“Memang Presiden harus mengaÂbulkan permohonan DPRD Garut untuk pemecatan Pak Aceng Fikri. Sebab, MA juga sudah mengabulÂkan permohonan itu,’’ ujar Juru BiÂcara Presiden, Julian Aldrin Pasha kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Seperti diketahui, setelah MA mengeluarkan putusan dan MA menolak menguji permohonan Aceng, DPRD Garut menyamÂpaikan surat rekomendasi peÂmeÂcatan Aceng ke Gubernur JaÂwa BaÂrat dan diteruskan ke MenÂteri Dalam Negeri. SelanÂjutÂnya meÂnunggu putusan PreÂsiden.
Julian Aldrin Pasha selanjutnya mengatakan, tidak perlu diraguÂkan, Presiden wajib mengeluarÂkan putusan pemberhentian Aceng dari Bupati Garut.
Berikut kutipan selengkapnya:Kenapa Anda bilang wajib?Harus dipahami bahwa posisi Presiden wajib memproses surat yang mengusulkan pemberhenÂtian kepala daerah atau wakil keÂpaÂla daerah. Ini merujuk pasal 29 ayat 4e dalam Undang-undang NoÂÂmor 32 tahun 2004 Tentang PeÂmerintahan Daerah.
Apa intinya?Untuk kasus Aceng Fikri ini kita tahu bahwa apa yang dilakuÂkan Aceng sudah menjadi pembiÂcaraan luas di kalangan masyaÂrakat. Bukan saja di Garut, tapi di seluruh Indonesia. Banyak maÂsyaÂrakat yang mengatakan bahwa apa yang dilaÂkukan Aceng tidak daÂlam keÂpatutannya sebagai pejabat puÂblik, yakni sebagai Bupati Garut.
Bagaimana respons Presiden?Presiden kita ini kan taat pada norma-norma yang berlaku di maÂsyaÂrakat. Apa yang dilakuÂkan Aceng ini tentu beliau akan kriÂtisi.
Karena suka atau tidak, asas kepatutan itu harus dijaga, terutaÂma norma-norma yang ada di sekitar masyarakat.
Lalu apa tindakannya?Karena perbuatan Aceng sudah dianggap melecehkan kaum waÂnita, apalagi sudah diproses di DPRD Garut dan MA mengaÂbulkannya. Dua elemen ini sudah cuÂkup bagi Presiden untuk mengaÂbulÂkan permohonan DPRD Garut. Sebab, kedua elemen itu disebut dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.
Sebelum diteken Presiden, Bagaimana surat itu sampai ke Presiden?Sesuai ketentuan, Presiden waÂjib untuk memeroses hal terÂsebut dalam waktu 30 hari setelah diajukannya surat DPRD Garut tersebut.
Kapan surat itu sampai ke Presiden?Surat itu diproses di Sekretaris Negara setelah diajukan dari Menteri Dalam Negeri sebagaiÂmana biasa surat yang masuk ke Presiden. Yang terpenting harus dilihat bahwa peran Presiden bukan sebagai penentu, bukan yang mengambil keputusan untuk memutuskan masalah Aceng ini. Tapi ini kan sebuah rangkaian proses. Yang sudah panjang.
Kenapa prosesnya lama ya?Tentu ada prosesnya juga. Membuat Surat keputusan presiÂden soal itu, tentu dibuat dulu draftnya yang merujuk Undang-undang NoÂmor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Belajar dari kasus Aceng, apa imbauan SBY terhaÂdap kepala daerah?Tentu kita semua harus mengiÂkuti kepatutan yang ada. Namun Presiden merasa tidak perlu ada imbauan lagi bagi kepala daerah.
Loh kenapa begitu?Mestinya pejabat publik tidak hanya memperhatikan prosedur administratif, tapi masalah kepatutan sebagai pejabat publik juga perlu dijaga.
Saya kira hal seperti itu sudah menjadi pengetahuan umum. Tidak perlu Presiden mengingatÂkan. Kecuali ada hal lain yang terkadang secara administratif tiÂdak begitu dikuasai kepala daerah.
Apa saja itu?Misalnya menyangkut impleÂmentasi dari pelaksanaan perunÂdang-udangan yang secara admiÂnistratif domainnya eksekutif.
Apa harapan Pesiden atas kasus Aceng ini?Tentu ini akan menjadi sebuah pembelajaran yang berarti bagi semua orang yang menjadi pejaÂbat publik.
Kita harus tahu, selain ada UU, tentu ada pengawasan masyaÂrakat walau tidak tertulis secara forÂmal. Itu yang perlu disadari pejabat publik. [Harian Rakyat Merdeka]