Eks Buruh Pabrik Kuali Tagih Janji Menteri Imin

Proses Hukum Penyekapan 34 Buruh Mandek

Selasa, 24 September 2013, 11:00 WIB
Eks Buruh Pabrik Kuali Tagih Janji Menteri Imin
ilustrasi, Eks Buruh Pabrik Kuali
rmol news logo Sudah hampir empat bulan kasus penyekapan yang dialami buruh pabrik kuali di Tangerang terungkap. Namun, proses hukum kasus itu belum juga digelar.

Kemarin, belasan orang yang pernah menjadi korban kekerasan di pabrik kuali, didampingi aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) angkat bicara. Mereka menagih janji Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar untuk membantu menyelesaikan persoalan yang menimpanya.

“Saya masih ingat ketika Pak Menaker berbicara bahwa kasus ini akan menjadi prioritas kerjanya,” kata Asep (21) dengan muka muram dalam jumpa pers di  Jakarta, kemarin.

Asep menilai, selama empat bulan kasus tersebut, tidak kunjung menemukan titik terang. Bahkan, dia mengkritik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) yang tidak tegas dalam menuntaskan dugaan keterlibatan oknum anggota TNI dan Polri yang diduga membekingi Yuki Irawan , bos pabrik kuali. Selain itu, dia juga mengkritik hasil penyidikan yang dinilainya tidak transparan.

Asep mengkritik Cak Imin, sapaan Muhaimin bahwa sang menteri terkesan lepas dari tanggung jawabnya. “Saya kecewa sama Pak Menteri,” curhatnya.

Dadan, buruh korban pabrik kuali lainnya, mendesak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dengan asistensi dan pengawasan penuh dari Kemenakertrans segera menetapkan eksekusi penetapan hak kepada YI. Dia juga meminta kepada Polresta Tangerang untuk menjelaskan secara terbuka mengenai hasil penyidikan kasus tersebut.
 
Dadan juga menuntut Propam Polri menjelaskan perkembangan pelaporan anggotanya sekaligus mendesak Kejaksaan Negeri Tangerang untuk menindaklanjuti hasil penyidikan Polresta Tangerang.

“Sudah empat bulan kasus ini seperti hilang,” ujar Dadang.

Seperti diketahui, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium tersebut dan membebaskan 34 buruh. Dari ke-34 buruh itu, delapan di antaranya berasal dari Lampung, seorang dari Sukabumi, seorang dari Bandung dan sisanya dari Cianjur, Jawa Barat.

Aktivis KontraS Syamsul Munir yang mendampingi para buruh pabrik kuali itu, menyatakan, Disnaker Tangerang telah melakukan penyidikan kasus ini, tetapi belum ada implementasi terhadap pemenuhan hak-hak para normatif buruh.

“Berkas penyidikan pidana oleh Polresta Tangerang telah diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Tangerang. Tetapi, belum ada kepastian kapan persidangannya,” ujar Syamsul.

Selain itu, lanjutnya, laporan warga sekitar pabrik kuali dan korban ke Propam Mabes Polri mengenai dugaan keterlibatan anggota Polri dalam kasus ini juga belum ditindaklanjuti.

Menurutnya, lambatnya proses hukum dan eksekusi telah memberikan kerugian bagi korban, di antaranya upah dan pesangon belum dibayarkan, barang-barang milik buruh belum dikembalikan, penyakit yang tidak diobati, pengalaman traumatis dan lainnya.
Pihaknya khawatir, lambatnya proses pidana akan menghilangkan tanggung jawab pelaku dan mengaburkan bukti-bukti.

“Kepentingan dan hak-hak para korban belum menjadi perhatian penuh Kemenakertrans. Meskipun sebelumnya Menakertrans pernah menyatakan akan memprioritaskan dan mengawal penyelesaian kasus ini,” cetusnya.

Tim advokasi buruh kuali meminta Kemenakertrans  mengambil alih kasus ini dari Disnaker Tangerang, yang dinilai lamban.

“Menteri harus turun tangan supaya kasus ini ada kejelasan. Kemenakertrans bisa memberikan mandat ke jajaran yang ada di bawahnya untuk mencari titik terang dalam persoalan ini,” tegas Syamsul.

Kepala Divisi Advokasi dan HAM KontraS Yati Andriyani menilai, apa yang dilakukan pemilik pabrik kuali terhadap para buruh jelas telah melanggar hukum. Di antaranya, pelanggaran pidana penganiayaan, perampasan kemerdekaan, pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan, dugaan pelanggaran hak-hak anak, serta dugaan adanya unsur perdagangan orang.

“Sampai sekarang uang lembur dan pesangon belum diterima oleh para korban. Barang milik korban yang dikuasai oleh pemilik pabrik juga belum dikembalikan dan masih banyak lagi. Ini harus menjadi evaluasi besar-besaran supaya kasus serupa tidak terulang kembali,” ungkap Yati.

Kuasa hukum buruh pabrik kuali dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rivai Kusumanegara menilai, pemilik pabrik yang kini menjadi tersangka tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa para buruhnya.

“Dalam satu dua hari ke depan, kami akan melakukan legal action apakah hukum akan berpihak kepada rakyat kecil. Kami juga akan mengejar unsur kepidanaan dan keperdataan,” ujarnya.

Yati mencontohkan, YI, sang pemilik pabrik, tidak mempunyai itikad baik saat Disnaker Tangerang mengeluarkan surat imbauan untuk memenuhi hak-hak para buruh. Namun, YI tidak menanggapi surat imbauan tersebut.

Petani Dan Buruh Siap Kepung Istana

Peringati Hari Tani Nasional

Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh hari ini (24/9) akan diisi dengan aksi demonstrasi. Rencananya, para aktivis kaum tani dan buruh akan menggelar aksi demo di depan Istana Negara.

Mereka akan menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap rakyat.

Ketua Indonesian Human Rights  Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan menyatakan, aksi turun ke jalan antara lain dilakukan sebagai gugatan terhadap Presiden SBY yang semenjak tahun 2004 menjanjikan reforma agraria melalui redistribusi tanah bagi petani tapi tidak dilaksanakan.

Alih-alih itu, Sensus Pertanian 2013 menyebutkan 5 juta Rumah Tangga Petani hilang, petani gurem terus bertambah. Sementara perusahaan pertanian justru meningkat 1.475 perusahaan. “Hal ini tentunya menjadi gugatan  bagi Presiden,” kata Gunawan.

Tak hanya kepada presiden, mereka juga menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan yang tidak berhasil menyediakan obyek tanah yang bisa diredistribusikan dan menyelesaikan konflik pertanahan di wilayah perkebunan dan kehutanan.

“kami juga menggugat DPR yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan fungsi legislatif untuk melahirkan undang-undang pelaksana reforma agraria,” tandasnya.

Aksi peringatan Hari Tani Nasional tahun ini akan difokuskan di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Denpasar, Malang, Surabaya, Palembang, dan Lampung. Selain berasal dari kaum tani, aksi ini juga didukung oleh gerakan-gerakan buruh dan mahasiswa.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, dalam peringatan Hari Tani Nasional tahun ini, kaum tani beserta buruh menyatakan menolak keras perampasan lahan dan liberalisasi pertanian.

“Saat ini petani mengalami perampasan lahan. Ini terus terjadi di berbagai daerah. Selain itu, bisa kita lihat bahwa jumlah petani kecil menurun, tapi jumlah perusahaan pertanian terus bertambah,” kata Iwan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kemarin.

Anggota Presidium Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh Budi Wardoyo mengatakan, saat ini buruh dan petani menghadapi persoalan yang sama. “Buruh dan petani sama-sama kehilangan pendapatannya akibat liberalisasi perdagangan. Sementara penguasa mulai represif terhadap kekuatan yang digalang rakyat,” cetusnya.

Sikap represif itu ditunjukkan dengan maraknya kekerasan terhadap kaum tani dan buruh. “Kekerasan ini adalah langkah pemerintah yang lebih pro kepada investor dan korporat. Kami tidak akan tinggal diam,” katanya.

Sekjen Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Dian Septi Trisnanti menyatakan, organisasinya mendukung aksi kaum tani ini. “Ke depannya kita akan bangun gerakan bersama melawan represivitas. Selama ini petani dan buruh dikorbankan dalam kebijakan investasi pemerintah,” kata Dian.

Tunda Pembahasan RUU PPILN Pasca Pemilu

Anggota DPR Sibuk Kampanye Di Dapil

Khawatir dengan menurunnya kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jelang Pemilu 2014, Migrant Worker Task Force mengusulkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri (RUU PPILN) ditunda hingga selesai pemilu.

Para aktivis dan buruh migran sangat mengharapkan RUU PPILN dapat memberikan kepastian bagi tenaga kerja di luar negeri untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Koordinator Migrant Worker Task Force Riawandi Yakub mengatakan, anggota DPR yang kembali mencalonkan lagi pada pemilu 2014 mulai sibuk. Termasuk para anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PPILN. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada kurang fokusnya kerja DPR dalam melakukan pembahasan undang-undang (UU) tersebut.

“Kami mengusulkan kepada Panja RUU PPILN dan Pemerintah untuk menunda sementara pembahasan hingga terpilihnya anggota DPR periode berikutnya, yaitu setelah pemilu 2014. Kami menganggap langkah ini akan sangat bijak mengingat tidak realistisnya penyelesaian pembahasan ini oleh DPR periode sekarang,” kata Riawandi dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Jika DPR dan pemerintah memaksakan pembahasan RUU tersebut, dia khawatir, UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan publik.  Akibatnya, hasil tersebut akan mengundang reaksi publik untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia menerangkan, proses revisi UU No.39 Tahun 2004 tersebut, sudah masuk prolegnas sejak tahun 2010. Namun, selama dua tahun berturut-turut RUU ini tidak juga dibahas. Dari daftar invetarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah, masih belum tampak jelas terobosan dalam upaya perlindungan pekerja migran Indonesia.

Menurut Riawandi, pemerintah tidak menggunakan Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya yang telah diratifikasi sebagai dasar penyusunan DIM RUU PPTKLN.
 
“Padahal pemerintah diharapkan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi perundang-undangan nasional dengan merujuk konvensi yang sudah diratifikasi sebagai dasar dari pembuatan kebijakan,” kata Riawandi.

Aktivis Koalisi Gelar Konvensi Tandingan
Tolak Pelaksanaan UN

Menjelang digelarnya konvensi pendidikan yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kritikan dari kalangan aktivis datang bertubi-tubi. Bahkan, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP) membentuk konvensi tandingan.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti yang juga anggota KRP menyatakan, konvensi pendidikan versi Kemdikbud yang digelar 26-27 September 2013 bisa dipastikan untuk melanggengkan pelaksanaan UN. Sementara konvensi yang digelar KRP ditujukan untuk mengevaluasi UN yang sudah dilaksanakan selama 10 tahun terakhir.

“Banyak pihak memang memandang konvensi yang kita gelar ini merupakan tandingan konvensi yang akan digelar Kemendikbud,” jelas Retno di Jakarta, kemarin.

Dia menyebutkan, dalam konvensi yang mereka gelar akan ada evaluasi satu dasawarsa pelaksanaan UN. Seperti tingkat kelulusan UN yang nyaris selalu sempurna, yaitu di kisaran 95 persen sampai 99 persen lebih. “Kami ingin mengevaluasi apakah pelaksanaan UN ini perlu dilanjutkan atau tidak,” kata Retno.

Dia juga mempertanyakan apakah selama ini UN benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. “Jika bisa meningkatkan mutu pendidikan, kami mendukung UN terus dilaksanakan,” ujarnya.

Sebaliknya, jika hasil konvensi menyebutkan UN tidak bisa mendongkrak kualitas atau mutu pendidikan, maka UN wajib dihentikan. “Pemerintah harus legawa dan menerima pandangan masyarakat pendidikan bahwa UN sudah tidak perlu dilanjutkan lagi,” tekannya.

Selama ini, ungkap Retno, pemerintah mengklaim bahwa UN sudah berhasil dengan meluluskan siswa-siswinya dengan tingkat kelulusan sangat tinggi, namun kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan.

“Tapi faktanya mutu pendidikan kita tak beda jauh dengan Palestina yang hingga kini masih didera konflik berkepanjangan,” kritiknya.

Konvensi yang digelar KRP ini akan menghadirkan sejumlah narasumber yang bakal memaparkan data-data riset terhadap UN. “Para narasumber akan mengungkap dampak buruk UN dari beragam perspektif. Evaluasi sedetail-detailnya mendesak dilakukan agar bangsa ini tidak terus-menerus melakukan kesalahan dalam kompetisi peningkatan mutu pendidikan,” tandasnya.

Ketua Pelaksana Konvensi Pendidikan Kemdikbud Bambang Indrianto menyatakan, pihaknya terbuka dengan berbagai kalangan yang berpandangan berbeda tentang UN.

“Bagi kami, mereka yang berbeda pendapat terhadap UN bukan anti UN, tetapi perbedaan perspektif saja memandang UN. Saya kira diperlukan rekonsiliasi agar perbedaan ini dapat dijembatani,” ujarnya.

Dia juga menyatakan, pihaknya akan mengundang berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis yang menggelar konvensi tandingan tersebut pada konvensi pendidikan yang digelar Kemdikbud. “Pada Konvensi Nasional UN tanggal 26-27 September nanti mereka juga kami undang,” tukasnya.

Melalui konvensi tersebut, Kemdikbud mencoba menggali masukan dari masyarakat untuk memodifikasi UN, mulai dari komposisi kelulusan dari UN dan rapor hingga wewenang pelaksanaan teknis UN apakah tetap di pusat atau diserahkan ke daerah.
Kemdikbud sendiri berpendapat bahwa UN terus dijalankan karena sudah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA