Kalimat di atas adalah penggalan lagu "Indonesia Rumahku" karya Wieke Gur yang diaransir oleh Almarhum Elfa Seciora dan pernah direkam tahun 2009. Pada acara Diaspora baru lalu, lagu tersebut sempat dinyanyikan kembali oleh peserta Konferensi Diaspora.
Kalau kita mengamati perkembangan Indonesia saat ini, maka pertanyaan yang ada di benak kita adalah benarkah Indonesia telah menjadi rumah kita sendiri. Mari kita simak lelucon yang beredar di masyarakat melalui SMS atau surel ini setiap kali kita menyambut Hari Kemerdekaan RI yaitu tanggal 17 Agustus.
Bangun tidur kita minum AQUA, produk air mineral yang sebagian besar sahamnya milik Danone dari Perancis. Atau minum Teh Sariwangi yang dimiliki Unilever Ingris. Kalau kita minum susu SGM, ternyata sebagian besar saham Sari Husada punya Numico dari Belanda.
Habis minum pagi, kita mandi pakai sabun LUX dan sikat gigi PEPSODENT. Itu juga milik Unilever Ingris. Sarapan pagi beras dan gula juga di impor. Dan keluar rumah naik kendaraan yang didominasi perusahaan Jepang, Eropa bahkan Malaysia.
Perlengkapan AC, TV, Sound System maupun komputer juga buatan Cina, Jepang, Korea, AS. Dan kita tidak pernah lepas dari telepon genggam cerdas buatan AS, Eropa, Cina, Jepang, Korea dengan menggunakan jaringan XL, Telkomsel, Indosat yang saham-sahamnya juga dimiliki oleh perusahaan asing.
Daftar barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari yang telah dimiliki perusahaan asing bisa lebih panjang. Kalau kita beralih ke sumber daya alam, seperti minyak, kelapa sawit, pertambangan, pertanian, peternakan. Ternyata pemiliknya juga banyak perusahaan asing.
Dalam dunia pendidikan, banyak akademisi dari universitas di luar negeri memanfaatkan Indonesia sebagai tempat penelitian. Begitu banyak publikasi ilmiah bertaraf internasional tentang Indonesia telah buku pegangan utama bagi siswa siswa di seluruh dunia. Sementara akademisi kita masih sangat terbatas yang telah mempublikasikan karya-karyanya secara internasional dan menjadi buku pegangan di perguruan tinggi internasional.
Dengan demikian kita harus jujur melihat bahwa Indonesia memang tetap rumah kita. Tetapi rumah Indonesia hanya kita jadikan tempat tinggal, bukan tempat ke arah kehidupan yang lebih baik untuk diri kita sendiri.
Kita patut bertanya mengapa ini terjadi. Apakah setelah 68 tahun merdeka, arah pembangunan sudah menuju pencapaian cita-cita kemerdekaan yaitu kesejahteraan bagi bangsa Indonesia? Benarkah model dunia usaha seperti ini yang dulu diimpikan oleh para perintis kemerdekaan RI? Benarkah model pendidikan yang kita terapkan sekarang?
Untuk menjadikan Indonesia sebagai rumah bagi masyarakat Indonesia dibutuhkan pemimpin transformasional dan bukan pemimpin transaksional. Sayangnya, sistem demokrasi terbuka dalam memilih kepemimpinan nasional dan daerah sekarang ini malah membuka peluang bagi munculnya pemimpin bersikap transaksional.
Lee Kuan Yew dan Deng Xiaoping adalah contoh dua pemimpin yang berhasil melakukan transformasi Singapore dan Cina menjadi salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Saat mulai memimpin Singapore, Lee Kuan Yew sadar bahwa Singapore bukanlah negara yang memiliki potensi pasar dan sumber daya alam tinggi. Strategi pembangunannya adalah berorientasi pada sumber daya manusia (People Oriented). Yaitu SDM yang taat hukum dan terampil hingga tingkat dunia.
Sementara Deng Xiaoping juga memulai transformasi Cina dengan melakukan reformasi pendidikan secara besar-besaran. Kualitas pendidikan berdaya saing global dipercepat dan disparitas pelayanan pendidikan dikurangi dengan memperluas akses pendidikan hingga ke desa-desa.
Dalam hal riset dan teknologi, Cina serius mengembangkan kemampuannya melalui dua program utama. Pertama "Spark Program" (Xinghuo) yang fokus pada inovasi teknologi pertandian agar ekonomi pedesaan bisa lebih cepat maju. Kedua "Torch Program" (Huoju) yang fokus pada pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi.
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi, salah satu strategi Cina adalah menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus di beberapa daerah dengan kekhususan tertentu. Shenzen khusus untuk industri teknologi informasi, peranti lunak, mikroelektronik. Shantau dikhususkan untuk industri petrokimia, farmasi. Pudong khusus untuk industri keuangan, perdagangan, biofarmasi.
Keberhasilan Cina membangun kawasan ekonomi khusus dimulai dari pendelegasian yang tegas kepada pemimpin daerah untuk mengatur sendiri kebijakan yang akan dikeluarkan. Target dari pemerintah pusat adalah agar investor asing bersedia berinvestasi secara besar-besaran. Pemerintah pusat Cina membantu dengan membangun infrastruktur transportasi baik darat, laut dan udara serta pengurangan pajak perusahaan sebesar 15 persen. Sementara pemerintah daerah mempermudah birokrasi yang lebih cepat dan efisien
Yang paling menarik antara Cina dan Singapore adalah komitmen pemanfaatan teknologi informasi untuk peningkatan layanan di sektor pemerintahan. Dalam hal ini Cina memiliki komitmen dalam program "Golden Project" di awal tahun 1990 an. Beberapa area yang menjadi fokus Cina terutama dalam pengembangan informasi superhighway, sistem online di sektor perbankan, bea dan cukai, pajak; upaya peningkatan keamanan lewat internet, juga membantu pejabat untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat melalui program berbagi informasi.
Singapore juga punya program peningkatan pemanfaatan teknologi informasi yang disebut dengan "Intelligent Island" di mana pemanfaatan teknologi informasi merasuk ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dunia kerja, pendidikan bahkan untuk permainan saat waktu luang. Setelah 99 persen kota Singapore terjangkau dengan infrastruktur superhighway, maka belakangan program ini disebut Singapore ONE atau "One Network for Everyone".
Baik Singapore maupun Cina, berhasil membangun negaranya sebagai rumah bagi peningkatan kehidupan masyarakatnya. Pendapatan per kapita Singapore diperkirakan mencapai 48.595 dolar AS per kapita. Cina sudah mencapai 5.343 dolar AS per kapita. Indonesia masih di sekitar angka 3.452 dolar AS per kapita. Pengamat ekonomi menyatakan apabila perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 7 persen per tahun maka kondisi ekonomi seperti Malaysia dengan pendapatan per kapita sebesar 9.659 dolar AS per kapita baru akan dicapai Indonesia pada tahun 2035. Ini sangat lama.
Karena itu Indonesia perlu memiliki pemimpin transformasional yang berbasis pada pengembangan Sumber Daya Manusia, penegakkan hukum, dan komitmen ekonomi kerakyatan yang didukung dengan pemanfaatan teknologi informasi di segala sektor. Tugas utamanya adalah membangun kembali rumah Indonesia untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pertanyaannya adalah dengan sistem demokrasi terbuka sekarang ini apakah kita bisa memiliki pemimpin transformasional yang mampu membangun Indonesia sebagai rumahku? Jangan-jangan yang akan muncul kembali adalah pemimpin transaksional yang tidak perduli siapa yang lebih banyak memanfaatkan rumah Indonesia.
[***]
Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: