Hal itu dikatakan sejarawan, JJ Rizal, dalam diskusi "Jakarta Tak Berdaya" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/1). Penyalahgunaan wilayah ini sudah dimulai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
"VOC, setelah perdamaian dengan Banten dan Mataram, mereka keluar dari Banten dan buka lahan di wilayah selatan untuk permukiman, perkebunan tebu dan industri gula karena permintaan besar gula untuk Asia dan Eropa saat itu," urai Rizal.
Pada sekitar 1720, ada ratusan perkebunan dan industri gula, yang mayoritas dekat dengan aliran Sungai Ciliwung. Hal itu begitu merusak daerah tangkapan air karena tanaman tebu adalah tanaman yang merusak tanah, dan diperlukan 100 tahun untuk kembali memurnikan tanah setelah ditanami tebu.
"Ketika permintaan gula menurun, maka industri dan perkebunan ditinggalkan dan meninggalkan kerusakan begitu parah di hulu Ciliwung. Ketika Ciliwung masuk ke kota dengan sampah, lumpur dan airnya, dan warga daerah yang dilewati sungai menganggap Ciliwung sebagai tempat sampah raksasa," jelasnya.
Maka itu, Batavia lama menjadi kota yang sangat buruk dan biang penyakit. Ketika musim panas dan hujan selalu membawa penyakit. Saat itu, Batavia lama dinamakan "Kuburan di Timur" karena geografisnya yang ekstrim.
"Keserampangan terhadap tata ruang, sebabkan kota yang tadinya istimewa jadi begitu buruk dan memaksa kota itu pindah. Yang sekarang kita tinggali adalah New Batavia dan bisa jadi Old Batavia jilid dua," ucapnya.
Sampai sekarang, penyimpangan tata ruang masih berlanjut. Bisa dibayangkan, selama berabad-abad Jakarta sudah diperkosa demikian rupa oleh kepentingan modal.
"Konglomerat properti muncul sejak 1980-an. Pantai Indah Kapuk itu harusnya jadi hutan bakau kita. Hambalang dan Sentul dirambah tahun 80-an . Kota-kota di pinggir Jakarta jadi perumahan raksasa, semakin membuat daerah tangkapan air itu sudah tinggal mimpi," ucapnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: