Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, KPK masih mendalami kasus ini. Dalam setiap kasus suap, lanjutnya, KPK melakukan pengembangan kepada dua pihak, yaitu pemberi dan penerima. Apakah penyuap dan penerima suap itu dilakukan tersangka sendirian atau ada pihak-pihak lain yang terlibat. “Tentu pengembangannya tidak diarah-arahkan. Tapi berdasarkan bukti-bukti yang ada,†ucapnya, kemarin.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu bekas anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati, kader Partai Golkar Fahd El Fouz dan Andi Haris Surahman (AHS). Wa Ode dijatuhi hukuman 6 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia mengajukan banding. Fahd divonis 2,5 tahun penjara. Sedangkan Haris masih dalam proses penyidikan.
Hingga kemarin, menurut Johan, KPK belum menetapkan tersangka baru kasus suap pengurusan anggaran DPID. Alasannya, penetapan tersangka baru tergantung sejauh mana penyidik menemukan dua alat bukti.
Yang pasti, KPK kemarin memeriksa anggota DPR Andi Azhar Cakra Wijaya sebagai saksi bagi tersangka Andi Haris Surahman. Andi Azhar tiba di Gedung KPK pukul 9.30 pagi. Mengenakan batik warna merah, Andi Azhar tak mau berkomentar soal pemeriksaannya.
Andi Azhar diperiksa selama 5 jam. Pukul 2.45, dia keluar tergesa-gesa. Sempat menolak diwawancara, dia akhirnya mau berkomentar soal pemeriksaannya. Ia mengakui, pemeriksaannya terkait dengan bekas koleganya di Fraksi PAN, Wa Ode Nurhayati. Namun, katanya, apa yang dilakukan Wa Ode bukan instruksi partai.
“Yang dilakukan Wa Ode itu konteksnya pribadi, di luar Fraksi PAN. Kasus DPID adalah permasalahan antara Wa Ode dan Haris Surahman,†katanya.
Dia juga mengaku tidak ada aliran dana ke PAN terkait kasus ini. “Tidak ada itu,†sambungnya.
Andi Azhar juga mengaku mengenal tersangka Andi Haris dan Fahd A Rafiq hanya dari pemberitaan media massa.
Disinggung lebih jauh soal pengurusan DPID oleh bekas partner-nya, Wa Ode, Andi tak mau lagi berkomentar. Ia bungkam dan bergegas ke arah jalan raya. Tak lama kemudian, sebuah mobil Toyota Harrier berhenti di depan Andi dan membawanya pergi.
Ketua Fraksi PAN DPR Tjatur Sapto Edy juga diperiksa sebagai saksi pada akhir Maret lalu. Dalam kesempatan itu, Tjatur membantah telah menugaskan Wa Ode mencari uang melalui pengurusan anggaran DPID.
Dia juga mengaku tidak pernah membahas DPID dengan Wa Ode, di dalam maupun di luar partai. “Tidak ada itu. Sudah, itu saja ya. Memang tidak ada,†ujarnya.
Sebelumnya, KPK juga memeriksa sejumlah anggota DPR sebagai saksi kasus ini. Antara lain, bekas pimpinan Banggar DPR Melchias Markus Mekeng (Partai Golkar) Mirwan Amir (Partai Demokrat), Olly Dondokambey (PDIP), dan Tamsil Linrung (PKS).
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa anggota dan pimpinan DPR disebut-sebut terlibat. Fahd A Rafiq misalnya, mengungkapkan, sejumlah anggota DPR bersaing mengurus pencairan anggaran DPID untuk tiga kabupaten di Provinsi Aceh.
Fahd mengakui menyuap Wa Ode selaku anggota Banggar DPR sebesar Rp 6 miliar melalui perantara Andi Haris Surahman. Wa Ode menuding, pimpinan DPR dan pimpinan Banggar DPR ikut mencicipi alokasi DPID. Tudingan itu dibantah pimpinan Banggar DPR dan pimpinan DPR.
REKA ULANG
Fahd Akui Ada Suap Pengurusan DPID
Jaksa KPK mendakwa Fahd El Fouz menyuap anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati. Dakwaan itu, antara lain didasari adanya pertemuan dengan Andi Haris Surahman guna menyusun skenario suap.
Biasanya, terdakwa kasus korupsi mati-matian membantah dakwaan jaksa. Tapi, Fahd A Rafiq malah membenarkan dakwaan jaksa itu dalam sidang pertamanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, 12 Oktober 2012.
Jaksa I Kadek Wiradana menyebutkan, Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq merancang penyuapan terhadap Wa Ode. Penyuapan dilaksanakan setelah Fahd mengetahui adanya pembahasan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011.
Ketika itu, September 2010, Fahd menemui Andi Haris Surahman. Pertemuan dilakukan di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat. Seperti diketahui, Fahd dan Haris adalah kader Golkar. Fahd merupakan kader Golkar dari unsur Musyawarah Kekeluargaan dan Gotong Royong (MKGR).
Pada pertemuan itu, Fahd menyampaikan permintaan agar koleganya mencarikan anggota Banggar DPR yang bisa meloloskan proyek untuknya. Haris pun sepakat.
Dia lalu menghubungi staf Wa Ode bernama Syarif Ahmad. Dalam percakapan, Haris minta agar Syarif memediasi pertemuan antara Fahd dengan bosnya. Setelah mendapat kepastian, Fahd pun bergegas pergi.
Selang beberapa hari kemudian, difasilitasi Syarif, Haris bertemu Wa Ode. Kali ini pertemuan berlangsung di Restoran Pulau Dua, Senayan. Pada pertemuan ini, Haris menyampaikan keinginan Fahd agar Wa Ode mengusahakan tiga kabupaten di Aceh mendapat jatah DPID.
“Wa Ode menyanggupi dengan mengatakan agar masing-masing daerah mengajukan proposal,†ucap Kadek.
Tindak lanjut atas hal tersebut direspons Haris. Untuk keperluan ini, Haris ditemani Fahd menemui Wa Ode di Gedung DPR.
“Pertemuan dilakukan pada Oktober 2010,†ujarnya. Kali ini, giliran Fahd yang ambil alih topik pembicaraan.
Jaksa menguraikan, saat itu, Fahd meminta agar alokasi di tiga kabupaten di Aceh, masing-masing nominalnya Rp 40 miliar. Wa Ode menanggapi hal itu secara positif. Menurut jaksa, Wa Ode pun menanyakan, apa komitmen Fahd apabila alokasi anggaran tersebut disetujui.
Fahd menjanjikan, menyisihkan anggaran 5-6 persen untuk Wa Ode. “Terdakwa sanggup memberi 5-6 persen,†tambah Kadek. Setelah ada kesepakatan, lalu Fahd mengontak koleganya, pengusaha di Aceh bernama Zamzami.
Dia meminta Zamzani menyiapkan dan mengajukan proposal. Tidak lupa pula Fahd berpesan agar Zamzani menyiapkan dana Rp 7,34 miliar seperti yang diminta Wa Ode.
Kata jaksa, Fahd menjanjikan Zamzani nantinya sebagai pelaksana proyek tersebut. Singkatnya, imbuh Kadek, pengiriman uang pada Wa Ode pun berjalan secara bertahap. Uang ditransfer oleh Fahd ke rekening Haris senilai Rp 6 miliar.
Dari total tersebut, Haris mengirim ke staf Wa Ode, Stefa Yolanda Rp 5,25 miliar dan Syarif Rp 250 juta. Angka tersebut merupakan realisasi dari komitmen 5-6 persen yang dijanjikan Fahd dan Haris kepada Wa Ode sebesar Rp 5,5 miliar.
Ditambahkan Kadek, pengiriman transfer rekening kepada dua staf Wa Ode, dilakukan atas permintaan Wa Ode.
Menanggapi dakwaan tersebut, Fahd tidak berkelit. Dia mengaku, menyuap Wa Ode Nurhayati Rp 5,5 miliar. Menanggapi pertanyaan hakim Suhartoyo, Fahd menyatakan, 90 persen isi dakwaan benar adanya.
“Pada prinsipnya saya memahami dan 90 persen dakwaan itu benar,†ucap Fahd.
Bahkan, seusai sidang perdana itu, Fahd menambahkan, total uang yang dikeluarkannya bukan Rp 5,5 miliar. Melainkan Rp 6 miliar. Menurut dia, sisa uang yang dikirim ke Wa Ode diberikan pada Haris senilai Rp 500 juta.
Ungkap Aliran Dana KPK Sebaiknya Gandeng PPATK
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusama Sundari menilai, meski sudah menghasilkan dua terpidana dan satu tersangka, penanganan kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), masih tahap awal.
Soalnya, menurut Eva, kasus ini masih mungkin dikembangkan kepada pihak-pihak lain yang terlibat. Apalagi dalam fakta persidangan, sudah ada pengakuan-pengakuan yang menyatakan adanya aliran dana ke sejumlah oknum DPR yang juga mengurus DPID.
“Pengembangannya bisa kepada pihak legislatif di Banggar DPR maupun ke pihak daerah penerima DPID. Semunya masih sangat mungkin dikembangkan,†kata politisi PDIP ini, kemarin.
Eva menyarankan, KPK sebaiknya segera bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membantu proses penyidikan.
Menurutnya, data tersebut penting guna membantu mengungkap pihak lain dan aliran dana.
“Kalau ada kecurigaan, tentu harus minta bantuan PPATK, apakah benar ada transaksi mencurigakan kepada pihak-pihak yang disebut di pengadilan itu. Tugas KPK yang mengungkap itu,†ucapnya.
Eva berharap, dalam melakukan penelusuran aliran dana atau pihak-pihak yang diduga terlibat, KPK tetap bekerja berdasar pada bukti hukum. Bukan karena pesanan atau hanya membidik-bidik pihak tertentu.
“Semua yang dilakukan KPK harus bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga tidak ada sangkaan bahwa KPK bekerja karena pesanan,†ujarnya.
Terkait siapa lagi yang akan menjadi tersangka kasus ini, Eva menyerahkan semuanya kepada KPK. Soalnya, kasus ini sudah memasuki proses hukum. Jika KPK sudah menemukan kembali alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka, maka Eva berharap KPK tidak menunda-nunda lagi.
Pintu Masuk Untuk Bongkar Kasus Serupa
Alex Sato Bya, Mantan Jamdatun
Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya menyatakan, terungkapnya suap untuk anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati dalam mengurus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), merupakan pintu masuk bagi KPK untuk membongkar kasus-kasus serupa.
Menurut Alex, DPID adalah anggaran yang rawan diselewengkan. Buruknya tata kelola anggaran, menjadi salah satu alasan mudah bocornya dana untuk ke daerah.
Selain itu, kata dia, anggaran tersebut langsung ke daerah sehingga sulit dipantau pusat. Belum lagi, penerima DPID merupakan daerah-daerah yang jauh dari pusat.
“Selama ini, tidak ada yang menyangka kasus seperti itu akan terungkap. Setelah kasus Wa Ode terbongkar, kasus-kasus suap pengurusan DPID yang lain akan menyusul,†kata Alex, kemarin.
Alex menduga akan banyak pihak yang terseret kasus DPID. Baik dari pihak legislatif maupun dari pemerintah daerah. “Patut diduga ada permainan antara pemerintah daerah dengan Banggar. Bisa juga difasilitasi partai politik,†ucapnya.
Alex menduga, sampai tahun 2014, kasus ini akan terus bergulir dan menyeret berbagai pihak. “Mungkin tidak hanya anggota Banggar dari partai yang terseret sekarang, tapi juga dari partai lain,†kata bekas Ketua Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Daerah Sumatera ini.
Menurutnya, Wa Ode Nurhayati bukan anggota Banggar terakhir yang terseret kasus ini. Pasalnya, dalam mengesahkan alokasi DPID, Banggar memutuskan secara bersama-sama. Apalagi, Wa Ode juga telah menyebut adanya aliran dana ke pimpinan Banggar.
Alex berharap, KPK tidak hanya fokus menelusuri dugaan keterlibatan pihak legislatif, tapi juga kepada pemerintah daerah penerima DPID. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: