Polisi Periksa 35 Vendor PT Anugerah Nusantara

Kasus Dugaan Korupsi Proyek Alkes 2008-2010

Minggu, 09 Desember 2012, 10:00 WIB
Polisi Periksa 35 Vendor PT Anugerah Nusantara
M Nazaruddin

rmol news logo Polisi mengorek keterangan 35 vendor  yang jadi peserta tender proyek alat kesehatan (alkes) Kemenkes. 35 perusahaan itu diduga mendukung PT Anugerah Nusantara (AN) milik M Nazaruddin yang memenangi tender proyek tersebut.

Langkah kepolisian ini di­amini Direktur III Tindak Pidana Korupsi (Dir III-Tipikor) Bares­krim Brigjen Noer Ali. Saat di­kon­firmasi, dia menyatakan, pi­haknya masih mendalami ke­te­ra­ngan saksi-saksi. Saksi-saksi itu berasal dari sejumlah perusahaan yang terlibat dalam tender proyek.

Dia menandaskan, rangkaian pemeriksaan dilaksanakan secara hati-hati. Oleh sebab itu, ia belum mau buru-buru menyebut iden­titas perusahaan berikut nama-nama saksi. “Kita masih dalami. Ke­saksian dari perusahaan-pe­ru­sahaan itu penting guna mem­bantu pengungkapan kasus ini,” tuturnya akhir pekan lalu.

Bekas Inspektorat Pengawasan Polda (Irwasda) Polda Metro Jaya ini pun menolak menjelaskan, dugaan kerjasama 35 perusahaan atau vendor yang dimaksud.  Yang pasti, dugaan keterkaitan ven­dor-vendor tersebut dengan PT AN menjadi fokus penyelidikan.

Lebih jauh,  Kepala Biro Pene­ra­­ngan Masyarakat (Karo­pen­mas) Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengemukakan, pena­nga­nan kasus dugaan korupsi proyek vaksin flu burung atau pengadaan alkes Kemenkes 2008-2010 diin­tensifkan kepolisian. Hal itu di­tu­jukan agar kasus ini cepat tuntas.

Dia menggarisbawahi,  penyi­dik kepolisian  sangat hati-hati da­lam menentukan atau mene­tapkan status tersangka pada pro­yek ini. “Semua materi me­nyang­kut perkara  perlu dipelajari seca­ra cermat dan seksama.”  Karena itu,  tak tertutup kem­ungkinan ba­gi kepolisian untuk kembali me­ne­tapkan status tersangka  kasus ini.

Boy menampik anggapan, berlarutnya pengusutan skandal alkes-Kemenkes tersebut dilatari intervensi pihak tertentu. Dia me­mastikan, penyidik me­ng­e­de­pan­kan azas  independensi dalam me­laksanakan tugas dan kewa­ji­bannya. Jadi lanjutnya, tidak ada i­ntervensi-intervensi seperti asum­si yang berkembang selama ini.

Dia mengatakan, fokus pengu­sutan perkara dilakukan dengan  mengkroscek keterangan ter­sang­ka berinisial TPS, saksi-saksi,  do­kumen dan bukti-bukti lain­nya. Tak urung, sedikitnya sudah 50 saksi yang dimintai ke­te­ra­ngan. Saksi-saksi itu berasal dari perusahaan peserta tender proyek alkes 2008-2010, pihak  K­e­men­kes dan saksi ahli.

Boy menginformasikan, saksi-saksi dari luar Kemenkes berasal dari  35 vendor atau perusahaan yang diidentifikasi terkait dengan  PT AN. Vendor-vendor itu diduga membantu PT AN memenangkan tender dan  menggarap proyek.

Rencananya, seusai pem­e­rik­saan vendor-vendor itu, penyidik akan mendalami keterkaitan ter­sangka TPS selaku  pejabat pem­buat komitmen (PPK) proyek ini dengan panitya lelang. “Pr­o­ses­nya dilakukan bertahap,” ucapnya.

Disampaikan,  kasus dugaan ko­rupsi pengadaan peralatan pem­bangunan fasilitas produksi riset dan alih teknologi produksi vaksin flu burung di Direktorat Jen­deral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Ke­men­kes RI  2008-2010 diiden­ti­fi­kasi berdasarkan audit BPK. Hasil audit proyek tersebut men­duga adanya  penyimpangan ang­garan hingga  Rp 300 miliar.

“Sejauh ini masih kita selidiki berapa nominal kerugian nega­ra­nya,” imbuhnya. Dia juga tak me­nepis anggapan bahwa penyidik sudah mendatangi dua lokasi pro­duksi vaksin flu burung  di wi­la­yah Bandung dan Bogor, Jabar. Se­rta, satu lokasi penelitian di Unair, Surabaya, Jatim.

Menurut Boy, proyek ini ber­sifat multiyears. Apabila di­kal­ku­lasi, nominal anggarannya men­capai Rp 718,8 miliar. Sebelum me­netapkan status tersangka pada TPS, kata dia,  penyidik  te­lah memeriksa 15 saksi panitia pen­gadaan barang dan jasa, 15 orang panitia penerima barang, 11 orang dari tim teknis penerima barang dari PT Biofarma dan Uni­versitas Airlangga, serta tiga orang rekanan.

Selain memeriksa saksi-saksi tersebut, penyidik juga telah me­nyita peralatan produksi vaksin flu burung dan uang senilai Rp 224 juta dan 31.200 dolar Ame­ri­ka dari tangan tersangka.

REKA ULANG

Nama Bekas Menkes Diseret-seret

Perkara lain terkait proyek pe­ngadaan vaksin flu burung di Ke­mekes juga terjadi pada tahun anggaran 2006. Untuk kasus tersebut,  sederet nama dijadikan tersangka oleh kepolisian dan KPK, serta disidangkan di Penga­dilan Tipikor.

Nama-nama orang yang ter­se­ret kasus vaksi flu burung di Ke­menkes, antara lain, bekas Sek­re­taris Menteri Koordinator Ke­se­jahteraan Rakyat (Ses-Men­ko­kesra)  Sutedjo Yuwono. Akibat tu­duhan korupsi yang dila­ku­kan­nya, dia divonis bersalah oleh ma­jelis hakim Pengadilan Tipikor.

Dia diduga terlibat  korupsi pe­ngadaan alkes penanganan vaksin wabah flu burung tahun 2006. Lalu, terdapat pula nama bekas Ke­pala Pusat Penanggulangan Ma­salah Kesehatan Kemenkes Mulya Hasjmy serta  Ratna Dewi Umar, bekas Direktur Bina Pela­yanan Medik Kemenkes yang kesrimpet perkara korupsi alkes.

Ratna Dewi Umar dituduh me­langgar pasal  2 ayat 1 dan 3 Un­dang-undang Pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi. Modus peng­gelembungan harga pem­be­lian alat kesehatan hingga 200 persen yang dilakukannya, did­u­ga  mengakibatkan kerugian ne­ga­ra hingga Rp 32 miliar.

Namun lagi-lagi, dari ketera­ngan para terdakwa dalam persi­da­ngan, mereka menyebut ada­nya keterlibatan bekas Menkes Siti Fadilah Supari. Untuk meng­klarifikasi hal itu, KPK pun sem­pat memeriksa Siti.  

KPK me­nganggap keterangan Ratna Dewi Umar yang menye­but sebagai kuasa pengguna anggaran dan pe­jabat pembuat komitmen dalam pengadaan alat kesehatan dan perbekalan hanya menja­lankan pe­rintah Siti Fa­dilah, perlu dikla­ri­fikasi ke­be­narannya.

Belakangan, nama Siti Fadilah juga kembali diseret-seret oleh be­kas anak buahnya, Rustam Sya­rifuddin Pakaya. Pada persi­da­ngan di Pengadilan Tipikor,  ter­dakwa bekas Kepala  Pusat Pe­nanggulangan Krisis Departemen Kesehatan ini menyebut Siti me­ne­rima aliran dana proyek alat-alat kesehatan untuk Pusat Pe­nanggulangan Krisis Departemen Kesehatan.

Alhasil, Siti dipanggil untuk men­jadi saksi di persidangan. Na­mun dalam kesaksiannya di Pe­nga­dilan Tipikor, Selasa (9/10), Siti  membantah menerima aliran dana  proyek berupa cek perja­la­nan senilai Rp 1,27 miliar. Dia bah­kan mengaku tidak pernah di­lapori soal proyek alkes tersebut oleh  Rustam Syarifuddin Pakaya.

Menurut Siti, proyek penga­da­an Alkes itu tidak perlu melalu­i per­setujuan dirinya selaku Men­kes karena nilai proyek di bawah Rp 50 miliar. Siti juga me­m­ban­tah memberikan sejumlah cek per­jalanan Bank Mandiri kepada adiknya, Rosdiah Endang. Mes­ki­pun demikian, Siti mengaku memercayakan Rosdiah untuk mengelola keuangannya.

Rosdiah, menurutnya, me­ngurus keuangan yang ber­hu­bu­ngan dengan kebutuhan se­hari-hari Siti. “Saya sebagai men­teri t­i­dak mau diganggu urusan-uru­san bayar satpam, listrik,” ucap Siti.

Hanya saja,  uangnya yang di­kelola Rosdiah itu tidak ada yang berasal dari proyek alkes  di ke­menteriannya. Siti menyebut ka­lau uang yang diberikannya ke­pada Rosdiah berasal dari gaji dan tabungan pribadi.

Sampaikan, Apa Kendala Penyelidikan

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Hanura Sya­ri­fuddin Suding meminta, ke­po­lisian lebih transparan dalam me­ngusut  skandal korupsi alat kesehatan (alkes) di Kemenkes. Hal ini dilakukan mengingat, masih lambannya penanganan kasus korupsi tersebut.

“Diperlukan transparansi atau keterbukaan dari kepo­li­sian,” katanya. Dia menya­ta­kan, ideal­nya kendala-kendala dan ham­batan dalam pengu­su­tan kasus ini dikemukakan atau disam­paikan kepada ma­syarakat.

Dengan begitu, nantinya di­ha­rapkan tidak muncul lagi adanya asumsi-asumsi miring atau adanya tekanan dari pihak luar. Dia menyadari, pengu­su­tan kasus dugaan korupsi perlu ketelitian tinggi.

Masalahnya, kasus ini meli­bat­kan banyak pihak. Kare­na­nya, dokumen dan saksi-saksi pe­ndukung yang valid sangat diperlukan.  Di luar itu, dia juga mengakui proyek alkes Ke­men­kes, sangat rentan manipulatif. Kondisi ini tentunya memaksa penyidik untuk berhati-hati da­lam menentukan langkah pe­nyelidikan dan penyidikan.

“Dugaan manipulasi dan ko­rupsi proyek alkes itu sangat ba­nyak. Dari tahun ke tahun, se­lalu dicurigai bermasalah,” tu­tur­nya. Dari anggapannya itu, dia  berharap penyidik profe­sio­nal dan proporsional dalam me­nangani perkara ini.

;angan sampai pesan dia, pengusutan perkara ini justru m­e­rugikan pihak lain, seperti be­kas Menkes Siti Fadilah Su­pari. Dia menekankan, pe­r­ny­a­ta­an-pernyataan seputar adanya keterlibatan bekas Menkes, ideal­nya ditelusuri secara maksimal.

Oleh karenanya, dia memin­ta, semua pihak melihat per­soa­lan secara jernih. Caranya, se­nan­tiasa mengedepankan prin­sip praduga tak bersalah. “Ini penting dan vital dikedepankan. Jangan sampai menyeret keter­libatan seseorang tanpa bukti. Hanya berdasarkan asumsi atau keterangan semata.”

Hal ter­se­but, dikhawatirkan jus­tru akan menimbulkan fitnah dan pen­cemaran nama baik se­seorang.

Agar Status Hukum Jadi Lebih Jelas  

Hifdzil Alim, Peneliti Pukat UGM

Aktivis Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Hifdzil Alim mendesak kepolisian mem­pertegas sikap. Hal itu ter­kait dengan penetapan status hukum pada bekas Menkes Siti Fadilah Supari.

Dia menilai, sikap kepolisian yang kurang tegas ini mem­berikan efek kurang baik. “Bisa mengganggu kredibilitas me­reka sebagai penegak hukum,” katanya.

Disampaikan, penulisan sta­tus tersangka dalam surat pem­beritahuan dimulainya penyi­di­kan (SPDP) dari kepolisian ke kejaksaan, hendaknya menjadi pedoman. Karena mau tidak mau, hal itu menunjukkan ko­mit­men atau kesungguhan kepo­lisian menindaklanjuti perkara.

“Bukannya sudah jelas,” sing­gungnya merujuk SPDP. Le­bih jauh, dia juga menyoroti langkah kepolisian yang lam­ban mengusut kasus dugaan ko­rupsi proyek alkes 2008-2010.

Menurut dia, penanganan per­kara yang tidak propor­sio­nal, seringkali membuat pe­r­soa­lan menjadi bias. Atau bahkan hilang lantaran masuk peti es. Ia mempertanyakan, kenapa pada kasus korupsi alkes, pe­nyidik baru bisa menyentuh pe­jabat pembuat komitmen.

Padahal, diaebutkan bahwa audit BPK soal proyek ini sudah ada. Dia meyakini, audit ter­se­but bisa menjadi acuan ke­po­li­sian dalam menyelesaikan per­soalan. Jadi idealnya, ke­po­li­si­an sudah mengantongi materi yang bisa dipakai sebagai bukti untuk menjerat pihak lain.

Tentunya, pihak lain yang ha­rus diungkap keterlibatan­nya ada­lah pihak  yang me­nem­pati po­sisi di atas tersang­ka yang su­dah ada. “Bukan ha­nya me­nin­dak pejabat kelas ba­wah saja.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA