VW Caravelle Luthfi Atas Nama Sopirnya

“Saya Orang Kecil, Gimana Bisa Beli Mobil Mewah”

Rabu, 15 Mei 2013, 11:43 WIB
VW Caravelle Luthfi Atas Nama Sopirnya
Luthfi Hasan Ishaaq
rmol news logo Salah satu mobil yang disegel KPK di kantor DPP PKS adalah VW Caravelle bernomor B 948 RFS. Mobil yang diduga milik tersangka kasus pencucian uang Luthfi Hasan Ishaaq ini, atas nama Ali Imron. Ali adalah sopir bekas Presiden PKS itu. 

Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) VW Caravelle itu beralamat di Jalan Al Bashor, RT 005/03, Kampung Dukuh, Jakarta Timur. Tapi, rumah ini sama sekali tidak memancarkan kesan mewah. Rumah di gang sempit dan berhimpitan dengan rumah lainnya itu, dimanfaatkan sebagai tempat usaha konveksi kecil-kecilan.

Saat berkunjung ke rumah itu Senin sore (13/5), Rakyat Merdeka disambut seorang perempuan yang mengaku sebagai kakak tertua Imron. Murni namanya. Wanita berjilbab ini mengatakan, adiknya sudah dua tahun bekerja sebagai sopir Luthfi. Sudah lama pula, Imran tidak tinggal di rumah bercat abu-abu itu.

Seingat Murni, sejak menikah, Imron tinggal bersama istrinya di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tapi, perempuan 50 tahun ini tidak mau memberikan alamat adiknya itu.

Kendati sudah bertahun-tahun tinggal di Kampung Melayu, toh Imron masih menggunakan KTP Kampung Dukuh. Tapi, bila disimak secara cermat, alamat Imron di sini tampak ganjil. Sebab, di STNK, nomor rumah Imron 25. Namun, rumah dua pintu ini bernomor 23. “Dia masih pakai alamat sini. Makanya, semua urusan surat-menyurat masih datang ke sini,” ucap Murni.

Murni tidak mau merinci beda nomor rumah ini dengan data di identitas Imron. Dia pun bungkam saat dikonfirmasi, apakah sempat menerima surat panggilan untuk Imron dari KPK. Murni hanya mengatakan, adiknya datang Senin siang. “Tadi siang dia datang,” katanya.

Dia bercerita, Imron datang ditemani dua kawannya. Namun, Murni mengaku tidak tahu persoalan apa yang menimpa adiknya. Katanya, Imron sama sekali tidak bercerita. Termasuk mengenai pekerjaannya. “Dia cuma mampir seperti biasa,” ucap perempuan berkacamata ini.

Murni kemudian berusaha mengontak telepon genggam adiknya. Beberapa nomor telepon coba ia hubungi. Tapi, tak satu pun nomor yang berhasil tersambung. Dia menganggap hal itu lumrah. Sebab, pekerjaan adiknya berkaitan dengan orang penting.  “Dia sering gonta-ganti nomor telepon,” ucapnya.

Akhirnya, Murni berhasil mengontak Imron. Dia terlihat lega. Murni meminta Imron bicara dengan Rakyat Merdeka via telepon. Saat dikonfirmasi, Imron mengaku syok menghadapi kasus pencucian uang yang menyeret dirinya sebagai saksi ini. Namun, dia hanya bisa pasrah.

“Saya tidak habis pikir, kenapa bisa jadi begini. Saya sudah menjalani pemeriksaan di KPK, saya harap perkara ini cepat selesai,” katanya.

Imron tahu, VW Caravelle itu diatasnamakan dirinya. Tapi, dia tidak pernah bertanya kepada bosnya, Luthfi kenapa mobil itu diatasnamakan dirinya. Yang pasti, sejak Luthfi menjabat Presiden PKS, Imron dapat tugas mengendarai mobil itu.

Dia mengaku tidak tahu menahu ikhwal pembelian VW Caravelle itu. Apalagi, mengurus pembelian mobil tersebut. Imron menduga, kartu identitasnya digunakan untuk surat-surat kepemilikan mobil tersebut. Tapi, dia mengaku tidak tahu siapa yang memanfaatkan KTP-nya itu.

“Saya cuma sopir. Saya orang kecil, gimana bisa membeli mobil mewah seperti itu. Dapat uang darimana,” ucap lelaki 42 tahun ini.

Dia juga menyatakan, tidak pernah membawa mobil itu pulang dan tidak pernah menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Sesaat kemudian, kontak telepon putus. Hingga kemarin sore, nomor telepon Imron itu tidak aktif.

Menurut Bendahara Umum DPP PKS Machfudz Abdurrahman, VW Caravelle yang disangka KPK milik Luthfi adalah milik PKS. Hal itu dikatakan Machfudz usai diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka Luthfi Rabu (17/4). “Saya dimintai keterangan tentang mobil mana yang milik partai, dan mana yang milik LHI. Sudah saya jelaskan semuanya ke penyidik,” katanya.

Menurut pengacara Luthfi, Zainuddin Paru, penyitaan ini terlalu dipaksakan KPK. Sebab, sebut dia, KPK tidak melihat mana mobil milik Luthfi dan mana yang bukan. “Karena itu, upaya penyitaan ditentang,” tandasnya.

Kata Zainuddin, mobil milik Luthfi hanya Mazda CX9 dan Mitsubishi Pajero Sport Hitam. “Mobil lainnya adalah mobil partai dan kader PKS,” katanya.

Seperti diketahui, enam mobil yang diduga milik tersangka Luthfi disegel KPK di kantor DPP PKS. Yaitu, Toyota Fortuner B 544 RFS, Mitsubishi Grandis B 7476 UE, Nissan Frontier Navara, Mazda CX-9 bernomor B 3 MDF, Pajero Sport dan VW Caravelle B 948 RFS.

KILAS BALIK
Ada Yang Mengakui, Ada Yang Bantah

Enam mobil yang diduga milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) disegel KPK di kantor DPP PKS, Jakarta. Yaitu, Toyota Fortuner B 544 RFS, Mitsubishi Grandis B 7476 UE, Nissan Frontier Navara, Mazda CX-9 bernomor B 3 MDF, Pajero Sport dan VW Caravelle B 948 RFS.

Berdasarkan penelusuran Rakyat Merdeka, Toyota Fortuner B 544 RFS diatasnamakan office boy kantor DPP PKS Abdullah Sani. Hal itu diakui orangtua Sani, Saroji, saat ditemui di rumahnya, Pejuang Jaya, Bekasi Barat pada Rabu (8/5).

Kemudian, Mitsubishi Grandis atas nama Herma Yudhi Irwanto, warga Kelapa Dua Raya RT 005/11, Tugu, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ditemui Rakyat Merdeka di rumahnya Kamis (9/5), Herma mengaku tidak tahu kenapa KPK menyita mobilnya. Dia pun mengaku tidak punya hubungan dengan Luthfi atau PKS. Tapi, saat ditanya apa pekerjaannya, Herma tidak mau menjawab.

Ditanya, kenapa Mitsubishi Grandis itu ada di tempat penyitaan, Herma mengaku bahwa mobilnya tengah diperbaiki di bengkel sebelah kantor DPP PKS. Dia beralasan, beberapa rekannya menginformasikan, teknisi bengkel tersebut bagus.

Selanjutnya, Nissan Navara atas nama Rantala Sikayo, asisten pribadi Luthfi. Karena itulah, Rantala diperiksa penyidik KPK sebagai saksi pada Jumat (10/5).

Memakai baju koko putih lengan pendek, Rantala datang ke Gedung KPK pukul 10 pagi. Dia diperiksa sekitar tiga jam. Pukul 1.20 siang, Rantala keluar dari Gedung KPK. Baru sampai tangga, Rantala yang berperawakan tinggi besar didekati wartawan yang menunggunya.
 
Ditanya hubungannya dengan LHI, Rantala mengaku sebagai asisten pribadi LHI, saat LHI masih  menjabat anggota Komisi I DPR. Rantala bekerja sebagai asisten sejak tahun 2006 dan bertugas di ruang kerja LHI di Gedung DPR.

Mengenai pemeriksaannya, Rantala mengaku hanya ditanya penyidik mengenai mobil-mobil yang disita KPK di kantor DPP PKS. Salah satu mobil itu, yakni Nissan Navara diduga atas nama Rantala Sikayo. “Iya, katanya atas nama saya. Tapi, saya tidak tahu persis,” kata Rantala.

Rantala mengaku tidak mengetahui, apakah mobil itu menggunakan namanya atau tidak. Namun, kata dia, tahun 2012 ada seorang laki-laki yang mengaku dari PKS datang untuk meminjam KTP-nya. “Bulannya saya tidak ingat,” ujarnya

Anehnya, Rantala mengaku tidak curiga kenapa KTP-nya dipinjam. Selama bekerja dengan LHI, katanya, sudah beberapa kali orang PKS datang untuk meminjam KTP-nya. Kadang yang datang bagian rumah tangga PKS, kadang Luthfi sendiri yang meminjam KTP-nya. “Untuk bikin KTA-lah, bikin asuransilah. Macam-macam alasannya,” ujar dia.

Rantala mengaku tidak mengetahui dan tidak pernah melihat mobil Nissan Nivara tersebut. Apakah digunakan sendiri oleh Luthfi atau digunakan untuk keperluan partai, dia pun mengaku tidak tahu.

“Saya tidak tahu persis, coba tanya yang lain saja,” elaknya.

Menurut pengacara LHI, Zainuddin Paru, mobil milik LHI hanya Mazda CX9 dan Pajero Sport Hitam. “Mobil lainnya adalah mobil partai dan kader PKS,” katanya.

Menurut Bendahara Umum DPP PKS Machfudz Abdurrahman, VW Caravelle yang disangka KPK milik LHI adalah milik PKS. Hal itu disampaikan Machfudz usai diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka LHI pada Rabu (17/4).

“Saya dimintai keterangan mengenai mobil mana yang milik partai  dan mana yang milik LHI. Sudah saya jelaskan semuanya ke penyidik,” katanya.

Dua-duanya Tak Boleh Arogan
Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat meminta, persoalan penyitaan enam mobil yang diduga milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq di kantor DPP PKS, diselesaikan secara profesional.

Dia berharap, masing-masing pihak mau melepaskan arogansi dan berpatokan pada hukum semata. “KPK dan DPP PKS, dua-duanya tidak boleh arogan,” saran anggota DPR dari Partai Gerindra ini.

Persoalan penyitaan ini, ingat Martin, menjadi salah satu hal krusial dalam upaya penegakan hukum. Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang secara spesifik memberikan peluang kepada lembaga penegak hukum seperti KPK untuk menyita aset tersangka. Jadi, tidak perlu menunggu putusan pengadilan untuk menyita aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang.

Sejauh teridentifikasi berkaitan dengan kejahatan asal atau pokok, maka aset tersebut bisa disita. Yang paling penting, mekanisme penyitaan harus didasari prosedur yang tepat. Dia pun meminta, kebuntuan soal eksekusi aset ini ditanggapi secara bijak.

“Perselisihan ini semestinya tidak perlu terjadi. Masing-masing pihak hendaknya segera menjalin komunikasi yang terbuka dan transparan,” katanya.

Untuk menindaklanjuti penyitaan aset ini, lanjut Martin, KPK sepertinya sudah melangkah. Yakni, memeriksa sederet nama yang diduga diatasnamakan sebagai pemilik mobil-mobil tersebut.
 
Menurutnya, hal itu jauh lebih penting untuk menghimpun data dan fakta mengenai mobil-mobil tersebut. Tapi, jika dalam persidangan aset yang disita itu tidak terbukti hasil korupsi, maka mesti dikembalikan.

Jangan Sampai Pokok Perkara Menjadi Kabur

Togar M Sianipar, Wakil Ketua Umum PP Polri

Wakil Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Polri Komjen (purn) Togar Manatar Sianipar menyarankan Polri tidak terpancing kisruh penyitaan mobil tersangka Luthfi Hasan Ishaaq di kantor DPP PKS.

Dia menilai, substansi laporan DPP PKS yang memperkarakan Juru Bicara KPK Johan Budi, lemah. Menurutnya, pernyataan Jubir KPK mengenai penyitaan mobil-mobil yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang adalah pernyataan lembaga. Isinya menginformasikan kepada publik tentang suatu persoalan.

Bekas Kepala Dinas Penerangan Polri itu khawatir, laporan pencemaran nama baik ini berbuntut tidak mengenakan.

“Siapa pun juru bicara suatu institusi nanti, bisa dianggap mencemarkan nama baik karena keterangannya,” katanya.

Oleh sebab itu, preseden ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Polri, harapnya, tidak langsung merespons laporan pencemaran nama baik ini secara berlebihan.

Kepolisian, yakinnya, mampu memilah mana yang memenuhi unsur pidana atau tidak. Jangan sampai Kepolisian masuk ke dalam persoalan yang tidak perlu.

“Saya khawatir, laporan pencemaran nama baik itu, bisa mengaburkan perkara pokok,” katanya.

Togar meyakini, sebagai partai besar yang taat azas hukum, PKS dapat memisahkan mana hal yang berkaitan dengan pokok perkara dan mana yang tidak.
 
Dia pun mengapresiasi sikap PKS yang menghadirkan para petingginya ke Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus ini.

“Itu bukti bahwa mereka memiliki semangat dan komitmen untuk menyelesaikan persoalan ini,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA