Aset Terdakwa Tinggal Rp 35 M

Sidang Lanjutan Perkara Pembobolan Askrindo Rp 442 M

Senin, 10 Desember 2012, 09:14 WIB
Aset Terdakwa Tinggal Rp 35 M
PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo)

rmol news logo Hakim meminta jaksa menelusuri keberadaan tersangka  pembobol dana PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang buron. Hal itu ditujukan agar kerugian negara akibat perkara ini bisa segera ditanggulangi.

Pernyataan itu disampaikan ketua majelis hakim Pangeran Na­pitupulu dalam sidang dengan ter­dakwa Markus Suryawan dan Beny Andreas, pekan lalu. Dike­tahui, Markus dan Beny adalah pemilik PT Jakarta Investmen (JI) dan Jakarta Securitas (JS).

Keduanya menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor akibat me­nem­patkan dana Askrindo lebih dari Rp 280 miliar dalam bentuk kontrak pengelolaan dana, repo saham dan obligasi. Karena saat jatuh tempo pembayaran ke A­s­krindo, kedua terdakwa tak mam­pu mengembalikan dana milik perusahaan BUMN itu.

Dari fakta-fakta yang terung­kap di persidangan, hakim me­na­rik kesimpulan bahwa  dana As­krindo itu, ternyata dipakai untuk membeli apartemen dan saham yang tidak jelas. Akibat hal itu, pe­rusahaan manajer investasi yang dikelolannya bangkrut. Iro­nisnya hakim juga menilai,  ke­dua terdakwa tak menyetorkan dana pembayaran nasabah ma­nager investasi yang dikelolanya kepada Askrindo.

“Hal ini mengakibatkan As­krin­do makin merugi hingga ratu­san miliar rupiah,” tegas Pangeran.

Dia berpendapat, selain kedua terdakwa, masih  ada pihak lain yang harus menanggulangi keru­gian Askrindo. Ketika me­na­nya­kan keberadaan nasabah PT JI dan JS yang menimbulkan kredit macet, kedua terdakwa mengaku sudah tidak bisa menagih dana dari mereka.

Beny bilang, “Nasabah kami bang­krut dan ada yang melarikan diri.” Mendengar pernyataan ter­sebut, Pangeran semakin geram. Dia mencecar terdakwa dan me­ngultimatum, agar Beny dan Mar­kus membantu jaksa mencari ke­beradaan nasabah yang kabur.

Pangeran juga sempat mel­a­yang­kan protes. Dia menge­mu­ka­kan, mana mungkin kerugian As­krindo yang mencapai Rp 442 mi­liar, hanya bisa diganti Rp 35 mi­liar oleh kedua terdakwa. Ang­ka Rp 35 miliar ini diperoleh se­telah kedua terdakwa menghitung aset-aset yang masih dimiliki.

“Itu artinya dana yang belum kem­bali Rp 407 miliar. Karena sa­ham Askrindo milik peme­rin­tah. Maka ini menyebabkan ke­ru­gian negara yang sangat be­sar,” cetusnya.

Pangeran lalu meminta jaksa pe­­nuntut umum yang diketuai Esther P Simabuea lebih intensif melacak dan menyita aset ter­dak­wa. Dia berpesan, perburuan ter­ha­dap dua buronan kasus ini, hen­dak­nya di­koordinasikan  dengan penyidik ke­polisian secara terpadu.

Ketua majelis hakim pun me­ngi­ngatkan, jaksa fokus pada subs­tansi uang pengganti. Ar­ti­nya, sambung dia, tuntutan jaksa idealnya benar-benar mere­pe­sen­ta­sikan usaha mengembalikan ke­rugian negara secara maksimal, bu­­kan semata menyoal perkara ko­rupsi dan pencucian uang saja.

Dia menggarisbawahi, sinya­le­men terdakwa mengganti  keru­gia­n negara yang nyaris sama be­sar dengan nominal uang pe­ng­ganti dari nasabah Askrindo, yak­ni PT Tranka Kabel (TK) Rp 35 miliar, harus ditimbang secara ma­tang. “Bagaimana dengan bu­nga-bunganya selama ini? Itu juga harus diperhitungkan.”

Pangeran menilai, substansi penggantian kerugian negara dalam perkara PT JI dan JS ber­beda dengan PT TK. Menurut dia, jatuh tempo pembayaran oleh PT JI dan JS pada Askrindo sudah berakhir lama.

Sementara, masa jatuh tempo PT TK baru berakhir Desember 2012.  Jadi tegas dia,  perkara po­kok me­nyangkut pengembalian ke­rugian negara dalam kasus ini harus di­pan­dang dari sudut yang berbeda.

Dia menyoal, bagaimana mung­kin dana Rp 280 miliar yang di­peroleh kedua terdakwa, hanya di­ganti Rp 35 miliar. Dari hal ter­se­but, ia meminta jaksa berupaya ke­ras menemukan jejak aliran-aliran dana terdakwa. Hal ter­se­but di­tu­jukan agar target pe­ngem­ba­lian  atau penyitaan aset te­rdak­wa bisa di­laksanakan maksimal.

REKA ULANG

Melibatkan 2 Orang Dalam Askrindo

Beni Andreas dan Markus Sur­yawan didakwa merugikan ke­uang negara Rp 280 miliar. Hal itu didasari dugaan, menerima pe­nempatan investasi dari PT Asu­ransi Kredit Indonesia (As­krindo) berupa Kontrak Pe­nge­lo­laan dana (KPD), penjualan dan pembelian saham kembali (repo saham) dan obligasi kepada pe­rusahaan pengelola investasi di pasar modal atau perusahaan ma­najer investasi.

Perkara yang menjerat kedua ter­dakwa berawal ketika Divisi Penjamin PT Askrindo mem­be­ri­kan penjaminan Letter of Credit (LC) ke sejumlah nasabah, yakni PT Tranka Kabel atau PT Terang Kita, PT Multi Megah Internusa, PT Vitron dan PT Indowan In­ves­tama Group di Bank Mandiri.

Namun, dalam perjalanannya para nasabah PT Askrindo tidak sanggup membayar jaminan se­hingga PT Askrindo harus me­m­bayar klaim pada bank penerbit LC, PT Bank Mandiri Tbk.

Untuk menutupi kerugian aki­bat membayar klaim, PT As­krindo memberi dana talangan pada para nasabah dengan cara membeli Promissory Note (PN) dan Medium Term Note (MTN). Tapi ternyata, nasabah-nasabah PT Askrindo tersebut tetap tidak bisa menyelesaikan kewaji­ban­nya kembali.

Askrindo lalu mencoba cara lain, tujuannya agar jaminan yang dibayarkan Askrindo pada Bank Mandiri pada empat nasabah, kem­­bali ke kas Askrindo. Na­mun, upaya ini terhambat. Pe­ra­tu­ran bahwa Askrindo dilarang memberikan investasi langsung pada korporasi lain, apalagi na­sabah, maka diputuskan upaya itu dilakukan melalui jasa manajer investasi.

Selain didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain, ter­dak­wa Markus dan Benny juga di­jerat pasal pencucian uang. Me­nurut penuntut umum, pe­nem­pa­tan dana seolah-olah investasi yang diterima kedua terdakwa  se­benarnya untuk me­nyem­bu­nyi­kan atau menyamarkan dana yang berasal dari PT Askrindo untuk membantu nasabah-na­sa­bahnya yang gagal bayar.

Menurut jaksa, delik pen­cu­cian uang diterapkan karena As­krindo dan PT JA serta JI diduga terlibat persekongkolan yang ha­n­ya menjadikan perusahaan ma­najer investasi sebagai perantara atau penyamaran belaka.

Nilai penempatan dana PT As­krindo kepada PT JA, PT JI dan berupa KPD, repo saham dan titip jual obligasi totalnya sebesar Rp 280 miliar. Angka ini pula yang dianggap jaksa sebagai kerugian negara.

Secara umum, berdasarkan data Bapepam-LK, penempatan investasi dalam berbagai bentuk ter­sebut dilakukan melalui lima perusahaan manajer investasi. Kelima perusahaan pengelola aset itu antara lain, PT Har­ves­tindo Asset Management (HAM), PT Jakarta Investment (JI), PT Reliance Asset Management (RAM), PT Batavia Prosperindo Fi­nancial Services (BPFS), dan PT Jakarta Securities (JS).

Diketahui, total dana yang di­investasikan Askrindo pada lima perusahaan manajer investasi itu mencapai Rp 442 miliar. Dugaan ter­jadinya penyelewengan beri­kut skandal korupsi terendus se­telah kepolisian menyelidiki hal ini. Dari serangkaian hasil pene­lusurannya, kepolisian mene­tap­kan lima tersangka kasus pem­bo­bolan dana PT Askrindo, yakni bekas Direktur Keuangan Askrin­do Zulfan Lubis dan bekas Di­rektur Investasi Askrindo Rene Setiawan, serta dari pihak peru­sa­haan investasi.

Segera Sita Aset Para Pelaku

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Gerindra Des­mon J Mahesa  meminta, ma­je­lis hakim dan jaksa mem­per­tim­bangkan seluruh fakta yang ter­ungkap  dalam sidang kasus ini. Oleh sebab itu, semua bentuk buk­ti yang diduga terkait de­ngan perkara ini idealnya di­tin­daklanjuti secara cermat.

“Hakim-hakim di sini, saya rasa sudah sangat ber­pe­nga­la­man. Mereka memiliki kemam­puan menggali fakta dan bukti-bukti kasus ini,” katanya.

Dia menyebutkan,  ketera­ngan saksi, saksi ahli maupun terdakwa hendaknya menjadi pe­gangan hakim dalam m­e­nen­tukan putusan. Keyakinan ha­kim dan permintaan hakim agar jaksa menindaklanjuti per­bu­ruan tersangka yang buron pun mendapat apresiasi positif darinya.

“Selama bertujuan me­nye­le­sai­kan perkara harus didu­kung,” ujarnya. Dia juga me­nyemangati sikap hakim yang memfokuskan pengusutan ka­sus ini pada upaya me­ngem­balikan kerugian negara.

Hal ini tidak kalah pen­ting­nya dengan upaya me­me­­n­ja­ra­kan terdakwa. Karena sebut dia, pengusutan perkara korupsi, sa­ngat komplek. Tujuan atau target utamanya bukan sekadar menahan pakunya saja. Tapi lebih tertuju pada usaha me­ngembalikan keuangan negara.

“Karena pokok perkara ko­rupsi di sini adalah negara be­ra­da pada tempat yang diru­gi­kan. Bukan perorangan atau individu,” jelasnya. Dia m­e­nga­ku sepakat apabila, hakim mau­pun jaksa berusaha lebih mak­simal dalam melacak aliran dana yang dikorupsi terdakwa.

Usaha itu menurutnya, akan menunjukkan bahwasannya hakim maupun jaksa mem­pu­nyai komitmen dalam pem­be­rantasan korupsi. “Hal ini tentu harus didukung oleh semua la­pisan masyarakat.”

Pelakunya Senantiasa Kelompok Profesional

Boyamin Saiman, Koordinator LSM Maki

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) Bo­yamin Saiman menilai, upa­ya dua terdakwa kasus pem­bo­bo­lan dana Askrindo sangat pro­fesional. Kepiawaian mere­ka ini hendaknya dilawan oleh pe­negak hukum kita dengan te­kat dan integritas tinggi.

Ia sangat menyayangkan bila hakim tidak konsekuen pada pertimbangannya. Maksudnya, jangan sampai hakim dapat dipengaruhi oleh pihak luar atau terdakwa yang sengaja me­n­cip­ta­kan opini-opini tertentu.  Dia me­yakini, usaha hakim me­nim­bang perkara, semata-mata ditujukan agar dapat memutus perkara secara obyektif.

“Hal itu dilakukan agar pi­hak-pihak yang diduga terlibat dan terbukti bersalah di per­sidangan mendapat sanksi te­gas,” ujarnya.

Dia mengingatkan, jangan sam­pai ada pihak yang lolos da­lam kasus ini. Adanya tersangka yang buron, hendaknya menjadi pembelajaran bagi aparat untuk meningkatkan kinerjanya.

Karena itu, dia meminta, pe­negak hukum lebih serius me­na­ngani setiap perkara model  ini. “Lakukan perburuan secara mak­simal. Hal itu pentingn agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dikorbankan di kasus ini, “ tegasnya.

Dia menuturkan, penye­le­we­n­gan dari produk jasa investasi dan keuangan seperti ini hanya bisa dilakukan kelompok pro­fesional. Oleh sebab itu, hal-hal yang bisa berefek buruk pada dunia usaha keuangan dan pasar modal ini harus bisa dideteksi secara dini.

“Jangan sampai otoritas pe­ngawas jasa keuangan lolos atau luput dalam memantau penyelwengan-penyelwengan yang bersifat struktural dan ma­sif ini,” tandasnya. Jadi tambah dia, kasus ini hendaknya dapat di­selesaikan hingga benar-be­nar tuntas. Hal tersebut paling tidak akan memberi efek positif bagi penegakkan hukum di Ta­nah Air. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA