Memori tuntutan dibacakan Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Guntur Fery Fathar di PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta, kemaÂrin. Menurut JPU, Hasan dan Azmi terbukti menghalangi pengusutan perkara korupsi proyek PemÂbangkit Listrik Tenaga Surya di KeÂmenterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008.
Kedua terdakwa dinilai sengaja meÂnyembunyikan tersangka NeÂneng Sri Wahyuni saat berstatus buronan
International Police (InÂterpol). Akibat tindakannya, terÂdakwa patut diduga turut serta daÂlam perkara korupsi.
“Meminta majelis hakim menyatakan terÂdakÂwa satu dan terdakwa dua terÂbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana koÂrupsi,†cetus jaksa Guntur.
Oleh sebab itu, jaksa memohon hakim mengabulkan tuntutan, memvonis terdakwa sembilan taÂhun penjara serta denda masing-maÂÂsing Rp 400 juta. Jika terÂdakÂwa tak sanggup membayar denda, terÂdakwa wajib mengganti deÂngan huÂkuman badan selama empat buÂlan penjara. Mendengar tuntutan jaksa, kedua terdakwa tampak kaget.
Jaksa Ahmad Burhanudin meÂnambahkan, pertimbangan jaksa dilatari pengakuan terdakwa, sakÂsi-saksi, rekaman sadapan teÂleÂpon, dan rekaman CCTV. Bertha HeÂrÂaÂwati, pengurus Partai DeÂmokÂÂrat yang sempat jadi saksi siÂdang ini mengaku pernah berÂÂtemu kedua terdakwa. PerÂteÂmuan berlangsung saat memÂbeÂsuk M Nazaruddin di Rumah TaÂhanan (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur.
Tapi saat pertemuan, NaÂzaÂrudÂdin memintanya agar keluar dari ruangan tamu tahanan. Saksi Bertha baru bercakap-cakap dengan terdakwa ketika hendak meninggalkan ruÂtan.
Kepada Bertha, Hasan meÂmaÂparkan, Neneng berada di tempat aman. “Terdakwa Hasan meÂngatakan Neneng tinggal di aparÂtemen,†ucap jaksa mengutip keÂsaksian Bertha. Lalu Bertha beruÂsaha memastikan keamanan NeÂneng. Hasan menyebut, “Kalau polisi mau tangkap, tinggal sebut nama kita.â€
Kepada majelis hakim, Bertha juga mengaku kenal dengan HaÂsan dan Azmi. Perkenalan dengan terdakwa dilatari urusan bisnis NaÂzaruddin di Malaysia dan keÂinginan kedua terdakwa meÂnaÂnamÂkan investasi di Indonesia.
Lebih jauh, tuntutan jaksa diÂdasari pengakuan bahwa Neneng pernah bertemu kedua terdakwa. Pertemuan di Raja Kedai, Kuala Lumpur, Malaysia, terjadi Juni 2011. Pada pertemuan, Neneng minta Hasan membantu masuk Indonesia. Hasan menyanggupi.
Dia lalu menghubungi kurir, ThoÂyibin untuk memÂbuatkan identitas palsu NeÂneng atas nama Nadia. Setelah merencanakan jalur illegal yang akan ditempuh, pada 12 Juni 2011, Hasan, Azmi dan Chalimah alias Camila, pemÂbantu Neneng pergi ke Pelabuhan Setulang Laut Johor, Malaysia.
Dari pelabuhan ini, ketiganya menumpangi kapal Ferry MV Indomas 3 menuju Batam. SeÂmenÂtara Neneng yang dikawal ThoÂyibin, berangkat pagi-pagi buta. Keduanya menumpangi speed boat masuk ke Sengkuang, Batam melalui jalur tidak resmi.
Sekitar pukul enam sore, HaÂsan, Azmi Camila tiba di PeÂlaÂbuÂhan Batam Centre. Kemudian HaÂsan memesan kamar di Hotel BaÂtam Centre. Satu kamar untuk Neneng dan Camila. Satu kamar lainÂnya untuk Hasan dan Azmi.
Pada 13 Juni 2012, Hasan, Azmi, Neneng dan Camila meÂlanÂjutkan perjalanan ke Jakarta. Tiket pesawat disiapkan terdakÂwa. Mereka terbang dari Bandara Hang Nadim, Batam mengÂguÂnaÂkan pesawat Citilink nomor peÂnerÂbangan GA-O39.
Jaksa menyimpulkan, tindakan Hasan dan Azmi melindungi dan membantu Neneng masuk IndoÂneÂsia, merintangi proses penyiÂdiÂkan perkara korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) deÂngan tersangka Neneng.
Terlebih, keÂdua terdakwa mengetahui bahÂwa nama Neneng masuk dafÂtar penÂcarian orang (DPO). Akibat tinÂÂdaÂkan terdakwa, perkara terÂseÂbut tidak bisa dilanjutkan KPK ke tingkat penuntutan.
Jaksa menilai, pertimbangan yang memberatkan terdakwa ialah membuat citra buruk peÂneÂgaÂkan hukum di Indonesia, tidak mendukung upaya pemÂbeÂranÂtaÂsan korupsi, serta mempersulit jaÂlannÂya sidang. Sedangkan hal yang diÂanggap meringankan, kedua terÂdakwa belum pernah dihukum.
Kuasa hukum kedua terdakwa, Junimart Girsang akan mengajukan peÂmÂbeÂlaan untuk kliennya. Namun, dia belum mau menjabarkan subsÂtansi pembelaan yang akan diÂajuÂkan pada sidang pekan depan.
“Kita akan ajukan memori pemÂbelaan. Tuntutan jaksa tidak seÂsuai dengan apa yang terÂungÂkap di persidangan,†cetusnya. Dia meÂnyeÂbutÂkan, terdakwa I dan terdakwa II merupakan warga Malaysia yang datang ke InÂdonesia untuk urusan bisnis.
Terdakwa I adalah pengusaha resÂtoran dan Terdakwa II manaÂging director. Keduanya tak perÂnah mengenal dan berteman deÂngan Neneng. Jadi, bagaimana mungkin para terdakwa meÂlaÂkuÂkan tindakan yang bermaksud mencegah penyidikan terhadap Neneng dan membantu lewat jalur ilegal?†belanya.
Dia bersikukuh, para terdakwa pertama kali bertemu Neneng di Hotel Batam Center.
Reka Ulang“Banyak Juga Azmi Makannyaâ€Kedekatan Neneng Sri WahÂyuni dengan terdakwa warga MaÂlaysia tertangkap kamera tatÂkala makan pagi di restoran seÂbuah hotel di Malaysia.
Cuplikan rekaman itu diputar jaksa dalam sidang terdakwa M Hasan Bin Khusi dan R Azmi Bin M Yuso, Kamis (6/12) petang. SeÂkaÂlipun tampilan gambar itu tak begitu jernih, terlihat Neneng dan Chalimah, pembantunya, meÂnemÂpati sebuah meja makan.
Tak lama berselang, Hasan dan Azmi datang. Setelah berÂjaÂbat taÂnÂgan, mereka pun makan pagi. SuaÂÂsana sarapan pagi tamÂpak santai. Mereka sesekali berÂcakap-cakap.
Dalam cuplikan tersebut, Azmi sering terlihat bolak-balik meÂngambil makanan. Karena poÂlahÂnya, hakim Pangeran NÂaÂpiÂtuÂpulu melontarkan guyonan. “BaÂnyak juga Azmi makannya. BoÂlak-balik terus,†katanya diÂsamÂbut tawa penonton sidang.
Sesaat kemudian, jaksa meÂmaÂtikan tayangan rekaman berdurasi kurang dari 15 menit itu. Jaksa meÂngatakan, tayangan tersebut seÂngaja diputar guna meÂnunÂjukÂkan kedekatan hubungan terÂdakÂwa dengan istri M Nazaruddin. “Ini diputar untuk menunjukkan keakraban mereka berempat,†kata jaksa.
Lalu hakim mengkonfirmasi saksi Chalimah, pembantu NeÂneng. Chalimah mengaku, baru seÂkali bertemu kedua terdakwa. SakÂsi bilang, pertemuan terjadi saat Neneng berusaha meningÂgalÂkan Malaysia. “Saya baru kenal waktu perjalanan dari Johor Baru menuju Batam,†katanya.
Dinyatakan, kedua terdakwa sama-sama menumpangi kapal fery. “Waktu itu kami sama-sama naik fery,†kata Chalimah. SeÂmenÂtara, Neneng meninggalkan MaÂlaysia menggunakan speedboat.
Menurut Chalimah, dirinya dan kedua terdakwa baru bertemu NeÂneng ketika sampai di Batam. Ia mengaku lupa apa nama temÂpat pertemuan dengan bosnya terÂseÂbut. Begitu urusan selesai, dia dan Neneng serta dua terdakwa semÂpat menginap di hotel. KeÂesoÂkannya, mereka bergegas meÂninggalkan Batam menuju JaÂkarÂta menggunakan pesawat. Tapi setiba di kediaman majiÂkanÂnya, bilangan Pejaten, Pasar MingÂgu, Jaksel, petugas KPK meÂnangkap Neneng.
Pada cuplikan rekaman kedua, jakÂsa memutar tayangan lain di HoÂtel Lumirre, Senen, Jakpus. Pada tayangan ini, terlihat saksi Aan, sopir Nazaruddin didamÂpiÂngi Heri menumpangi mobil ToÂyota Avanza abu-abu. Heri dan Aan sempat menurunkan bebeÂrapa koper di depan lobi hotel.
Kedatangan Heri dan Aan disambut terdakwa Azmi. Setelah koper diturunkan, Heri kembali masuk mobil.
Dia menyalakan mesin. NaÂmun mobil tidak jalan. Ternyata, Heri menunggu Aan. Dalam siÂdang, Aan mengaku kenal dengan kedua terdakwa. Bekas sopir priÂbadi Nazaruddin itu, mengaku suÂdah kenal kedua terdakwa pada 2010. Dia menjelaskan, perteÂmuÂan dilatari perintah rekan M NaÂzaÂruddin, Bertha Herawati yang juga politisi Partai Demokrat. “Saya disuruh Ibu Bertha meneÂmui mereka di Hotel Lumirre, Senen,†katanya.
Saat itu, Bertha berpesan, tak bisa menemui Hasan dan Azmi karena sibuk. Rencana pertemuan yang semula siang hari pun diÂgeÂser malam. Aan tak mengetahui apa agenda pertemuan itu.
Tuntutan KPK Masih LogisHendardi, Direktur Eksekutif Setara Institut
Direktur Eksekutif Setara Institut Hendardi menyatakan, hal yang menjadi pokok perÂsoalan dalam kasus ini adalah putusan hakim. Jadi, berapa pun tuntutan hukuman yang ditenÂtukan jaksa, tak jadi persoalan kruisial.
“Kalau ancaman hukuman maksimalnya 12 tahun jadi sem bilan tahun, itu masih logis. Beda halnya jika ancaman huÂkuÂman maksimal 12 tahun, tunÂtutannya jadi tiga tahun. Ini perÂlu dipersoalkan. Ada apa deÂngan jaksa,†ujarnya.
Dia menggarisbawahi, hal kruÂsial dalam persoalan ini yaÂitu, bagaimana hakim menyiÂkaÂpi tuntutan jaksa. Jadi, yang paÂling penting disikapi adalah bagaimana hakim menimbang dan memutus perkara tersebut.
Kualitas hakim dalam meÂmuÂtus perkara yang sudah dituntut jaksa ini perlu dikawal. Jangan sampai, hakim memberikan peÂnafsiran yang keliru atau beÂrÂbeÂda dengan jaksa.
“Tuntutan jaksa sudah makÂsimal. Jangan sampai justru diÂmenÂtahkan hakim dengan putuÂsan yang lebih ringan,†tuturnya.
Bekas Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia (PBHI) ini menamÂbahÂkan, eksistensi penyidik dan jaksa KPK selama ini sudah cuÂkup signifikan. Dibanding deÂngan lembaga penegak hukum lainnya, kinerja KPK boleh diÂbiÂlang menunjukkan arah yang positif.
Dengan penilaian itu, maka wajar apabila KPK kebanjiran tamu delegasi asing. Yang penÂting, intensitas pertemuan itu diÂbatasi serta dilaksanakan secara terbuka. Hal ini penting agar dugaan miring tentang adanya intervensi asing pada KPK daÂpat diminimalisir.
“Kalau terus-terusan meneÂriÂma tamu asing, lalu kapan kerÂjanya. Yang kita perlu sekarang, bagaimana KPK mencegah dan menindak korupsi secara teÂgas,†tandasnya.
Apakah KPK Takut Intervensi Pihak AsingM Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPRPolitisi PAN M Taslim ChaÂniago menilai, tuntutan jaksa yang lebih ringan dibanding ancaman hukuman dalam dakÂwaan, menimbulkan keanehan. Kemungkinan penegakan huÂkum masih diintervensi keÂpenÂtingan asing pun mÂencuat. “ApaÂkah ada intervensi dari pihak asing kepada KPK,†katanya.
Dia menyatakan, jika dalam dakÂwaan jaksa mengutip ancaÂman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, kenapa hal ini tak direÂaliÂsasikan dalam tuntutan. Apalagi sebelum mengajukan tuntutan, jaksa sudah mendapat fakta-fakta yang konkret. Fakta-fakta yang dimaksud, keterangan terÂdakwa, saksi-saksi, rekaman saÂdaÂpan teÂlepon, serta rekaman CCTV.
Bukti-bukti itu, menurut dia, bisa dijadikan patokan dalam menuntut terdakwa dengan huÂkuÂman maksimal atau lebih beÂrat. “Ini justru lebih ringan. Apa jangan-jangan KPK takut inÂtervensi asing?†tanyanya.
Taslim menyayangkan perÂtimÂbangan jaksa. Dia pun meÂminta agar jaksa penuntut dan peÂnyidik KPK untuk lebih proÂgresif dalam menegakkan huÂkum. Progresifitas itu idealnya diwujudkan dengan bukti konÂkret berupa penindakan yang lebih tegas.
Jangan sampai, penindakan hukum hanya tegas kepada Warga Indonesia. Sementara meÂlempem saat menghadapi terdakwa yang nota bene warga asing. Jika ini yang terjadi, poliÂtisi asal Sumbar ini khawatir, kewibawaan dan kedaulatan huÂkum Indonesia akan diinjak-injak negara lain. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: