Inilah 57 Terpidana Korupsi Yang Belum Dipenjara

Versi Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi

Sabtu, 18 Mei 2013, 10:29 WIB
Inilah 57 Terpidana Korupsi Yang Belum Dipenjara
ilustrasi
rmol news logo LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak Kejaksaan Agung segera memasukkan 57 terpidana perkara korupsi ke penjara. Nama para terpidana yang belum dieksekusi itu bisa dilihat dalam tabel.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi adalah gabungan lima LSM, yaitu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Legal Rountable (ILR), Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) dan PUSAKO Universitas Andalas.

 Koordinator ICW bidang Hukum dan Peradilan Emerson Yunto menyatakan, pihaknya akan terus menagih janji Kejagung untuk melakukan eksekusi itu. “Jika tidak ada perkembangan berarti, kami akan turun aksi lagi,” katanya, kemarin.

Menurut Emerson, 23 terpidana belum dieksekusi karena melarikan diri atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Antara lain bekas Bupati Lampung Timur Satono, Samadikun Hartono (BLBI), Sudjiono Timan (BPUI), Djoko S Tjandra (Bank Bali), Adelin Lis, Nader Taher dan Syarief Abdullah. “Sedangkan 30 terpidana korupsi lainnya belum dieksekusi karena sejumlah alasan lain,” katanya.

Menurut Emerson, 57 terpidana yang belum dieksekusi itu tersebar di 12 wilayah hukum kejaksaan tinggi. Terpidana korupsi yang paling banyak belum dieksekusi berada di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, yakni 22 terpidana.

“Contoh lainnya, di Kejati DKI Jakarta enam terpidana, Kejati Riau lima terpidana dan Kejati Jawa Timur dua terpidana,” tandasnya.

Kata Emerson, alasan yang disampaikan pihak kejaksaan adalah masalah administrasi, seperti salinan putusan belum diterima, menunggu putusan peninjauan kembali, koordinasi dengan pihak internal dan eksternal, pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan situasi politik serta keamanan di tingkat lokal. “Selain itu, ada upaya pihak tertentu menghalang-halangi proses eksekusi terhadap terpidana,” ucapnya.

Dia mencontohkan, Bupati Kepulauan Aru Teddy Tengko, terpidana kasus korupsi dana APBD gagal dieksekusi pada 12 Desember 2012 lalu karena dihalang-halangi sekelompok orang di Bandara Soekarno Hatta. “Hingga kini, terpidana 4 tahun penjara itu belum mendekam di penjara,” tandasnya.

Emerson menambahkan, lambannya proses eksekusi terhadap para terpidana, membuka peluang bagi mereka melarikan diri. Dari kasus korupsi yang diamati koalisi LSM ini, eksekusi umumnya baru dilakukan 1 sampai 4 tahun setelah vonis telah berkekuatan hukum tetap.

“Padahal jika terjalin kerja sama yang baik antara kejaksaan dengan institusi lain seperti Mahkamah Agung dan kepolisian, setidaknya 14 hari setelah berkekuatan hukum tetap, terpidana bisa dieksekusi,” tegasnya.

KILAS BALIK
Kejagung Cek Data Dulu

LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi datang ke kantor Kejaksaan Agung pada Selasa (14/5) lalu. Mereka menyerahkan jaring sebagai simbol agar Kejagung segera mengeksekusi 57 terpidana perkara korupsi.
 
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, pihaknya telah menindaklanjuti laporan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi itu. Tapi, sebelum melakukan eksekusi, Kejagung akan mengkros cek data dari koalisi LSM itu terlebih dahulu.

“Belum ada yang dieksekusi, karena baru kemarin laporannya. Kami harus kroscek dulu,” kata Untung saat dihubungi, kemarin.

Untung beralasan, eksekusi 57 terpidana itu membutuhkan waktu karena tersebar di seluruh Indonesia. “Belum lagi ada terpidana yang sakit seperti kena stroke. Itu tentu jadi pertimbangan kami,” alasannya.

Menurut Wakil Jaksa Agung Darmono, tuntutan koalisi LSM itu, akan menjadi pekerjaan rumah bagi Kejagung.

Bukan Sekadar Menunggu Putusan
Yesmil Anwar, Dosen Unpad

Pengajar hukum pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Yesmil Anwar menyatakan, 57 terpidana kasus korupsi yang belum dieksekusi merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi kejaksaan.

Kata Yesmil, belum dieksekusinya narapidana biasanya karena masalah-masalah teknis. Seperti surat putusan yang belum diterima, sampai terpidana sakit.

Namun, lanjutnya, yang menjadi masalah serius adalah jika proses eksekusi terhambat karena tebang pilih.

“Yang perlu dicermati, apakah ada terpidana tidak dieksekusi karena kejaksaan sengaja tidak mengeksekusi. Ini yang menjadi catatan,” tandasnya, kemarin.

Yesmil mengingatkan, proses eksekusi merupakan salah satu bagian dari proses peradilan yang diamanatkan undang-undang. Apalagi, kata dia, masyarakat saat ini lebih kritis dalam melihat masalah-masalah yang terkait masalah hukum.

“Adanya peradilan cepat dan murah termasuk di dalamnya proses eksekusi,” ucapnya.

Dia mewanti-wanti, jika tidak ada tindakan konkret dari kejaksaan untuk mengeksekusi para terpidana itu, maka kejaksaan semakin tidak dipercaya masyarakat. Kejaksaan yang memiliki daya paksa sebagai pihak eksekutor seakan mandul.

“Kalau dulu masyarakat mungkin sudah puas jika sudah ada vonis kepada terdakwa, tapi sekarang tidak lagi. Masyarakat juga melihat eksekusinya bagaimana,” ucap Yesmil.

Yesmil berharap, Kejagung melakukan langkah nyata terkait masalah ini. Meski terpidana perkara korupsi itu tersebar di berbagai wilayah kejaksaan, namun kata Yesmil, Kejagung ikut bertanggung jawab. Soalnya, kejaksaan merupakan satu kesatuan.

“Jadi kalau ada masalah, institusi itu bermasalah. Kejaksaan Agung ikut bertanggung jawab,” tandasnya.

Tidak Perlu Tunggu Laporan Masyarakat
Trimedya Panjaitan, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai, belum dieksekusinya 57 terpidana kasus korupsi oleh kejaksaan, merupakan lemahnya sistem kearsiapan dan pengawasan Kejaksaan Agung.
 
Menurut Trimedya, seharusnya Kejaksaan Agung punya data inventaris terpidana yang sudah memiliki putusan tetap atau inkracht tapi belum dieksekusi kejaksaan di berbagai daerah. Dengan begitu, Kejagung bisa mengkategorisasi, mana yang harus dieksekusi oleh kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi atau Kejaksaan Agung.

“Sehingga untuk mendapatkan data terpidana yang belum dieksekusi, tidak menunggu laporan dari masyarakat, tapi sudah ada di Kejagung,” kata Trimedya, kemarin.

Bahkan, kata Trimedya, Kejagung yang seharusnya mengumumkan bahwa ada sejumlah terpidana belum dieksekusi. “Tapi ini sepertinya ditutup-tutupi,” ucap politisi PDIP ini.

Dia berharap, kejaksaan segera melakukan eksekusi kepada para terpidana kasus korupsi tersebut. Mengenai DPO, Trimedya menyatakan bahwa sistem intelijen yang dimiliki kejaksaan sudah sangat modern untuk bisa melacak keberadaan para terpidana yang buron.

“Anggaran intelijen itu Rp 150 miliar. Dengan kecanggihan sistem spionase yang dimiliki, menemukan buronan bukan lagi pekerjaan sulit,” ucapnya.

Selain itu, kata Trimedya, eksekusi kepada para terpidana juga penting untuk mengembalikan kerugian negara.

Dia menambahkan, belum dieksekusinya para terpidana bisa juga karena kejaksaan tebang pilih. Hal tersebut bisa terjadi jika terpidana, orang yang dekat dengan pusat kekuasaan seperti dekat bupati atau gubernur. “Jika begitu justru mencoreng nama baik kejaksaan sendiri,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA