Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Republik "Fentung" dan "Fadut"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Selasa, 24 September 2013, 17:23 WIB
Republik "Fentung" dan "Fadut"
PADA acara dialog budaya berjudul “Sang Parama Purnama” di iCan StudioLive baru lalu, perupa Teguh Ostenrik menampilkan lukisan unik dengan judul “Republik Fentung”.  Dijelaskan oleh Teguh, perupa yang sudah membawa karya-karyanya melalangbuana ke beberapa benua, bahwa sejak reformasi banyak sekali perbedaan pendapat diselesaikan dengan pentung dilengkapi dengan teriakan-teriakan dan caci maki.

Tragisnya lagi kelompok yang membawa pentung tersebut seringkali menggunakan jubah dan simbol keagamaan, nasionalisme, militer, pekerja, akademisi.  Bahkan ada juga yang dilengkapi dengan teriakan teriakan bahasa Arab.  Itu sebabnya Teguh mengekspresikan lukisannya dengan nama Republik Fentung.

Pentung digunakan saat menolak aliran Ahmadiyah, perselisihan Sunni-Syiah, penolakan atas pembangunan gereja, sengketa pilkada, sengketa tanah, ketidakpuasan atas putusan pengadilan, bahkan dalam kongres sepakbola.
Konlfik menyangkut sumber daya alam dan agraria saja, menurut salah satu LSM HuMa, mencapai angka 232 konflik sampai tahun 2012. Konflik tersebut  berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik ini mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu km2. Diperkirakan sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik sumber daya alam dan agraria.

Anehnya negara hampir selalu kalah dengan organisasi kelompok yang membawa pentung dan membuat kekhawatiran sebagian besar masyarakat di negara ini. Tidak jarang kelompok pembawa pentung tersebut malah membuat masalah baru.

Hasil jajak pendapat salah satu media memperlihatkan peningkatan jumlah orang yang merasa tidak puas terhadap pemerintah dalam hal pemberian rasa aman.  Bahkan di bulan April 2013 angka ketidakpuasan publik mencapai angka 64.6 persen.

Di samping pentung, politisi dan birokrasi di negara ini seringkali berperilaku seperti badut.  Kebijakan untuk mengukur kelamin dan payudara siswa, diselipkannya pelajaran tentang seksual di buku tingkat sekolah dasar, kontroversi kebijakan mobil murah, kontroversi mundur tidaknya pejabat negara yang ikut konvensi Partai Demokrat, kontroversi kebijakan impor kedelai, sampai penolakan Ruhut Sitompul sebagai Ketua Fraksi III di DPR.

Para badut politisi di DPR, yang mestinya mengawasi jalannya pemerintahan malah seringkali terlibat dalam tindak pidana korupsi. Saking banyaknya, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "mendaulat" DPR sebagai lembaga yang paling korup di Indonesia. Bahkan mungkin satu-satunya lembaga legislatif yang secara aktif terlibat korupsi di dunia.

Berdasarkan Indeks Korupsi Birokrasi, selama lima tahun berturut-turut, DPR meraih predikat lembaga terkorup. Dan hanya di Indonesia, dapat ditemukan parlemen yang korupsi  terus menerus sejak 2009. Padahal mereka adalah pembuat undang-undang negara, persetujuan anggaran dan pengawas jalannya pemerintahan.
 
Segala macam perilaku politisi tersebut sangat memprihatinkan dan memang layaknya dilakukan oleh para pelawak karena membuat geli kebanyakan rakyat di negeri ini.  Saking lucunya para badut politisi tersebut mampu membuat kumpulan pelawak murni Srimulat terpental dari Senayan. 

Acara “Sang Parama Purnama” sendiri adalah sebuah peristiwa budaya. Selain perupa Teguh Ostenrik, juga tampil beberapa pemusik seperti Fariz RM, Idang Rasidi, dan gitaris klasik Imam Prabowo. Dari perspektif budaya, sempat dilontarkan pemikiran bagaimana menjadikan politisi sebagai manusia yang berbudaya dengan berfikir kreatif, tetap kritis, menyampaikan pendapat dengan elegan, bersih, tidak korup, serta menjadikan pemilihan umum sebagai puncak pesta budaya politik Indonesia.  Pemilihan umum bukan sekadar pesta politik yang penuh janji dan transaksi uang untuk meraih suara, melainkan menjadi karya budaya politik seluruh bangsa Indonesia.

Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar pemilihan umum menjadi karya budaya agung bangsa Indonesia yang kita banggakan. Pertama adalah mendorong pemilih pemula untuk secara aktif berpartisipasi dalam pemilihan umum 2014, serta memberi kesempatan bagi pemilih untuk melakukan monitoring dan koreksi atas segala janji politisi.

Kedua, para politisi yang akan dicalonkan menjadi anggota parlemen, baik pusat maupun daerah, harus telah mengikuti pembekalan politik selama satu tahun oleh setiap partai dan juga yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sudah bukan saatnya lagi rakyat diberi pilihan anggota parlemen karena popularitas seseorang. Tetapi juga karena kualitas dalam berpolitik.

Ketiga, dalam pertarungan antara calon Presiden dan Wakil Presiden masing-masing kandidat harus membuat simulasi jelas tentang RAPBN pada saat kampanye. Karena dari sana sangat jelas terlihat program keberpihakan setiap kandidat pada rakyat.  Buatlah rakyat menjadi lebih cerdas dalam pengelolaan manajemen APBN dan APBD.  Dari sanalah setiap kepala negara dan kepala daerah bisa diukur keefektifannya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Keempat, dalam hal ideologi setiap kandidat parlemen dan calon Presiden/Wakil Presiden atau kepala daerah perlu menyajikan program merajut ideologi yang telah dibingkai oleh bapak bangsa negara ini.  Karena di sanalah letak roh dan jiwa bangsa Indonesia.

Perupa Teguh Ostenrik menyatakan bahwa sebenarnya kesenian adalah refleksi dari keadaan sosial politik di mana seniman itu hidup. Tapi seniman bukanlah seorang jurnalis yang pintar membuat “head lines”. Karya seniman bukan yang tersurat, tetapi yang tersirat.

Karena itu produk pemilihan umum dan pemilihan Presiden juga sebuah karya tersirat bangsa Indonesia. Janganlah kita jadikan pemilihan umum dan pemilihan Presiden sebagai perebutan kekuasan. Melainkan jadikanlah peristiwa ini sebagai karya budaya kita bersama. Karya budaya bangsa Indoensia yang akan terparteri dalam sejarah perjalanan negara ini. Sehingga kita dikenal sebagai Republik berbudaya dan berdaya, bukan lagi Repubik Fentung dan Fadut. 

Semoga !!!!

Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA