Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU Migas 22/2001, Adhie Massardi, mengatakan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang baru dibentuk pemerintah, adalah melawan putusan Mahkamah Konstitusi soal pembubaran BP Migas.
"Seharusnya Komisi VII segera memanggil pemerintah dan membicarakan langkah strategisnya. Misalnya, mempercepat penyelesaian pembuatan UU Migas baru. Sementara Kementeriaan ESDM mengawasi apa yang sudah dijalankan BP Migas (kontrak-kontrak karya dengan pihak asing). Itu yang disarankan MK," urai Adhie.
Sikap pasif Komisi VII DPR itu wajar menimbulkan kecurigaan. Apalagi, Ketua Komisi VII adalah politisi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana. Bisa jadi, semua penyelewengan dalam tata kelola migas yang omzetnya triliunan rupiah akan dibiarkan karena oknum tertinggi di Kementeriaan ESDM berasal dari partai yang sama dengan Ketua Komisi VII.
Maka itu, agar tidak terjadi
conflict of interest, koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) itu menyarankan agar Ketua Komisi VII diganti dari partai lain. Kalau tidak, katanya, dapat menimbulkan kecurigaan ada patgulipat antara eksekutif dan legislatif demi menambah pundi-pundi partai guna menghadapi pemilu mendatang.
Dengan demikian, Komisi VII bisa lekas memanggil dan menegur pemerintah karena penerbitan Perpres 9/2013 (pembentukan SKK Migas) melawan keputusan Mahkamah Konstitusi 36/PUU-X/2012.
"Sekarang, Kepala SKK Migas (Rudi Rubiandini) mungkin bisa lolos dari jerat hukum bila melakukan kontrak dengan pihak lain karena dapat dukungan penguasa. Tapi bila terjadi perubahan (kekuasaan) politik, dia pasti tidak akan dibiarkan lepas tanggung jawab," pungkas Adhie.
[ald]
BERITA TERKAIT: