berpendapat jiwa Perppu adalah setara dengan UU, tapi bagaimanapun juga Perppu bukanlah UU," jelas pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Rabu, 23/10).
Yusril menjelaskan, Perppu diterbitkan Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Keberlakuannya pun terbatas sampai masa sidang DPR berikut. Kalau DPR setuju dengan Perppu tersebut, maka disahkan menjadi UU. Kalau DPR menolak, Perpu harus dicabut. Karena itu, mekanisme menguji Perppu ada pada DPR, bukan pada MK. Sifat "pengujian" oleh DPR lebih luas daripada MK.
"MK hanya menguji norma UU terhadap norma UUD. Kalau MK anggap bertentangan dengan UUD, MK berwenang membatalkan norma UU tersebut," imbuh Yusril.
Sementara "pengujian" oleh DPR dapat mempersoalkan sejauh mana validitas Perppu itu dilihat dari sifat kegentingan memaksanya. Kalau DPR menganggap sifat kegentingan memaksanya tidak ada, maka DPR dapat menolak pengesahan Perppu tersebut. "MK tidak dapat menguji hal seperti ini," tandas Yusril.
Kemarin, gugatan terhadap Perppu MK yang diajukan tiga orang pengacara, yakni Habiburokhman, Adi Partogi Simbolon, dan Didi Sunardi, sudah digelar. Sebelumnya, Habiburrokhman menilai Perppu MK tidak memiliki arah yang fokus. Perppu semestinya dikeluarkan oleh Presiden dalam keadaan genting dan mendesak. Sementara menurutnya, tidak ada unsur kegentingan yang memaksa di balik penerbitan Perppu MK.
[zul]
BERITA TERKAIT: