Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lima Skenario Pemilihan Presiden

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ichsanuddin-noorsy-5'>ICHSANUDDIN NOORSY</a>
OLEH: ICHSANUDDIN NOORSY
  • Senin, 16 September 2013, 06:53 WIB
Lima Skenario Pemilihan Presiden
ichsanuddin noorsy/net
SEJURUS Pramono Edhie Wibowo (PEW) dilantik menjadi Pangkostrad, pada November 2009 dalam acara "Apa Kabar Indonesia Pagi" tvOne, saya memprediksi bahwa yang bersangkutan akan dinominasikan Cikeas sebagai Capres atau Cawapres setelah menduduki posisi KSAD atau Panglima TNI.

Prediksi saya jadi kenyataan. Mungkin atas dasar itu seorang wartawan media asing bergengsi datang pada saya bertanya bagaimana skenario 9 Juli 2014. Karena wawancara itu diterbitkan media tersebut untuk pelanggan eksklusifnya, maka skenario 2014 saya kira tak ada salahnya disampaikan terbuka.

Melihat dinamika ekonomi politik internasional, regional dan nasional, terdapat lima skenario politik yang akan mewarnai perebutan kursi RI-1.

Pertama, strategi dan pengaruh negara adidaya tentang capres/cawapres yang dikehendakinya. Dalam catatan saya sejak pertengahan tahun lalu melalui iklan dan kegiatan tanggung jawab sosial korporasi, iklan kegiatan sosok tertentu dan penjaringan pendapat masyarakat tentang beberapa tokoh, negara adidaya itu telah "memasarkan" tokoh-tokoh tertentu.

Di saat yang sama, tokoh-tokoh yang tidak masuk "dipasarkan" melalui industrialisasi survei didekati dengan beragam cara. Mereka diajak bicara tentang kebutuhan Indonesia seolah orang-orang asing itu, atau pemasar kepentingan asing itu lebih mengetahui tentang Indonesia.

Pendekatan ini tentu tidak dilakukan sendiri. Lembaga-lembaga keuangan multilateral pun bersinergi demi kehadiran our man in Jakarta. Mudah ditebak kenapa mereka demikian. Yakni kepentingan ekonomi sebagaimana Bung Karno menyatakan bahwa soal penjajahan adalah soal untung rugi ekonomi. Menariknya skenario pertama ini karena acapkali media massa terseret (sadar atau tidak, ada kepentingan bisnis atau tidak) dalam memasarkan tokoh-tokoh yang mereka kehendaki. Sebagaimana peristiwa 2004 dan 2009, media berhasil membentuk opini publik tentang siapa yang pantas dan memenuhi syarat jadi pemimpin.

Kedua
, partai mencalonkan sendiri tokohnya dengan mempertimbangkan elektabilitas. Persoalan ini belum tuntas disebabkan ambang batas suara untuk pencalonan presiden belum diputuskan DPR. Tapi bisa diduga partai-partai apa yang akan berkoalisi jika perolehan suara mereka pada pemilihan legislatif tidak memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. PD misalnya, akan lebih nyaman berkoalisi dengan PAN dan PKB. Sementara PDIP dan PG berkeyakinan mampu mencalonkan sendiri tokohnya walau mereka membuka diri untuk berkoalisi. Pernyataan PDIP dalam Rakernas mengarah ke dua bentuk itu.

Demikian juga pernyataan Aburizal Bakrie. Yang jelas dengan ramainya baliho para Capres di berbagai daerah dan gencarnya iklan-iklan tokoh berselubung ragam hal di televisi, radio dan media cetak, skenario kedua ini bertujuan peningkatan daya tawar para tokoh kepada masyarakat dan kepada sesama Capres lainnya. Intinya, kalau pun tidak dapat kursi nomor satu atau nomor dua, maka kursi menteri sudah harus lebih pasti.

Kondisi seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra pada 2009-2014 adalah contoh yang patut dihindari, menurut skenario ini. Yang juga penting, skenario kedua ini tetap dipengaruhi pihak asing untuk kursi-kursi menteri tertentu. Dalam catatan saya, merujuk pengalaman dan pengetahuan politik, terdapat tujuh kursi menteri yang signifikan dipengaruhi asing. Yakni Kementerian-kementerian Keuangan, ESDM, Perdagangan, Perindustrian, Kehutanan, Pertahanan, dan Kementerian Luar Negeri. Sebenarnya mereka juga peduli dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Namun selama yang duduk di dua pos kementerian ini mudah didekati, mereka akan merasa nyaman. Ini berarti koalisi atau tidak koalisinya para partai lagi-lagi dipengaruhi pihak asing.

Ketiga, adalah koalisi nasionalis sekuler dengan nasionalis pragmatis. Skenario ini terlihat pada upaya mendampingkan ARB dengan Jokowi, ARB dengan PEW, atau Jokowi dengan PEW, atau ARB dengan PEW. Yang jelas, media massa dan lembaga survei mengarahkan publik kepada Jokowi, entah sebagai Capres atau Cawapres.

Keempat, koalisi nasionalis dengan partai Islamisme. Skenario ini berpandangan pada pentingnya kaum nasionalis bergandeng tangan dengan partai Islamisme yang nasionalis seperti PKB, PPP, dan PBB. Pasangan Jokowi dengan Mahfud MD, misalnya, dipandang cukup menarik. Sementara menyandingkan Jokowi dengan Jusuf Kala juga tidak kalah penting dengan argumen tentang kelebihan Jusuf Kala dalam bidang ekonomi dan pengalaman sebagai Wakil Presiden 2004-2009.

Kelima, koalisi partai Islamisme. Koalisi ini hampir tidak mungkin karena sulitnya menyatukan kelompok Islam sendiri. Tapi patut dipertimbangkan jika ditemukan tokoh Islam yang mampu menyatukan mereka.

Dari semua skenario itu, sebenarnya model demokrasi Barat yang diimpor ke Indonesia ditentukan oleh lima hal: (1) lembaga survei (pembuat jajak pendapat), (2) biro iklan beserta public relations, para lobbis dan lembaga swadaya masyarakat, (3) media massa, (4) partai politik dan (5) pemodal.

Oleh Joe Klein, penulis kolom politik di majalah Time sejak 1964 dan kini menjadi tangan kanan Rupert Murdoch, kelima hal itu yang membuat demokrasi Barat menjadi semu. Saya menyebutnya, kelima ha itu yang membuktikan bahwa demokrasi Barat ditentukan oleh para bandar, pemilik modal sehingga keberlakuan neoliberal adalah sebuah keniscayaan.

Jika demikian, maka pendapat Amien Rais bahwa politik di Indonesia masih dominan tentang orang memang tak bisa dipungkiri. Namun politik praktis sendiri selalu memasalahkan siapa berkuasa apa, bukan apa dikuasai siapa. Dalam hal ini, pendekatan kuantitatif lembaga survei dan cara bersikap media massa cetak tidak bisa diabaikan namun bukan hal utama guna mengendalikan dan mendidik masyarakat. Yang jelas kerja nyata adalah lebih penting ketimbang menjaga dan mengembangkan citra dan kata-kata.

Dalam perspektif itulah lima skenario tidak bersifat limitatif, tapi justru alternatif dan kumulatif. Maka persoalannya menjadi, apakah pemilu 2014 akan mengulang substansi pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang berujung pada semunya otoritas kekuasaan dalam keberpihakan pada penegakkan harkat martabat bangsa dan dalam upaya ekonomi menolong diri sendiri (self help economics).

Jika melihat kebijakan dan kondisi ekonomi bangsa akhir-akhir ini, agaknya 2014 belum menyingkirkan awan penjajahan ekonomi kecuali pemimpinnya memang teguh, tangguh dan teduh dalam menegakkan amanat konstitusi. Akankah demikian ? Kita akan lihat dan saksikan. [***]

Penulis adalah pengamat ekonomi-politik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA