Kasus Jaksa Pemeras Dianggap Belum Tuntas

4 Terdakwa Divonis 4 Tahun Penjara

Sabtu, 16 Maret 2013, 09:05 WIB
Kasus Jaksa Pemeras Dianggap Belum Tuntas
ilustrasi/ist
rmol news logo .Kejaksaan Agung mengapresiasi vonis empat tahun penjara terhadap M Amin Saleh, terdakwa yang membantu tiga staf Kejagung memeras pengusaha. Kejaksaan pun masih melacak oknum jaksa lain yang diduga ikut membantu Amin.

Kepala Pusat Penerangan dan Hu­kum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, ja­­jarannya menyambut positif vo­nis hakim. Hal itu, me­nu­rut­nya, men­jadi pembelajaran bagi para jak­sa agar tidak melakukan pe­nye­le­wengan. “Kami sangat meng­­hargai vonis itu,” katanya, kemarin.

Diharapkan, vonis empat tahun pada terdakwa M Amin, dua jak­sa fungsional dan staf tata usaha Kejagung tersebut mampu mem­beri efek jera pada pelaku, mau­pun  jaksa aktif. “Penindakan ter­hadap oknum jaksa nakal terus dilakukan,” ujarnya.

Dia menggarisbawahi, ke­mung­­kinan masih ada oknum jak­sa yang terlibat perkara peme­ra­san ini, terbuka. Namun, dia be­lum bisa memastikan siapa jaksa lain yang diduga terlibat. Ia pun be­lum mengetahui, bagaimana pro­ses yang dilakukan jajaran Jak­sa Agung Muda Bidang Pe­ngawasan (Jamwas) dalam me­nelusuri hal tersebut.
Dia menambahkan, penind­a­kan terhadap tiga staf Kejagung sudah dilakukan jajaran Jamwas secara proporsional. Ke depan­nya, siapa pun yang diduga ber­salah, tentu akan ditindak sesuai prosedur yang berlaku. 

“Untuk ok­num jaksa lainnya, saya perlu cari informasinya lebih dulu,” ucap bekas Kepala Kejak­saan Negeri Jakarta Selatan ini.

Ia mengaku, kejaksaan tidak akan kompromi dalam menindak penyelewengan jaksa. Se­ba­gai­mana diketahui, mencuatnya du­ga­an keterlibatan oknum jaksa lain, terungkap dalam per­si­da­ngan terdakwa M Amin Saleh dan kawan-kawan. Terlebih, Amin dan tiga koleganya yang divonis em­pat tahun penjara itu me­nya­ta­kan keberatan. Mereka tidak puas dengan putusan hakim. Ma­salahnya, masih ada oknum jaksa yang diduga terlibat, namun be­lum ditindak (baca reka ulang). Sehingga, mereka menganggap kasus ini belum tuntas.

Dalam putusannya, Ketua Ma­jelis Hakim Afiantoro me­nya­ta­kan, terdakwa Amin sengaja me­ngajak tiga pegawai Kejagung un­tuk memeras Direktur PT Budi Indah Mulia Mandiri (BIMM) Budi Ashari. Perbuatan itu dinilai telah merusak reputasi Kejagung.

“Menyatakan, terdakwa telah ter­bukti secara sah dan me­nya­kin­kan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” te­gasnya. Majelis hakim me­mu­tus, Amin terbukti melanggaar Pa­sal 12 huruf e UU Pembe­ran­tasan Korupsi.

Selain vonis empat tahun pen­jara, Amin juga diharuskan mem­bayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.  Di­kon­fir­masi, apakah terdakwa menerima vonis hakim, Amin menjawab, “pikir-pikir.” Dia menyesalkan, kenapa penindakan kasus ini hanya sampai di sini.

Padahal, lanjutnya, dalam per­si­dangan sudah terungkap nama-nama lain. Dalam kasus pe­me­ra­san pengusaha tersebut, Amin didakwa bersama-sama dua staf jaksa fungsional Kejagung Andri Fernando Pasaribu dan Arief Budi Haryanto, serta pegawai tata usaha Kejagung Sutarna me­rancang dan menerima uang hasil pemerasan.

Semua terdakwa divonis empat tahun penjara. Vonis empat tahun ini lebih ringan dibanding tuntu­tan jaksa berupa lima tahun pen­jara dan denda Rp 300 juta.

Hakim menilai, peran Amin sa­ngat krusial. Selaku pemilik data soal dugaan penyimpangan ten­der proyek pembangunan pe­la­bu­han di Angata, Tanjung Redep dan Ta­nah Tidung, Kalimantan Ti­mur, Amin menghubungi re­kan­nya Dede Prihantono untuk mel­a­por­kan penyelewengan itu. Tapi be­la­kangan, upaya me­la­por­kan pe­nyimpangan,  berbalik arah. Amin meminta jaksa dan staf tata usaha Kejagung untuk membantunya me­meras Budi Ashari.

Reka Ulang
Majelis Hakim Mengurai Pemerasan Itu...

Sebelum vonis dijatuhkan pada M Amin Saleh pada Kamis (14/3) lalu, hakim lebih dulu me­mutus perkara tiga pegawai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.

Dalam putusannya, Pengadilan Tipikor menghukum dua jaksa fungsional Andri Fernando Pa­sa­ribu dan Arief Budi Haryanto, ser­ta pegawai tata usaha Sutarna, empat tahun penjara. Mereka disebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Majelis hakim menguraikan, peristiwa ini berawal pada Selasa, 25 September 2012. Ketiga ter­dakwa bersama Dede Prihantono dan Amin Saleh melakukan per­te­muan untuk merencanakan pe­me­rasan terhadap Direktur PT Bu­di Indah Mulia Mandiri (BIMM) Budi Ashari.

Sebagai pemilik data, Amin me­­nyerahkan data tersebut un­tuk diolah Dede dan ketiga ter­da­kwa. Tujuannya, agar Budi mau mem­berikan uang Rp 2 mi­liar sampai Rp 3 miliar untuk di­bagi rata. Ke­esokan harinya, 26 September 2012, mereka kem­bali mel­a­ku­kan pertemuan di res­to cepat saji ka­wasan Bu­lu­ngan, Jakarta Selatan.

Pada pertemuan ini, mereka berbagi peranan. Hasil pertemuan menyepakati, Amin yang men­ja­bat manajer HRD PT BIMM ber­peran memonitor pergerakan pe­ru­sahaan. Sementara, Dede ber­tugas menerima pencairan dana, dan ketiga terdakwa bertugas me­ngolah data dengan membuat su­rat panggilan, Berita Acara Pe­me­riksaan (BAP), serta semua yang berkaitan dengan berkas.

Lebih lanjut, terdakwa Arief mu­lai membuat surat panggilan palsu yang ditandatangani Andri dan distempel Sutarna. Surat pang­gilan itu atas nama Budi Ashari. Pemeriksaan dijadwalkan pada Jumat, 28 September 2012 pukul 17.00 WIB di Kejagung.

Sore hari dipilih dengan per­tim­ba­ngan karyawan lain sudah pulang. Surat panggilan diantar ke kantor dan diterima Sekretaris Lusi Sulistyowati. Ketika hari pe­merik­saan, Budi tidak memenuhi pang­gilan, sehingga ketiga ter­dakwa, Dede, dan Amin kembali mela­ku­kan pertemuan di Burger King, Blok M Plaza pada 2 Ok­tober 2012.

Para terdakwa sepakat pergi ke kantor Budi untuk mena­nya­kan langsung, mengapa Direktur PT BIMM ini tidak datang sesuai panggilan. Kepada Budi, Andri me­ngungkapkan niat untuk mem­­buat surat panggilan kedua. Budi menanggapinya dengan menga­ta­kan bersedia datang ke kantor Andri pada hari Jumat.

Pada Jumat, 5 Oktober 2012 staf Budi yang bernama Eddy Cah­yono menelepon Andri untuk bertemu. Andri lalu menelepon Dede dan meminta Sutarna me­ngantar Dede bertemu Eddy di Hanamasa. Dari tawar menawar yang dilakukan Eddy, Dede me­minta uang sebesar Rp 2,5 miliar.

Keesokan harinya, Dede men­da­tangi rumah Mudjiono, staf pada Jak­sa Agung Muda Intelijen untuk meminta arahan. Dede me­nanya­kan, langkah apa yang akan dilaku­kan. Mudjiono, menurut majelis ha­kim, lantas menya­ra­n­kan, “Su­dah jalankan saja se­muanya, aman, nanti saya telepon ketua timnya.”

Eddy kemudian menemui Budi untuk membicarakan ma­salah per­mintaan uang Rp 2,5 mi­liar, pada 8 Oktober 2012. Budi me­nye­­rahkan uang Rp 50 juta kepa­da Eddy untuk dise­rah­kan kepada para terdakwa. Se­te­lah itu, Eddy m­enelepon Dede dan me­nye­pa­kati penyerahan uang di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.

Pada hari yang sama, Eddy ber­temu Dede di parkiran mobil Citos. Dede meminta Eddy me­ma­sukkan uang yang ditaruh dalam tas ransel tersebut ke mobil kijang sewaan Dede. Saat Dede akan memasuki mobil, tiba-tiba datang sejumlah jaksa dari Ba­gian Pengawasan Kejagung un­tuk menangkap Dede dan Eddy. Keduanya lalu dibawa ke Ke­jagung untuk diperiksa.

“Dengan demikian, para ter­dakwa terbukti memaksa secara psikis saksi Budi Ashari, dengan cara membuat surat panggilan palsu seolah-olah benar diproses di Kejaksaan Agung, dengan tujuan agar saksi menjadi takut dan pada saatnya menyerahkan uang agar perkaranya tidak di­lanjutkan,” kata Ketua Majelis Hakim Afiantara.

Meski belum menyatakan ban­ding, terdakwa Andri mengaku keberatan dengan putusan majelis hakim. Ia juga heran, kenapa Mud­jianto yang punya andil da­lam kasus ini, tidak turut ditetap­kan sebagai tersangka.

Jangan Dibiarkan Hingga Orang Lupa
Anhar Nasution, Ketua Umum LBH Fakta

Ketua Umum Lembaga Ban­tuan Hukum (LBH) Fakta An­har Nasution menilai, pe­na­nga­nan kasus pemerasan ini masih lemah. Dia pun mendesak ke­jak­saan lebih transparan dalam menindak oknum internalnya. “Tidak salah kalau ada peni­lai­an, kejaksaan cenderung masih melindungi oknum inter­nal­nya,” katanya.

Masalahnya, pengusutan dan penindakan internal kerap ter­tu­tup. Tidak ada keterangan mau­pun kejelasan dalam me­nye­lesaikan perkara me­nyang­kut keterlibatan oknum jaksa. Ka­laupun selama ini ada pe­nin­dakan, hal itu baru sebagian kecil.

Jadi, menurut Anhar, komit­men mengubah paradigma ke­jak­saan harus dimulai dengan cara membuka semua keran in­formasi. Mulai dari pengusutan perkara sampai penindakan ok­num internal, semestinya di­so­sialisasikan secara baik. Dari situ, dia berharap, per­tang­gung­jawaban kejaksaan menjadi lebih jelas.

Dia menambahkan, kasus-kasus dugaan pemerasan oleh jaksa sudah terdengar lama. Hal ini hendaknya dijadikan se­ba­gai pembelajaran agar fungsi kontrol dan pengawasan lebih efektif. “Jadi bukan baru kali ini saja. Ada banyak kasus pe­nye­lewengan oleh oknum jaksa. Itu menjadi catataan kita untuk membenahinya bersama-sama,” tandasnya.

Dia mengemukakan, bila pada perkara pemerasan kali ini masih ada dugaan keter­libatan oknum jaksa lain, hal itu hen­daknya menjadi masu­kan bagi kejaksaan. Bukan ma­lah di­diamkan atau dibiarkan hingga orang lupa. Melainkan, justru diselesaikan secara transparan.

“Panggil jaksanya, periksa dan tentukan penindakan yang sesuai. Tahapan atau langkah ini idealnya dilakukan secara terbuka,” tuturnya.

Dengan begitu, kesan bahwa korps melindungi oknum yang bersalah, bisa dikesampingkan. Dia sangat berharap, pe­ngu­su­tan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan oknum ke­jak­saan, bisa selesai secara utuh dan proporsional.

Kejaksaan Tak Boleh Lakukan Pembiaran
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Daday Hudaya menilai, Kejak­saan Agung sudah me­nun­juk­kan komitmen menertibkan in­ternalnya. Beragam penin­da­kan yang sudah ada, idealnya mendapat dukungan ma­sya­rakat. “Penindakan terhadap oknum jaksa nakal selama ini sudah dilakukan kejaksaan,” katanya.

Hal itu hendaknya tidak di­tanggapi dengan sikap negatif. Justru, kekurangan dalam me­nindak jajaran internal k­e­jak­sa­an, semestinya dijadikan cam­buk untuk lebih intens dalam mengawasi dan menindak jaksa yang melakukan penyelewengan.

Dia menyampaikan, ke­ku­rang­tegasan sikap kejaksaan, hen­daknya menjadi pem­be­la­ja­ran. Bukan justru dijadikan alat pembenaran dalam menyikapi suatu persoalan.

Dengan kata lain, sebut dia, intensitas pe­nin­dakan ke luar hendaknya di­ba­rengi dengan penindakan ke dalam. “Jadi ada semacam ke­se­imbangan,” ujarnya.

Ia berpesan, sebagai penegak hukum, kejaksaan tidak boleh melakukan pembiaran. Apalagi pembiaran yang menyangkut kinerja negatif jaksa.

“Tindak jaksa yang me­nye­leweng de­ngan hukuman yang sepadan,” tandas politisi Partai Demokrat ini.

Jika hal itu mampu dite­rap­kan kejaksaan secara benar, oto­matis keterpurukan institusi kejaksaan bisa ditanggulangi. Setidaknya, mampu dimini­ma­lisir. Hasil dari kerja keras ter­sebut, tentunya akan me­m­be­ri­kan keyakinan masyarakat bah­wa kejaksaan masih memiliki komitmen menegakkan hukum.

“Kepercayaan masyarakat ini penting. Dari sini, mereka tidak akan menganggap upaya kejaksaan sekadar lips service,” ucapnya.

Dia pun berharap, kejaksaan masih memiliki visi mene­gak­kan hukum tanpa pandang bulu. “Jadi kalau ada oknum jaksa yang bersalah, akan ditindak. Bukan dilindungi,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA