Hal yang unik dan menarik dari semua ini adalah, berbagai persepsi muslim tentang salat tarawih, di hati kecilnya selalu muncul ketidaknyamanan jika tidak melaksanakan salat tarawih. Kenapa hal itu bisa terjadi? Salat tarawih itu memang sunnah dan boleh saja tidak melakukannya, namun mengapa menggelisahkan saat ia tidak dikerjakan?
Saat buka puasa bersama di kantor, teman saya berbisik, "sudah empat hari nggak salat tarawih, nih!" Saya memastikan sedang gelisah. Teman saya tidak pernah bercerita seperti ini saat, misalnya, dia tidak salat sunnah Dhuha.
KemarIn selepas buka puasa di kantor juga, seorang teman saya tiba-tiba pergi dari kerumunan bincang santai. Ketika ditanya hendak kemana, dia menjawab, "pengen tarawih." Saya yakin dia kuatir kehilangan salat tarawih malam itu.
Banyak lagi peristiwa ringan yang menunjukkan bahwa salat tarawih ini punya aura tersendiri. Ia datang dan selalu menggelisahkan orang-orang yang tidak disiplin melaksanakannya. Karakternya mirip salat fardhu.
Saya tidak dalam kapasitas mampu membedah rahasia dibalik kekuatan tarawih. Saya hanya ingin menunjukkan saja bahwa salat tarawih memang sangat disayangkan jika terlewatkan begitu saja. Di samping berbagai keistimewaannya terutama karena bulan Ramadhan, juga begitu spesial jika menilik teks doa yang selalu dibaca setelah salat tarawih. Saya mencatat tidak kurang terdapat 23 harapan besar manusia kepada Allah Swt yang selalu disampaikan setelah salat tarawih. Jika merujuk kepada janji Allah, setiap harapan manusia kepada-Nya pasti dikabulkan.
Minimal dua puluh tiga harapan besar manusia kepada Allah Swt tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua; pertama, ekspektasi atas kebaikan alam semesta dan ekspektasi atas kebaikan personality. Kedua ekspektasi tersebut adalah garansi untuk kelulusan mempertanggungjawabkan tugas manusia di hadapan Sang Pencipta Alam Semesta.
Setelah salat tarawih, ada gugusan harapan yang membuncah, di antaranya yang saya sebutkan disini adalah, pertama, menjadi pribadi yang kukuh dan berkarakter sempurna (
ij’al bil iman kamilin). Kedua, menjadi pribadi yang berkomitmen dan mampu melaksanakan kewajiban kemanusiaan dan keilahiaan
(lil faraidh mu’addin). Ketiga, menjadi pribadi yang berkemampuan melaksanakan kewajiban salat (
lis-shalati hafidzin).Keempat, menjadi bagian dari kelompok orang yang mempunyai kepedulian sosial (
liz-zakati fa’ilin). Kelima, menjadi manusia yang selalu optimis atas masa depan yang lebih baik (
lima indaka thalibin). Keenam, menjadi manusia yang mudah introspeksi diri (
li afwika rajin). Ketujuh, menjadi pribadi yang kukuh memegang prinsip hidup
(bil huda mutamassikin). Kedelapan, menjadi pribadi yang menjunjung tinggi supremasi hukum (
‘anil laghwi mu’ridhin).
Kesembilan, dijauhkan dari sifat materialistik (
fid dunya zahidin). Kesepuluh, diberi spirit untuk selalu merindukan kehidupan akhirat (
fil akhirah raghibin). Sebelas, diberi sifat lapang dada menerima kepastian (
bil qadha’ radin). Dua belas, diberi kemampuan mensyukuri kebaikan yang ada (
lin nuama’ syakirin). Tiga belas, diberi kekuatan mental menghadapi tantangan (
alal bala’ shabirin).
Empat belas, menjadi bagian dari kelompok sumber ketenangan jiwa (
min hurin ‘in mutazawwijin). Lima belas, menjadi orang yang bahagia karena aktifitas yang positif (
ij’al minas suada’ al-maqbulin). Enam belas, mengharap untuk tidak termasuk dalam kelompok yang menderita karena perbuatannya (
la taj’al asyqiya' al-mardudin).
Inilah harapan yang menggantung saat selesai salat tarawih. Selamat salat tarawih.
Penulis adalah Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama