Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa dari 234 juta penduduk, diperkirakan sekitar 32 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu berpenghasilan sekitar 270 ribu rupiah per bulan. Sedangkan jumlah penduduk yang hampir miskin diperkirakan berjumlah 20 persen atau sekitar 50 juta jiwa.
Kalau BBM naik bisa saja 50 persen dari jumlah penduduk yang hampir miskin tersebut masuk ke kategori rakyat miskin. Sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia akan meningkat menjadi sekitar 35 persen dari total jumlah penduduk atau sekitar 60-70 juta jiwa.
Meskipun sudah begitu banyak studi dan jalan keluar mengatasi kemiskinan di Indonesia, tetapi persoalan utama Indonesia sebenarnya bukan saja menyangkut masalah kemiskinan dengan menggunakan indikator ekonomi di atas.
Bangsa Indonesia sedang dilanda kemiskinan di berbagai aspek kehidupan.
Pertama adalah kemiskinan kepemimpinan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah menyatakan bahwa 200 pemimpin daerah sedang tersangkut perkara korupsi dan akan menjadi tersangka. Ini berarti sekitar 50 persen dari daerah provinsi, kabupaten dan walikota di Indonesia dipimpin oleh koruptor.
Kemiskinan kedua adalah menyangkut program kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak. Meskipun alokasi dana ke daerah dan juga APBN meningkat tajam dari tahun ke tahun, namun diperkirakan sekitar 70 persen dana APBD/APBN habis untuk biaya personil, perjalanan pejabat pemerintah, dan acara-acara yang bersifat seremonial. Sehingga alokasi anggaran untuk pembangunan hanya berkisar pada angka 12 persen saja, dan pertumbuhan kesepatan kerja menjadi lebih lambat dari pertumbuhan penduduk yang sebenarnya sudah cukup rendah.
Kemiskinan ketiga adalah ketaatan pada hukum. Dalam kaitan ini yang paling menonjol adalah perilaku korupsi mulai dari pegawai tingkat menengah, sampai jenderal berbintang, hakim, jaksa, anggota DPR dan DPRD, pemimpin daerah, ketua umum partai politik bahkan tingkat menteri. Yang paling menyedihkan lagi adalah keberanian lembaga penegak hukum untuk melindungi terhukum yang kasasinya ditolak oleh MA. Kejadian ini bukan saja ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia hingga Presiden SBY, tetapi disiarkan oleh nedia televisi asing ke seluruh penjuru dunia.
Kemiskinan keempat adalah kaderisasi partai politik. Sejak era reformasi, kita semua sepakat bahwa pemilihan wakil rakyat di DPR dan pimpinan nasional dilakukan secara demokratis melalui mekanisme partai politik. Sehingga peran wakil rakyat di DPR sebagai pembuat Undang Undang dan pengawas jalannya pemerintahan menjadi sangat penting.
Tapi dari daftar calon legislatif yang didaftarkan oleh masing-masing partai politik terlihat jelas bahwa proses pembinaan kader di partai politik tidak jalan. Sehingga banyak partai yang menggunakan artis atau angota keluarga petinggi pemerintahan atau partai didaftarkan sebagai pengumpul suara. Dengan perkataan lain nama mereka dijadikan calon legislatif bukan karena kemampuan dan pengetahuan membuat undang-undang tetapi karena popularitas saja.
Tidak heran siapapun pemenang pemilu yang akan datang bukan murni partai politik tetapi komunitas penggemar (fans club) di dunia politik. Seperti komunitas penggemar bonsai, motor gede, klub sepakbola Manchester United. Tragisnya bagi bangsa Indonesia adalah komunitas penggemar di arena politik tersebut akan menjadi penentu pencalonan kandidat Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.
Sulit dibayangkan apabila Indonesia kembali mengalami kemiskinan ke lima yaitu manajemen pemerintahan dari pusat sampai ke daerah. Kasus amburadulnya pencetakkan dan distribusi ujian nasional memperlihatkan betapa buruknya manajemen pemerintahan di bidang pendidikan.
Di era internet sekarang ini kita patut bertanya, apa perlu ujian nasional dicetak dari pusat? Kenapa tidak disebarkan melalui situs Departemen Pendidikan Nasional saja yang hanya bisa dibuka dan dicetak oleh setiap kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan daerah satu hari sebelum ujian nasional diadakan. Ini jauh lebih murah dan cepat proses pendistribusiannya.
Contoh lain lemahnya manajemen pemerintahan adalah dalam bidang olahraga. Bayangkan atlet-atlet angkat besi peraih medali di Olimpiade 2012 ternyata uang sakunya berbulan-bulan tidak terbayar. Padahal pimpinan kontingen dan induk organisasi olahraga nasional KOI adalah orang swasta yang sukses dan kaya. Kenapa mereka tidak bisa mengorbankan uang sendiri untuk membayar uang saku atlet?
Penyelenggaran SEA Games 2011, PON 2012 dan Islamic Solidarity Games (ISG) 2013 juga begitu banyak masalah terutama menyangkut pembangunan fasilitas pertandingan dan proses pembayaran kepada pihak vendor. Sangat menyedihkan apabila fasilitas pertandingan bekas PON 2012 di Riau tidak dapat digunakan untuk ISG 2013 dan terpaksa dipindahkan penyelenggaraannya di Jakarta.
Masih di bidang olahraga, kita juga miskin prestasi tingkat dunia. Bulutangkis Indonesia gagal mempersembahkan satu medalipun pada Olimpiade 2012. Mengakibatkan Indonesia kembali menjadi negara tanpa medali emas di Olimpiade. Apakah Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games 2013, saya ragu. Karena kalau kita boleh jujur, ketika menjadi juara umum SEA Games 2011, lebih karena faktor tuan rumah yang mempertandingkan cabang-cabang olahraga yang tidak dipertandingkan di Olimpiade maupun Asian Games. Dalam hal ini kita miskin kejujuran terhadap prestasi olahraga sebenarnya.
Dengan demikian sebenarnya kemiskinan di Indonesia begitu besar dan luas karena menyangkut segala aspek kehidupan berbangsa. Masyarakat luas bukan tidak sadar akan hal ini. Tetapi mereka sementara ini hanya bisa menanti. Suatu saat masyarakat luas akan kembali menentukan dengan cara sendiri untuk mengatasi segala kemiskinan yang membelenggu kehidupan mereka.
Kita sedih dan terharu ketika melihat begitu banyaknya masyarakat hadir langsung pada pemakaman Ustadz Jeffry Al Buchory (Uje). Melalui ceramah-ceramahnya Uje telah menyentuh hati nurani lintas masyarakat Indonesia. Artinya bukan saja kalangan muslim, tetapi masyarakat yang menganut agama lain juga merasa kesedihan yang mendalam atas meninggalnya Uje. Uje sempat menjadi pemimpin rohani masyarakat Indonesia.
Mungkin saat ini Indonesia lebih memerlukan pemimpin rohani dari pada pemimpin politik. Yang lebih mengedepankan membangun kembali moral dan martabat Indonesia. Dengan mekanisme politik sekarang, akankah kita bisa memperoleh pemimpin seperti Mahatma Gandi? [***]
BERITA TERKAIT: