Pada hari Minggu 28 Oktober 1928 malam, keputusan kongres mendeklarasikan tiga hal: Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pada sidang penutupan itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya di depan umum, diiringi dengan gesekan biola W.R. Supratman.
Hari kedua Indonesia merdeka yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, pemerintah menetapkan bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Ketetapan tersebut tertuang dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36.
Sementara, penetapan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia dilakukan oleh Dewan Menteri Kabinet Soekarno pada tanggal 30 Mei 1958 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1958.
Sejak ditetapkannya sebagai bahasa nasional, pemerintah terus menerus mengupayakan bukan saja penggunaan bahasa Indonesia di seluruh daerah tetapi juga penyempurnaanya.
Pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1954 di Medan disepakati untuk membangkitkan rasa cinta pada bahasa Indonesia sekaligus menggunakan bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional.
Di era pemerintahan Soeharto, beberapa penyempurnaan dan penggunaan bahasa nasional ditingkatkan. Didukung oleh Instruksi Presiden tentang pembangunan sekolah-sekolah dasar hingga ke seluruh pelosok Indonesia, maka pelajaran Bahasa Indonesia semakin merata di seluruh Indonesia.
Hasilnya kita semua tahu, bahwa bahasa Indonesia telah digunakan sebagai bahasa sehari-hari mulai dari Papua, Aceh hingga Timor Timur saat masih menjadi bagian dari negara Indonesia.
Kita patut bangga atas pencapaian yang sangat paripurna dari bangsa ini terutama menyangkut bahasa Indonesia.
Ini membuktikan bahwa sebuah kebijakan publik yang dituangkan dalam peraturan pemerintah akan sangat bermanfaat apabila dimulai dari visi mengedepankan kepentingan bangsa, negara dan rakyat. Kita tidak bisa membayangkan apabila para pemuda pemudi yang tergabung dalam PPPI tidak melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Mungkin orang Jawa yang pergi ke Sulawesi tidak bisa memahami dialog mereka karena menggunakan bahasa daerah.
Sangat disayangkan setelah memasuki era reformasi, seringkali kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun kebijakan anggaran yang disetujui DPR tidak lagi berangkat dari visi untuk kepentingan bangsa dan rakyat banyak. Melainkan untuk kepentingan partai politik maupun kelompok penguasa saja.
Banyak sekali kasus kasus kebijakan yang malah menguntungkan kelompok tertentu. Misalnya kasus Hambalang, PON Riau 2012, dagang sapi impor, simulator surat ijin mengemudi, dan lain-lainnya.
Indonesia sangat membutuhkan sekelompok pemuda dan pemudi yang memiliki visi seperti PPPI dan berani melakukan deklarasi baru untuk bersumpah kepada negara ini untuk tidak melakukan korupsi. Pertanyaannya, dengan mekanisme partai politik yang menjadi penentu segalanya negara Indonesia, mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, wakil rakyat di DPR dan DPD, penyusunan anggaran, penentuan jabatan-jabatan kunci di eksekutif, mampukah pemuda pemudi Indonesia sekarang bangkit tanpa partai politik
Semestinya hal itu bisa dilakukan oleh Pemuda Pemudi Indonesia saat ini untuk bangkit dan keluar dari mekanisme politik yang korup. Bukankah PPPI di tahun 1928 berani dan mampu melakukannya padahal Indonesia belum merdeka. Kenapa sekarang tidak berani? Semoga !!!
Penulis adalah seorang sosiolog, tinggal di Jakarta.
BERITA TERKAIT: