Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemerintah Efektif untuk Rakyat Miskin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Senin, 17 Juni 2013, 09:54 WIB
Pemerintah Efektif untuk Rakyat Miskin
HARUS diakui salah satu  keberhasianl kinerja Presiden SBY adalah dalam menjaga pertumbuhan ekonomi makro.  Sejak tahun 2004 SBY mengambil alih kepemimpinan nasional dari Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu pada tingkat yang positif yaitu rata-rata 6 persen.  Bahkan saat perekonomian global mengalami krisis mulai tahun 2008.

Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang cukup baik tersebut masih belum mampu menyerap pertumbuhan angkatan kerja.  Pemerintah SBY yang mencanangkan program “pro job” di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi diharapkan akan menyerap 400-500 ribu tenaga kerja.  Pada kenyataannya 1 persen pertumbuhan ekonomi tahun 2011 misalnya hanya mampu menyerap 200-250 ribu tenaga kerja.

Di sisi lain  diperkirakan bahwa jumlah angkatan kerja bertambah rata-rata 2,9 juta orang per tahun.  Sementara yang dapat diserap dalam lapangan kerja hanya sekitar 1,6 juta orang per tahun.  Artinya setiap tahun jumlah pengangguran terbuka akan bertambah sekitar 1.3 juta per tahun.  Dan tentu saja ini akan meningkatkan jumlah rakyat miskin.

Kritik terhadap keberhasilan pemerintah SBY dalam menjaga pertumbuhan ekonomi juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ketimpangan di Indonesia.  Kalau pada tahun 2005 Indeks Gini Ratio masih di sekitar 0.35 , tahun 2008 dan 2009 menjadi 0.37 dan tahun 2012 sudah mencapai angka 0.42.

Meningkatnya ketimpangan di Indonesia, menurut pengamat politik dan kebijakan publik UI, Andrinof Chaniago  membuktikan pembangunan ekonomi di era reformasi masih gagal seperti di era Orde Baru.

Di bidang tata kelola pemerintahan, pelaku korupsi di Indonesia bukan menurun malah memperlihatkan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Menurut Menteri Dalam Negeri hampir 200 pemimpin daerah mulai dari tingkat Gubernur, Bupati dan Walikota telah dijadikan tersangka.

Perilaku korupsi juga sering diinisiasi oleh kalangan legilatif melaluli pengaturan anggaran belanja dan pendapat negara dan daerah.  Perilaku korupsi yang semakin massive ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya pembangunan ekonomi untuk rakyat miskin.  Kinerja pemerintah menjadi kurang efektif.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintahan SBY masih kurang efektif, terutama dalam mengangkat kesejahteraan rakyat miskin,  memberantas korupsi dan mengurangi ketimpangan. Laporan The Worldwide Governance Indicators memperlihatkan bahwa tingkat efektivitas, penegakkan hukum, kontrol terhadap korupsi, kualitas regulasi di Indonrsia masih tetap rendah.  Indonesia masih kalah dari Singapore, Malaysia dan Thailand.

Studi lainnya dilakukan oleh Prof. Yunwon Hwang tentang analisis perbandingan efektivitas tata kelola pemerintah Korea Selatan dan Indonesia.  Dari enam variabel yang diteliti, seperti hak mengeluarkan pendapat, kualtias kebijakan, stabilitas politik, efektifitas pemerintah, penegakkan hukum, dan kontrol terhadap korupsi.  Indonesia terlihat sangat jauh di bawah dibandingkan Korea Selatan.

Tidak heran apabila sejak krisis ekonomi global 1998, Korea bahkan melaju lebih kencang dalam proses industrialisasi dan globalisasi produk buatan Korea termasuk budaya K melalui tarian bergaya "Gangnam".

Indikator-indikator tersebut memperlihatkan pentingnya perbaikan total dalam tata kelola pemerintahan di masa mendatang yang harus dimulai dari pemimpinnya yaitu Presiden Republik Indonesia.  Di masa mendatang Indonesia membutuhkan pemimpin yang benar-benar bepihak kepada rakyat miskin dalam fokus kebijakannya.

Bank Dunia pernah memberikan masukan khusus kepada pemerintah Indonesia dalam laporannya  berjudul “Making the New Indonesia Work for the Poor”.

Dalam rekomendasinya disampaikan bahwa  selain mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi  seperti sekarang namun yang lebih penting adalah pembangunan tersebut harus lebih besar dinikmati oleh kalangan masyarakat miskin.  Sehingga masyarakat di kelas lapisan bawah akan langsung merasakan arti pertumbuhan ekonomi tersebut dalam perbaikan kehidupan sehari-hari.

Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin hendaknya diwujudkan antara lain melalui fokus lebih besar pada pembangunan infrastruktur pedesaan, seperti transportasi, listrik, irigasi, telekomunikasi harus lebih ditingkatkan.  Masyarakat miskin juga harus diberi kemudahan dalam memperoleh pinjaman dengan bunga murah untuk menjalankan usahanya.

Peningkatan kapabilitas penduduk miskin harus dijadikan prioritas pemerintah dengan memberikan akses yang lebih mudah baik masuk ke sekolah maupun perguruan tinggi.  Pelatihan pelatihan ketrampilan di desa maupun masyarakat miskin di kota juga harus ditingkatkan.

Melihat kenyataan bahwa dua pertiga penduduk miskin hidup dari pertanian, maka pemerintah harus lebih berani mengeluarkan kebijakan revitalisasi besar-besaran pertanian di Indonesia agar produktivitas petani bisa lebih meningkat.

Program-program kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat miskin tersebut harus terwujud dalam alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara.

Tidak lagi seperti APBN selama era pemerintahan SBY tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah pada rasa keadilan dan rakyat miskin karena lebih mementingkan kepentingan politik dari pada ekonomi kerakyatan.

APBN 2013 yang sebesar Rp 1.683 triliun ternyata masih tidak adil karena sebagian besar anggaran masih dialokasikan untuk hal-hal yang kurang produktif.  Seperti belanja pegawai negeri sekitar 22 persen dan subsidi sekitar 28 persen. Sementara belanja modal hanya dialokasikan sekitar 17 persen saja.. Pembangunan apa yang bisa dilakukan apabila belanja modal hanya dialokasikan sebesar itu.

Total belanja pemerintah untuk subsidi mengalokasikan sekitar 87 persen untuk enerji, baik itu bbm maupun listrik.  Untuk pangan, pupuk dan benih hanya sekitar 10 persen dan untuk layanan publik paling kecil sekitar 1 persen.

Di samping sangat besar ternyata alokasi subsidi enerji juga dianggap tidak tepat sasaran.  Untuk subsidi BBM diperkirakan 50 persen lebih akan dinikmati oleh keluarga yang berpenghasilan tinggi.  Di samping itu ada dugaan bahwa dari 10 penikmat subsidi listrik misalnya, ternyata 8 di antaranya adalah pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar.  Padahal alokasi anggaran untuk subsidi  enerji mencapai angka sekitar Rp 274 triliun.

Bank Dunia juga menyarankan agar keberpihakan pada rakyat miskin diwujudkan dalam bentuk layanan publik yang khusus untuk mereka dan meningkatkan alokasi anggarannya.  Pada kenyataannya alokasi subsidi anggaran untuk layanan publik hanya sekitar 1 persen.

Di bidang pelayanan, selama ini fokus pemerintah pusat dan daerah terutama dalam meraih penghargaan dari dan untuk lembaga pemerintah sendiri.  Ada penghargaan Adipura, Wajar Tanpa Pengecualian, Wahana Tata Nugraha Wiratama, Adiwiyata, Kalpataru,  Evaluasi Kinera Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Citra Bhakti Abdi Negara, Citra Pelayanan Prima,  Inovasi Manajemen Perkotaan, Satya Lencana Wirakarya, Inovasi Pertanian.  Dan banyak lagi penghargaan-penghargaan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Tidak heran apabila fokus utama pemerintah daerah malah lebih banyak pada perolehan penghargaan tersebut.  Tanpa memperdulikan manfaat sebenarnya penghargaan tersebut pada kehidupan masyarakat.

Beberapa waktu lalu pada penyerahan penghargaan Adipura di Istana Negara, banyak kepala daerah yang membawa rombongan besar ke Istana Negara meskipun mereka tidak dapat melihat langsung acara penyerahan penghargaan tersebut.  Ini adalah salah satu bentuk pemborosan anggaran yang terus berlangsung di era pemerintahan SBY. Pencitraan lebih dikedepankan dari pada kenyataan yang ada.

Dalam peningkatan layanan publik kepada rakyat miskin, Bank Dunia merekomendasikan untuk meningkatkan ketrampilan PNS dalam manajamen masyarakat miskin, dan memberikan instentif bagi PNS yang turun langsung dalam pelayanan ke masyarakat.

Contoh menarik diperlihatkan oleh Kecamatan Tanah Datar Sumatera Barat  yang mengalokasikan anggaran kepada guru guru Bahasa Inggris dengan memberikan kesempatan kerja praktik ke Australia, Singapore dan Malaysia sekaligus membandingkan metode pengajarannya.  Mereka adalah PNS yang sehari-hari berinteraksi dan mengajar bahasa Inggris kepada rakyat miskin.  Dengan demikian, para guru tersebut termotivasi untuk terus meningkatan metode pengajarannya.

Bercermin pada belum berpihaknya pembangunan Indonesia terhadap rakyat miskin selama ini, maka hal yang dibutuhkan oleh partai politik dan calon Presiden di tahun 2014 adalah secara terbuka melakukan komunikasi tentang program pembangunan dan rencana alokasi anggaran untuk rakyat miskin secara detail.

Pada kampanye pemilu 2013 di Malaysia, baik partai berkuasa Barisan Nasional maupun partai oposisi Pakatan Rakyat, secara detil masing-masing partai mempublikasikan rencana pembangunan dan alokasi anggaran yang akan diimplementasikan apabila memenangkan pemilu. Publikasi itu bahkan bisa diakses oleh seluruh orang melalui situs partai.

Tahun 2014 adalah kesempatan bagi partai politik dan calon Presiden untuk membangun sistem demokrasi politik yang lebih cerdas.  Bukan demokrasi yang mementingkan pencitraan, mengumbar janji-janji, melakukan kecurangan daftar pemilih tetap, melakukan serangan fajar dalam bentuk pemberian dana saat pemilihan berlangsung atau melakukan tekanan tekanan tertentu kepada aparat negara.

Mulai tahun 2014 pemerintah paska SBY adalah pemerintah yang harus agresif dan efektif mengurangi jumlah rakyat miskin, memberantas korupsi dan mengurangi ketimpangan penghasilan penduduk.  Kita tunggu kesiapan, kejujuran, keberanian dan keterbukaan partai politik dan calon Presiden RI dalam mengkomunikasikan alokasi anggaran untuk rakyat miskin.  Semoga ada !!![***]

Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA